Nagato's POV
Ada apa ini? Dimana ini? Tempat apa ini? Kenapa semuanya putih?
Dimana Steve?
Kucoba berjalan lurus ke depan, namun kakiku tak dapat bergerak sama sekali. Aku bahkan tak tahu apakah aku sedang berdiri. Aku juga tidak tahu apakah ada tempat untuk berpijak di sini.
Tiba-tiba, kepalaku pusing. Kupejamkan mataku erat-erat untuk menahan rasa sakitnya. Sakit yang luar biasa hingga aku dapat mendengar suara dengung di dalam kepalaku.
Aku segera membuka mata, dan melihat keadaan di sekitarku telah berubah. Kini, aku melayang di angkasa, di antara bintang-bintang yang berupa kumpulan gas raksasa dan di antara asteroid-asteroid yang berputar-putar tak tentu arahnya.
Dan yang paling mencengangkan, wajah-wajah yang familiar di ingatanku terlintas begitu saja di depanku. Mereka yang telah dimanfaatkan oleh Madara dan Obito. Mereka adalah Akatsuki.
Dimulai dari wajah Itachi, Kisame, Deidara, Sasori, Hidan, Kakuzu, Tobi, Zetsu, dan... Konan. Mereka melintas begitu saja di sekitarku dan mengelilingiku. Menatapku dengan tatapan yang biasa mereka gunakan. Datar, kejam, dan penuh perhitungan.
Dan anehnya, mereka semua berbentuk kotak juga. Sama denganku. Mereka terus berputar-putar mengelilingiku. "Konan!" Panggilku. Namun, ia sama sekali tak merespon. Hal yang sama juga terjadi begitu aku berusaha memanggil yang lainnya.
Argh! Kepalaku kembali pusing. Aku kembali memejamkan mataku akibat rasa sakitnya. Aku merasa diputar-putar.
Aku kembali membuka mataku. Kini, aku berdiri di atas sebuah... Entahlah, aku tak dapat menjelaskannya. Yang aku tahu, aku dapat melihat pohon-pohon yang terbakar, beberapa lubang besar yang menganga di atas tanah, blok-blok batu yang tersebar di mana-mana, dan banyak pemandangan mengerikan lainnya yang berhasil membuatku menganga.
Sebuah pohon tumbang ke arahku, namun aku yang terlambat menyadarinya hanya dapat memejamkan mata untuk bersiap menerima rasa sakitnya.
Namun, aku tidak merasakan apa-apa. Apa yang terjadi? Apakah aku sudah mati? Kubuka mataku untuk memastikannya. Dan betapa terkejutnya aku melihat pohon yang terbakar itu jatuh menembus diriku.
Sebuah blok batu datang padaku. Aku membelalakan mata dan menutupi kepalaku. Dan hasilnya sama seperti pohon tadi, blok batu itu menembus tubuhku.
Penasaran, aku berlari pada sebuah pohon yang sedang terbakar. Aku mencoba apakah hal yang sama juga akan terjadi padaku.
Dan benar saja, aku menembus pohon itu.
"Keren," gumamku takjub. Namun tak lama kemudian, sebuah suara ledakan berhasil mengguncang tanah tempatku berpijak. Aku terjatuh di atas lututku.
Aku berdiri dan menatap sumber ledakan itu. Sebuah dataran yang begitu tinggi. Dari sanalah ledakan-ledakan itu berasal.
'Ini hanya mimpi,' pikirku. Karena itu, aku berpikir untuk terbang, dan akupun melayang ke atas.
Hebat. Aku bisa terbang dan menembus semua benda di sini. Tetap rasa takjubku itu tak lama bertahan, karena aku melihat di atas sana, di atas dataran tinggi di sana.
Siluet dua orang yang bertarung.
Satu orang mengangkat kedua tangannya, dan bumi mengeluarkan amarahnya dengan memuntahkan lahar panas berwarna merah yang kuduga adalah lava. Siluet satunya mengangkat air dan memadamkan lahar itu. Sesudah itu, orang yang memaksa bumi memuntahkan lava itu terbang tinggi-tinggi dan melempar belasan atau mungkin puluhan blok tanah dan batu pada siluet orang yang satunya tanpa menyentuh satupun dari blok-blok itu. Yang diserang mempertahankan dirinya dengan kubah dari blok-blok batu yang menjulang dari tanah. Begitu serangan selesai, dia membuka kubah perlindungannya itu dan memunculkan raksasa batu dari tanah tempat ia berpijak dan berdiri di atasnya. Raksasa itu menyerang orang yang melempar blok tadi, namun orang itu berhasil menahan tangan raksasa itu menggunakan sulur-sulur seperti akar yang muncul dari bawah tanah.
Mereka seperti pengendali dunia ini.
Tak lama kemudian, aku mendengar suara pertempuran di bawah sana. Kulihat ratusan atau mungkin ribuan titik-titik putih seperti semut―mungkin karena aku melihatnya dari kejauhan―sedang berkumpul. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, tapi aku dapat mendengar denting pedang yang beradu dari bawah sana. Mereka semua juga sedang bertarung.
Tidak, mereka tidak hanya sedang bertarung.
Mereka sedang bertempur.
Tiba-tiba, kepalaku kembali pusing. Mataku terpejam erat karena rasa sakitnya. Dunia terasa berputar di sekelilingku. Suara denting pedang itu sudah tidak terdengar lagi di telingaku. Hawa panas yang kurasakan tadi kini sudah tiada, tergantikan oleh hawa dingin yang menusukku. Ketika rasa sakit itu sudah reda, aku membuka mataku dan menemukan diriku yang berada di kegelapan, di antara bintang dan asteroid. Lagi.
Kini, wajah-wajah itu tidak muncul lagi.
Namun, sebuah wajah yang familier menggantikan semuanya.
Di sana aku melihat Konan, sedang berjalan menyusuri sebuah padang rumput, dan membawa…
…Tunggu dulu.
Konan memakai jubah Akatsuki yang sama dengan milikku, dia berjalan mengendap-endap, penuh waspada dan membawa sebuah pedang.
Pedang abu-abu.
Pedang milikku.
Mataku membelalak kaget.
Dan tepat di saat itu juga, tubuhku terasa begitu berat. Gambar itu perlahan musnah. Kugapai-gapai gambar itu, namun aku semakin tertarik ke bawah, tubuhku makin berat, tanganku tak dapat menjangkaunya. Hingga akhirnya ketika gambar itu musnah sepenuhnya, aku terjatuh ke bawah, ke dalam kegelapan.
Gelap…
Dingin.
Aku terjatuh.
Begitu sunyi.
Hingga aku mendengar sebuah panggilan dari kejauhan.
"Nagato!"
Topeng Lolli Kura dengan bangga mempersembahkan
"The Rise of The Fallen"
Naruto © Masashi Kishimoto
Minecraft © Mojang
Warning : AR, Maybe a little bit OOC, and miss typo(s)
FANFIC INI SAYA BUAT TANPA MENCARI KEUNTUNGAN MATERIIL SEDIKITPUN.
Don't Like? Don't Read.
.
.
"Agh!" aku terbangun dengan tiba-tiba. Keringatku bercucuran. Napasku tersengal-sengal. Mataku membelalak kaget. Jantungku berdebar-debar, dan adrenalinku terpacu. Aku seperti sedang berlari karena dikejar oleh singa.
"Hei, hei!" Steve menepuk-nepuk punggungku, berusaha menenangkanku. Tapi yang ada aku malah ingin muntah karena Steve nyaris mengeluarkan kue yang awalnya untuk menyambut kedatanganku dan malah menjadi makan malam.
Namun, cara itu mujarab juga. Perlahan, napasku kembali normal. Pikiranku kembali jernih. Aku mulai mendapatkan kontrol diriku lagi. Tempo jantungku mulai kembali normal, dan adrenalinku sudah menghilang.
"Ada apa, kawan?" tanya Steve sambil menatapku khawatir.
"Tidak, aku hanya bermimpi buruk," jawabku seadanya.
"Ceritakan padaku tentang mimpimu itu sehingga kau bisa terbangun saat tengah malam seperti ini," pinta Steve.
Aku meliriknya tak yakin. "Kau serius mau mendengarnya?"
Steve mengangguk.
Aku mengalihkan pandanganku pada selimut merah dari ranjang ini―yang anehnya tidak bisa dipakai karena menempel dengan ranjangnya. Berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan mimpi sebelum hilang di dalam memoriku. Aku meliriknya lagi.
"Kau yakin tidak akan tertawa pada ceritaku ini?" tanyaku.
Steve mengangguk lagi.
Melihat kepastiannya itu, aku mulai bercerita. Mulai dari ruangan putih, luar angkasa, kemudian peperangan yang luar biasa, hingga aku tiba-tiba merasakan sebuah setruman mengalir di syarafku ketika aku sampai di bagian aku melihat Konan.
"Kenapa berhenti?" tanya Steve menuntut penjelasan.
Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berhenti. Mulutku terasa bungkam begitu saja. Otakku seakan ingin menyadarkanku dari tidur. Hingga akhirnya semuanya bisa tergolong masuk akal olehku, aku membelalakan kedua mataku.
"Steve…" aku menatap Steve dengan tatapan masih membelalak dan memegang bahunya. "Konan masih hidup! Dia ada di sini!"
Steve yang kuguncang-guncang bahunya hanya berkata dengan tidak jelas. "Konan siapa?"
"Konan!" aku mendorongnya hingga menubruk tembok karena kebahagianku yang meluap-luap. "Konan ada di sini, Steve! Berjalan mengendap-endap di balik pepohonan! Aku tahu itu!"
Steve mengelus kepalanya sambil menatapku dengan aneh. "Konan siapa, sih?"
"Konan!" aku segera turun dari tempat tidur. "Dia temanku!"
"Teman? Kau punya teman lain?" Steve terlihat terseret oleh euforiaku. Aku yakin dia senang jika penghuni rumahnya yang berlantai dua ini bertambah.
"Ya!" aku segera mendekati pintu dan memegang kenopnya. "Ayo kita cari dia!"
"Wo, wo, wo, wo, wo, sabar, kawan!" Steve terlihat tenang, tapi aku dapat melihat dengan jelas kebahagiaan di wajahnya ketika dia berjalan mendekati peti kayunya dan membuka GUInya. "Aku masih memiliki dua buah Stone Sword lagi, dan beberapa set Leather Armor. Juga beberapa bekal makanan."
"Leather Armor?" gumamku bingung. Tapi Steve sudah terlanjur melemparkan sebuah baju, pelindung kepala, celana panjang, dan sepatu berwarna oranye-kecoklatan dengan jahitan di mana-mana padaku. Dia juga melemparkan sebuah Stone Sword yang tidak diperkecil ukurannya.
"Pelindung tubuh yang terbuat dari kulit," ujar Steve singkat. Aku mengangkat baju itu seperti aku mengangkat sebuah bom tinja.
"Pelindung tubuh?"
"Ya," kata Steve, mengambil sebuah set 'pelindung tubuh' yang mirip dengan milikku. "Singkatnya armor. Begitu kau memakainya, sebuah lambang berbentuk baju yang berderet-deret akan muncul di atas hotbarmu."
Penasaran, kupakai semua armor itu di tubuhku. Dan benar saja, lambang berbentuk baju yang berderet-deret muncul di atas hotbarku. Tidak sampai penuh, hanya beberapa saja yang diisi.
"Oh, ya. Aku lupa menjelaskan. Di sini, senjata dan armor tidak dapat diperkecil dan dilempar hingga melayang di atas tanah seperti blok. Ukuran mereka tetap sama, mereka hanya mengecil saat dimasukkan ke dalam peti. Armor yang dibuat dari bahan berbeda akan berbeda pula kekuatannya. Semakin kuat, armor barmu akan semakin penuh," ucap Steve menjelaskan. Dia juga mulai memakai armornya.
"Memangnya bahan apa saja yang bisa dibuat sebagai armor?" tanyaku pada Steve.
"Tidak tahu."
Aku mendengus.
"Tapi instingku berkata begitu," katanya, tersenyum lebar padaku. Aku hanya memutar kedua bola mataku bosan.
Aku dan Steve menuruni tangga. Baru pertama kali ini aku memperhatikan rumah Steve yang nyaris terbuat dari kayu semua. Sebuah meja kayu dengan empat kursi―yang kata Steve terbuat dari tangga―di keempat sisinya. Di sisi lain, terdapat sebuah crafting table dan sesuatu yang seperti kompor serta sebuah blok lain yang aku tak tau fungsinya apa. Semua blok itu ada di dekat tembok.
"Hei!" Steve memanggilku ketika dia sudah berada di dekat pintu. "Kau ikut tidak?"
"Aku yang tahu tempatnya, tentu saja aku ikut," jawabku. Aku segera berjalan mendekati Steve yang sudah keluar dan menutup pintunya.
"Ada hutan di dekat sini, mungkin yang kau maksud 'di balik pepohonan' adalah hutan itu," simpul Steve. Dia mengeluarkan sesuatu yang seperti stick yang mirip dengan benda mirip obor yang menempel di tembok kamar serta tembok ruang bawah. "Ngomong-ngomong, kau yakin bahwa temanmu itu berada di dekat sini?"
"Aku yakin," jawabku mantap.
"Dari?"
"Mimpi."
Kali ini dia yang mendengus.
"Baiklah, ini untukmu," ucap Steve, dia melempar belasan atau mungkin puluhan obor kepadaku, yang berakhir melayang di atas tanah. Ketika aku ingin mengambilnya, benda-benda itu masuk ke dalam tubuhku.
"64… kau yakin?" tanyaku tak yakin begitu melihat jumlah obor di dalam hotbarku itu.
"Aku juga mempunyainya dalam jumlah yang sama," jawab Steve. "Taruhlah benda itu setiap beberapa langkah untuk menunjukan jalan kita pulang. Jika milikmu sudah habis, aku akan memakai punyaku."
128 obor. Aku tidak yakin semuanya akan cukup.
"Kau yakin hanya dalam beberapa langkah?" tanyaku meragukan jumlah obor yang ada.
"Baiklah, setiap 14 blok jika kau mau menghitungnya," jawabnya.
"Oke," tanggapku. Aku menaruh satu obor di atas tanah, dan sebuah sinar yang terang benderang langsung menyelimuti area kecil di sekitar kami.
"Kau lihat? Jangkauannya cukup luas, menurutku. Sekarang, kita harus bergegas sebelum temanmu itu dimakan zombie atau diledakkan oleh mahluk hijau yang menyebalkan itu," katanya. Dia segera mengeluarkan versi mini obor itu di tangan kirinya dan pedang di tangan kanannya. "Ayo!"
Aku mengeluarkan pedang dari jubahku dan memegangnya sama seperti Steve. Aku langsung melangkah cepat menyusul Steve seraya meletakkan beberapa obor di area yang gelap.
"Kau yakin mimpimu itu bisa dipercaya?" tanya Steve sambil melirikku.
"Jika salah kau boleh membiarkan zombie menembakku," jawabku. Steve hanya terkekeh geli.
Dan pencarian kami terhadap Konan malam itu-pun dimulai.
End of Nagato's POV
~o0o~
Konan's POV
Kutusuk dada zombie yang hendak menyerangku tadi. Tidak ada darah maupun erangan kesakitan. Namun aku tidak peduli, kutarik pedangku lagi, membiarkan tubuh mahluk ganas itu terjatuh di atas tanah dan menghilang dalam kepulan asap tebal.
Satu selesai.
Jleb!
Aku segera menoleh ke belakang begitu sebuah anak panah melesat dan menusuk pohon di depanku. Mahluk aneh yang sepertinya kerangka manusia yang berjalan dalam bentuk kotak itu membawa sebuah busur panah, namun aku tidak melihat sebuah kantong sebagai wadah untuk anak panahnya itu. Aku mengernyitkan dahi.
Jleb!
Anak panah itu kembali melesat, namun aku berhasil berguling dan berlindung di balik sebuah pohon. Kukeluarkan sebuah kunai kertas dari kantong belakangku. Dia minta pertarungan jarak jauh.
Sebuah anak panah kembali melesat, namun aku berhasil berguling dari balik pohon dan menangkap anak panah itu lalu melemparnya kembali pada mahluk itu. Kerangka itu menghindar, namun kunai kertas yang kulempar secara bertubi-tubi berhasil menembus tulang rusuknya dan menghancur-leburkan tubuhnya hingga hilang dalam kepulan asap.
Setelah asap itu menipis, aku melihat dua buah benda yang melayang-layang di atas tanah serta sebuah busur panah yang tergeletak di atas tanah. Sama seperti blok-blok tanah yang mengecil dan melayang di atas tanah ketika seekor creeper muncul dan meledak hingga membuat sebuah lubang besar di tanah tadi sore.
Aku tidak asing lagi dengan hal itu. Aku mendekat pada dua buah benda yang melayang itu, dan benda itu melayang masuk ke dalam tubuhku. Aku memutar kedua bola mataku bosan. Entah penyakit apa yang akan kuderita akibat benda-benda aneh yang masuk ke dalam tubuhku. Kuambil busur serta anak panah milik kerangka tadi. Senjata tambahan.
Aku mengawasi keadaan sekitar. Monster-monster di sini bukanlah seperti shinobi yang biasa kuhadapi di duniaku sendiri, tapi aku dapat merasakan aliran chakra begitu mereka mendekat. Memang aneh, tapi hal itu membantuku mendeteksi jika ada musuh mendekat. Ditambah lagi mereka tidak dapat memperkecil atau menyembunyikan pancaran chakra mereka.
Dan kini aku tidak merasakan satupun aliran chakra yang mendekat.
Aku menghela napas lega. Aku segera terduduk di bawah salah satu pohon. Napasku tersengal-sengal. Entah sudah berapa banyak monster yang kuhabisi malam ini.
Ini semua karena mimpi sialan itu.
Ya, mimpi itu.
Malam ini aku bermimpi Nagato bersama seseorang berbaju biru, mereka berjalan mendekati hutan, yang merupakan tempat peristirahatanku waktu itu. Aku segera terbangun dan berlari serta membunuh monster-monster yang menghalangi jalanku saat itu. Aku mendatangi lokasi tempat mereka akan datang, lokasi itu merupakan jalan masukku ke hutan ini.
Tapi ketika aku mendatangi tempat itu.
Mereka tidak ada.
Aku menghela napas. Sudah seharusnya aku tidak percaya pada mimpi. Kini aku hanya sendirian, menunggu ramalan yang dikatakan oleh bunga tidur.
Aku berdiri, berniat kembali ke tempatku tidur yang merupakan sebuah goa. Kulirik kembali padang rumput yang hampa itu dengan harapan bahwa akan ada sosok rambut merah yang muncul. Sahabatku.
Namun aku hanya mendapatkan sebuah rasa sakit karena kenyataan yang menohok hatiku.
Aku sendirian di sini. Tanpa sahabat masa kecil yang akan menghibur kesepianku. Tanpa memberiku canda tawa yang menghibur.
Seperti dulu.
Namun, kini aku harus menelan kenyataan yang pahit.
Bahwa ia telah mati.
Kupandang pedang abu-abu yang menjadi tumpuan harapanku selama ini. Pedang pipih yang kutemukan di jalan ini menjadi acuanku bahwa ada orang selain aku di dunia aneh ini.
Aku meringis.
Mahluk aneh tadi saja mempunyai busur panah. Bisa saja pedang ini milik salah satu monster kejam itu.
Dengan kata lain, aku berharap terlalu tinggi.
Dengan kesedihan yang memenuhi relung hatiku, aku meninggalkan tempat itu dan kembali ke markas kecilku.
End of Konan's POV
~o0o~
Nagato's POV
Aku dan Steve berlarian. Kini, aku yang memimpin di depan, dan Steve yang menyusul dan menandai jalan di belakang. Keringatku bercucuran, adrenalinku kembalin terpacu, jantungku berdebar-debar.
Rasa senang begitu lokasi yang kulihat di mimpi menjadi kenyataan bercampur dengan rasa khawatir bahwa Konan telah tiada atau mimpiku itu hanya memang mimpi membuat sebuah gejolak perasaan yang membuatku gelisah. Aku harus cepat ke sana.
"Itu!" teriak Steve sambil menunjuk pepohonan yang masih jauh di depan. "Itu adalah hutan yang kumaksud!"
Mendengar itu, aku memacu langkah kakiku semakin cepat. Harapanku akan Konan yang berada di sana semakin besar. Aku harus membuktikan bahwa Konan ada di sana!
Jleb!
Sebuah anak panah melesat dari dalam hutan dan menancap di depanku. Refleks, aku menghentikan langkahku dan mundur. Kupandangi sosok kerangka manusia yang membawa sebuah busur panah. Menurut perkiraanku, dia yang menembakkan anak panah barusan.
"Skeleton," ujar Steve. Dia telah berhasil menyusulku dan kini berdiri di sampingku.
"Aku tidak peduli namanya!" kuangkat pedangku. "Aku harus menyelamatkan Konan!"
Dan aku langsung meringsek maju. Aku dapat mendengar panggilan Steve dari belakang, memanggil namaku agar tidak gegabah. Namun, aku tidak peduli. Siapapun yang menghalangi jalanku harus dibunuh.
Skeleton itu menembakkan anak panahnya sekali lagi. Aku menangkisnya menggunakan pedangku hingga sebuah percikan bunga api tercipta ketika ujung anak panah itu bertemu dengan pedangku. Aku terus berlari seraya menangkis serangan-serangan mahluk itu.
Dia kembali memanah, aku menangkisnya. Aku terus mendesaknya agar mundur ke belakang dengan menangkis semua serangannya. Namun, aku lebih cepat. Sebentar lagi aku dapat menggapainya dan menghancurkan tubuhnya.
Namun, ketika aku baru akan menebasnya, dia bergerak ke samping dengan cepat.
Dan seekor creeper yang sudah siap meledak menggantikan posisinya.
Mataku membelalak kaget.
"Awaaaaaas!"
Jleb!
Mataku membelalak lebih lebar dari sebelumnya.
Steve melemparkan pedangnya untuk menusuk creeper yang berada di depanku ini hingga dia berhenti berkedip-kedip dan tumbang ke belakang dan musnah dibalik kepulan asap. Dua buah item yang sama saat aku menghimpit creeper dengan blok-blok batu kemarin kembali muncul dan melayang di atas tanah.
Tak lama kemudian, sebuah blok tanah melesat dan menghancurkan tubuh skeleton itu hingga berkeping-keping. Busur panahnya terjatuh ke atas tanah. Tengkoraknya menghantam pohon.
Aku menoleh ke belakang, di mana aku melihat Steve yang sedang terengah-engah dengan tatapan membunuh yang berapi-api di matanya. Aku dapat melihat blok tanah versi mini di tangan kanannya. Dia pasti menaruh blok tanah itu dulu baru melemparnya.
Dan aku tidak pernah melihatnya seperti itu.
"Steve?" panggilku pelan. Tatapannya masih lurus ke depan, begitu bernapsu membunuh. Dia bagaikan harimau yang dapat menerkam siapa saja.
Napasnya yang tersengal-sengal perlahan memudar. Api yang menyala membara di matanya juga mulai pudar. Aku dapat merasakan adrenalinnya yang mulai menurun.
Dia menatapku dan berjalan menghampiriku sambil melipat kedua lengannya. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah. Dia menatapku dengan pandangan yang menuntut penjelasan.
Aku menghela napas. "Baiklah, aku memang gegabah. Aku minta maaf."
Dia memutar kedua bola matanya. "Kau tahu? Aku sama sekali tidak pernah bertemu orang lain di dunia ini."
Aku yang mendengar pernyataan itu langsung memprosesnya dengan cermat, hingga pada akhirnya otakku menghasilkan sebuah pertanyaan karena ketidakpercayaanku. "Kau bilang apa?"
"Lupakan," ujar Steve, melambaikan tangannya dan berjalan mendekati busur panah itu. "Kau pikir benda ini bisa dijadikan senjata tambahan?"
Aku merasa dia seperti mengalihkan pembicaraan.
"Steve." Aku mendekat dan memaksa wajahnya yang menatap kosong busur panah di tangannya itu untuk menatapku, "Aku bertanya."
Dia memutar kedua bola matanya kemudian menghela napas. Busur panah itu dia pegang dengan tangan kiri. Aku dapat melihat dia melangkah mendekati pedangnya dan mengambilnya menggunakan tangan kanan.
"Kita bicarakan hal itu nanti, sekarang ayo kita cari Konan-mu itu."
Aku yakin dia tidak suka membicarakan hal itu. Aku juga yakin bahwa dia tidak akan mengungkit pertanyaanku nanti.
"Baiklah." Aku menyerah dan mengangkat kedua tanganku kemudian melangkah lebih jauh ke dalam hutan.
Steve mengikutiku di belakang. Dia tidak bersemangat seperti tadi.
Kini, aku dan Steve telah sampai di lokasi yang kumaksudkan. Cukup rimbun dan lebat hingga cahaya matahari yang kini mulai terbit tidak dapat menembusnya.
Aku menyusuri area di sekitarku, berusaha mencari pohon dengan batang yang berwarna putih-hitam tempat Konan bersembunyi di mimpiku.
Tetapi, semua pohon di sini terlihat sama.
"Kau ingat pohonnya?" tanya Steve seraya berjalan mendekatiku yang terlihat bimbang.
"Mungkin," jawabku tak yakin.
Steve menghela napas. "Coba ingat-ingat bagaimana bentuk pohon itu."
Aku mencoba mengingat bentuk pohon itu. Batang yang berwarna hitam putih, tinggi, daunnya… ah! Tidak bisa! Semuanya sama!
"Ingatlah setiap lekuknya, ciri-ciri yang menonjol!" Steve berusaha menyemangatiku.
Aku berusaha mengingat-ingat lagi. Semuanya sudah betul, batang, motif, warna, daun…
…dan yang menempel di daun.
Aku membuka mataku lebar-lebar.
Sesuatu yang menempel di daun, berbentuk seperti akar. Dan pohon itu berada tepat di depan mataku!
"Steve!" panggilku, "itu! Itu dia! Pohonnya!"
Sebuah senyum tercetak jelas di wajahnya ketika aku mendekati sebuah pohon. Pohon yang sama dengan pohon di mimpiku. Aku menatapnya takjub.
Tetapi, senyum itu berangsur-angsur hilang dari wajahnya, tergantikan oleh mata yang menyipit seperti menganalisa sesuatu.
"Aneh sekali," katanya.
"Aneh apanya?" tanyaku pada Steve.
"Ini jarang, atau mungkin tidak pernah terjadi." Steve mendekat dan membelai sulur-sulur yang berupa seperti akar itu. "Aku tidak pernah melihat birch tree mempunyai sulur-sulur ini, apalagi di daunnya. Lebat lagi."
Aku ikut membelai sulur-sulur itu. "Jadi, menurutmu hal ini tidak alami?"
"Entahlah," jawabnya, "aku tidak yakin."
Aku yang tidak mengerti apa-apa hanya mengabaikannya. Aku harus kembali ke misiku, mencari Konan. Dengan tidak sabaran, aku segera menyusuri daerah di sekitarku.
Kuangkat satu persatu pohon menggunakan kekuatanku. Kuteliti setiap sudutnya.
Namun, aku tidak mendapatkan apapun.
Aku berganti mengangkat blok-blok tanah di sekitar sana, satu persatu dengan teliti.
Dan hasilnya juga sama.
"Kau menemukannya?" tanya Steve, yang kini sudah selesai meneliti penemuan barunya.
"Belum," jawabku singkat.
Steve mendekat dan meninju-ninju tanah di sampingku. Awalnya aku hanya menatapnya geli. Tapi, melihat tanah itu retak, aku jadi penasaran. Kuamati Steve yang berhasil menghancurkan satu blok tanah hingga menjadi versi mininya.
Aku mengangguk mengerti. Jadi begitu caranya Steve mendapatkan blok tanah yang dilemparnya tadi.
"Tidak ada," kata Steve.
Aku menghela napas. Mungkinkah semua ini sungguh hanya mimpi? Dan aku hanya menganggap semuanya itu kenyataan?
Melihatku yang melamun, Steve menepuk pundakku. "Tidak apa-apa."
"Tapi aku melihatnya di sini, Steve!" pekikku putus asa.
"Itu hanya mimpi, kan?" tanya Steve padaku. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Kuharap dia sudah tahu jawabanku yang menentang kenyataan.
Dan Steve terlihat masih menuntut jawaban dariku. Aku hanya menatapnya kemudian menggeleng pasrah.
Steve masih terdiam menatapku. Dia seolah ingin mengeluarkan beberapa kalimat dari kerongkongannya, namun tercegah oleh sesuatu. Aku hanya meninju tanah seperti yang Steve lakukan kemudian menaruhnya di atas blok tanah yang lain. Aku duduk di atasnya seperti orang yang bermasa depan suram.
Steve sendiri hanya menatapku prihatin. Ditaruhnya blok tanah yang ia ambil tadi di sampingku dan duduk di atasnya.
"Nagato, apakah kau ingin mendengar sebuah cerita?"
Aku menoleh padanya, tak antusias.
Tetapi, dia tetap melanjutkan, "Pada zaman dahulu, ada seseorang yang tertidur di sebuah padang rumput yang begitu luas.
"Beberapa saat kemudian, dia terbangun. Hanya untuk menemukan dirinya sendirian di tempat yang luas itu. Bersama beberapa hewan seperti domba dan sapi. Dia kebingungan di mana dia berada. Dia berjalan tak tentu arah, berusaha mencari sejenisnya. Tanpa tujuan. Dan sendirian."
Aku mulai tertarik.
"Dia terus berjalan seperti orang bodoh, berteriak-teriak untuk mencari seseorang dan pertolongan. Tepat pada malam hari tiba, dia kelelahan dan kelaparan. Dia terduduk di salah satu pohon, menyerah akan harapannya. Ketika dia akan jatuh tertidur, tiba-tiba sebuah tangan yang dingin mencekiknya.
"Dia terbangun, berusaha melepaskan tangan itu. Namun, tangan itu tak kunjung lepas, dia terus mencekik lebih erat. Kepalanya datang, berusaha menggigit tangan orang itu. Tetapi, orang itu berhasil menendang mahluk itu dan berlari. Kembali dia menjadi orang bodoh, berteriak-teriak mencari pertolongan."
Aku mulai menyadari sebuah kejanggalan.
"Hingga pada keesokan harinya, dia sadar jika dia sendirian di dunia ini. Dia ingin mati. Karena itu, pada malam harinya, dia membiarkan mahluk yang sama mencekiknya untuk yang kedua kalinya. Dia sudah pasrah. Napasnya sudah nyaris hilang sepenuhnya. Dia benar-benar kehilangan harapan hidup. Hingga semua yang dilihatnya menjadi gelap Dia berpikir dia mati saat itu. Namun, kenyataan berkata lain.
"Orang itu terbangun, di bawah pohon tempat dia dicekik. Dia kira dia berada di Surga, namun dengan cepat dia menyadari bahwa dia masih berada di dunia yang sama. Dia menatap tubuh mahluk yang mencekiknya kemarin. Tergeletak dan terbakar di bawah sinar matahari. Mahluk itu hangus, padahal kemarin dia tidak memberikan perlawanan sama sekali. Karena bingung, dia memutuskan untuk tidur."
Pada akhirnya aku menyadarinya.
"Dalam tidur itu, dia mendapatkan mimpi bahwa seseorang berambut merah akan berjalan sendirian di sebuah padang pasir. Sendirian dan terkatung-katung. Sama dengan keadaannya. Mimpi itu juga mengatakan bahwa dia dapat mengelola seisi dunia ini. Kemudian orang itu bangun dan melaksanakan apa yang dia lihat di dalam mimpi itu."
"Dan orang itu adalah kau," selaku, "lalu, seseorang berambut merah itu adalah aku."
"Ya, karena itu aku mengatakan pada kau jangan gegabah. Aku juga menyuruhmu cepat-cepat untuk ke sini agar kau tidak kehilangan seseorang yang kau sayangi. Sama seperti aku mencegahmu tadi, aku tidak mau kehilangan seseorang yang kusayangi," tanggapnya.
Dia ingin melindungi orang yang dia sayangi. Sama sepertiku.
Dan kau, Naruto.
"Heh." Aku terkekeh, kehabisan kata-kata untuk membalasnya.
"Karena itu." Steve berdiri, "jangan menyerah, suatu saat kau pasti menemukannya."
Steve berjalan menjauh mendekati obor yang diletakannya tadi dan mengulurkan tangannya padaku. Dia mengajakku pulang.
Aku kembali terkekeh seraya berdiri. Kulangkahkan kakiku untuk menghampiri Steve.
Namun, tiba-tiba aku menginjak sesuatu.
"Hei," gumamku. Kuambil benda berwarna putih yang tergeletak di atas tanah itu. Mataku seketika melebar saat itu juga.
"Ada apa?" tanya Steve menghampiriku.
Aku tidak menjawabnya. Tanganku gemetar memegang benda ini. Kunai berwarna putih dalam versi kotak. Kunai kertas.
Dan satu-satunya yang memiliki kunai ini adalah Konan.
"Steve," panggilku gemetar, "be-benda ini… milik Konan!"
Steve juga terlihat terkejut. Dia segera menghampiriku dan melihat apa yang kupegang.
"Benda apa itu?"
"Ini kunai! Kunai milik Konan! Kunai yang hanya bisa diciptakan oleh kemampuan khusus yang dimiliki Konan!" jawabku senang. "Dan, dan, masih ada beberapa lagi! Menancap di tanah dan pohon!"
Steve mengambil benda itu dari tanganku dan menelitinya baik-baik. "Benda ini adalah senjata dari kertas."
"Memang," ucapku membenarkan.
Steve menyipitkan matanya untuk melihatku. "Dan kau bisa mengangkat blok-blok sesuka hatimu. Sebenarnya, kalian ini apa dan siapa?"
Aku terkejut ketika dia menanyakannya. Tetapi aku kembali tersenyum. "Akan kujelaskan di rumah nanti, sekarang ayo kita cari Konan dulu!"
Steve memutar kedua bola matanya. Dia memberikan kunai itu padaku dan keluar dari rimbunnya pepohonan di antara kami, kemudian kembali dengan membawa banyak sekali anak panah yang kutangkis tadi.
"Kalau begitu, kita akan membutuhkan senjata tambahan jika terjadi sesuatu," ucapnya. Disimpannya semua amunisi itu di balik armornya. Kakinya melangkah mendekat pada sebuah pohon dan menyentuh kunai kertas yang tertancap di sana. "Benda ini masih sedikit hangat. Konan pasti baru saja pergi beberapa saat yang lalu sebelum kita sampai di sini."
"Pergi ke mana?" tanyaku, sedikit meluluhkan harapanku.
"Ke suatu tempat di dekat sini. Dia tidak mungkin pergi jauh-jauh, jika dia pergi jauh, pasti dia meninggalkan tanda seperti kita agar dapat kembali. Dan dia sama sekali tidak meninggalkan blok yang mudah dilihat," jawabnya.
"Baiklah," tanggapku. Aku mengeluarkan oborku dan mengangkat pedangku, "ayo kita cari Konan!"
"Ke arah sana," ujar Steve, dia menunjuk sebuah arah yang berlawanan dengan arah kunai-kunai itu tertancap. "Dia pasti datang dan pergi dari sana."
Aku segera berjalan ke arah yang ditunjuk Steve dan menatapnya. "Ayo!"
Steve berjalan di depanku. "Yang bawa obor di belakang!"
Kemudian dia berlari sambil tertawa-tawa. Aku segera menyusulnya dengan meletakkan beberapa obor. Walaupun matahari sudah terbit sepenuhnya, kami akan tetap membutuhkan penunjuk jalan.
Tunggu kami, Konan! Kami akan menjemputmu!
End of Nagato's POV
~o0o~
Sebuah bayangan mengintip dari balik pepohonan, mengintai Steve dan Nagato yang sedang berlarian.
"Lanjutkan rencananya," bisiknya, entah pada siapa. Sebuah senyum tersungging jelas di wajahnya. Beberapa saat kemudian, dia berbalik, menatap obor yang ditinggalkan Nagato.
"Kami akan mengembalikan kejayaanmu, Tuan," bisiknya.
TBC
Curhatan(?) :
Huaaaaa, saya gak nyangka ada yang menghuni fandom ini, saya kira enggak ada. /dikeplak
Btw terimakasih kritiknya, pada seseorang yang lupa pennamenya dan males ngecek. Terimakasih juga pada kalian berdua yang review, saya juga lupa penname kalian dan males ngecek juga. XD /dor
Tapi tenang, review kalian saya balas di PM, kok.
Well, mind to leave a critic/review again? :p
Adios, amigo!