My First Love is My Housekeeper

Chapter 7

Running away

Uzumaki Naruto punya rencana brilian! Ia akan menolong Hyuga Hinata dan membantu Sasuke untuk menyelamatkan bayi yang dikandung Sakura. Jika ia menyelamatkan bayi itu dari aborsi, maka Sasuke akan mencari bukti-bukti yang menyatakan bahwa Itachi memaksa Hinata memalsukan dokumen-dokumen hukum. Brilian bukan? Ternyata cintanya pada Hinata juga bisa membantu bayi yang tidak bersalah. Cinta memang sangat luar biasa.

Karena cinta itu, Naruto berhasil mengumpulkan Sasuke, Sakura dan Hinata di tempat yang sama, The Sanchaya Hotel. Walau Naruto sempat dimarahi, dicacimaki dan ditolak oleh Sakura dan Sasuke. Namun, kedua manusia keras kepala itu akhirnya menyerah dan terbang bersama ke Pulau Bintan, Indonesia. Pulau ini sangat dekat dengan Singapura. Mereka berempat berlayar dengan kapal pribadi Naruto dan hanya butuh waktu dua jam dari Singapore ke Pulau Bintan.

Jerih payah Naruto tidak sia-sia. Ia memandang Hotel Sanchaya Bintan, dengan senang. Hotel yang bergaya rumah kolonial Inggris ini tampak sangat apik. Dinding putih, daun jendela dan beranda berwarna hitam-putih menghiasi resort itu. Kolam renang yang ada di depan hotel tampak menyatu dengan pantai berpasir putih. Pohon-pohon palem berayun-ayun karena angin pantai yang damai. Tempat ini sempurna! Menurut riset, liburan di tempat yang damai bisa membuat hati lebih tenang. Karena itulah Naruto yakin, tempat ini akan membuat Sakura setuju untuk tidak aborsi! Dengan begitu kasus Hinata juga akan selesai dengan bantuan Sasuke! Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Naruto memang pintar!

"Hinata… Kau tenang saja. Pangeranmu akan menyelamatkanmu dari kasus Itachi," Naruto berbisik di telinga Hinata.

Bidadarinya itu tampak kaget dan langsung berjalan mundur lima langkah. Pipi wanita itu tampak merah merona. Bibir merah mudanya terbuka dengan perlahan, kemudian suara kecil yang damai terdengar dengan lembut.

"Naruto-kun, maafkan aku sudah merepotkanmu… Aku tidak pantas untuk dilindungi seperti ini…"

"Aku akan menyembunyikanmu dari dunia, dari ibuku dan dari media." Naruto mengacungkan ibu jarinya, "Ya kan Sasuke? Sakura? Kalian akan menyembunyikan Hinata juga bukan?"

"Ini semua untuk Hinata, tapi ingat aku tidak bisa lama-lama di sini," Sakura menjawab dengan terburu-buru, "Aku punya urusan lain."

"Urusan lain itu bukan aborsi bukan?" Sasuke langsung menyeletuk, "Kita belum selesai membahas masalah ini bersama-sama."

"Dengar ya Uchiha-san," Sakura melanjutkan, "Yang akan memutuskan aborsi atau tidak itu aku, bukan kau. Lagipula aku ingin memikirkan masalah Hinata dulu. Aku tidak ingin sahabatku dipenjara karena kakakmu memaksa Hinata memalsukan dokumen hukum."

"Aku bisa mencari bukti-bukti bahwa Hinata tidak sepenuhnya bersalah, tapi kau harus setuju untuk menyelamatkan bayi itu dulu." Sasuke menatap Sakura dengan serius.

"Tidak mau."

Kali ini Naruto menghela napasnya. Kedua orang itu masih keras kepala. Hinata juga tampak khawatir dan tidak bisa berbicara apa-apa.

"Sakura-san. Kalau kau tidak mau bantuanku kenapa kau setuju untuk datang ke pulau ini?" Sasuke menaikan satu alisnya.

"Aku hanya ingin menemani Hinata," Sakura menjawab pria itu dengan tegas, "Kau sendiri kenapa ada di sini? Kalau kau di sini berharap aku akan berubah pikiran soal aborsi, lebih baik kau pulang saja."

Naruto menatap wajah Sasuke dengan pusing. Kelihatannya pria itu sama keras kepalanya dengan Sakura. Perselisihan mereka berlanjut lagi.

"Sakura-san. Kau luar biasa keras kepala ya… Jadi apa rencanamu menyelamatkan Hinata kalau aku tidak mau membantumu?" Sasuke menantang wanita itu.

"Aku punya caraku sendiri." Sakura berjalan masuk ke villa dengan kesal, "Lebih baik kau pulang saja alien egois."

"Aku egois?" Sasuke tertawa sinis, "Aku ingin menyelamatkan bayi, sedangkan kau ingin menyelamatkan karirmu sebagai artis. Kali ini siapa yang egois?"

Naruto mengerti, sebagai artis, hamil di luar nikah itu masalah serius. Jika Sakura aborsi, tidak akan ada yang tahu. Media akan damai dan Sakura bisa menjalankan hari-harinya seperti biasa. Jika Sakura memutuskan untuk tetap mempertahankan bayinya…. Karirnya pasti hancur. Artis-artis lain seperti Yamanaka Ino pasti akan menang. Naruto tahu betapa cintanya Sakura terhadap karirnya sebagai artis, tapi Naruto tidak tahu cinta Sakura terhadap karir justru lebih besar daripada nyawa seorang bayi.

"Sasuke-san. Kau tidak mengerti apapun soal hidupku, jadi kau diam saja." Suara Sakura tampak kesal, kemudian wanita itu pergi dan masuk ke resort sendirian.

Hinata yang tampak panik, langsung mengikuti sahabatnya dari belakang. Naruto ingin sekali ikut menenangkan Sakura… Namun ia yakin, Hinata pasti bisa membantu menenangkan hati wanita itu. Hinata adalah bidadari baik hati, jadi Naruto bisa tenang. Bidadari seperti Hianta pasti bisa membantu Sakura sadar!

"Sakura-chan memang keras kepala," Naruto melanjutkan, "Kau sabar saja ya."

"Naruto, kau sudah membuang waktuku di sini, kau ingin aku membantu Hinata atau tidak?" Sasuke tampak kesal, "Sadarkan Sakura secepatnya. Atau masalah Hinata akan tambah parah."

"Apa maksudmu tambah parah?"

"Kau ini sebenarnya tahu masalah Hinata dengan jelas atau tidak?" Sasuke menaikan satu alisnya.

"Hinata dipaksa kakakmu memalsukan dokumen hukum, ditangkap polisi, dibebaskan karena bukti tidak ada, lalu sekarang Hinata kabur?"

"Benar, tapi bisa tambah parah." Sasuke menghela napasnya, "Polisi membebaskan Hinata karena bukti tidak ada. Kakakku juga punya banyak pengacara hebat lain yang sudah menggantikan Hinata. Sekarang kasusnya masih damai-damai saja. Namun jika bukti pemalsuan dokumen itu sudah ditemukan Hinata bisa langsung dipenjarakan."

"Gawat-ttebayo!" Naruto langsung panik.

"Percuma kau menyembunyikan Hinata di sini," Sasuke melanjutkan, "Kalau bukti sudah ada, Hinata akan dicari oleh banyak polisi. Sekarang saja, sudah ada banyak spekulasi kalau Hinata bersalah."

"Tapi Hinata tidak sepenuhnya bersalah! Ia dipaksa Itachi!" Naruto langsung menyeletuk, "Jadi kalau bukti dokumen palsu itu sudah ada, maka kita juga harus memberikan bukti bahwa ia dipaksa Itachi! Aku butuh bantuanmu Sasuke!"

"Bagus kalau kau tidak bodoh seperti Sakura," Sasuke melanjutkan, "Sakura pikir ia bisa menyembunyikan Hinata selamanya… Tapi kau pintar. Kau tahu bahwa kau butuh bantuanku Naruto. Tenang saja aku akan membuat seakan-akan Hinata sama sekali tidak bersalah. Semua adalah salah Itachi."

"Eh?"

"Ya… Kali ini Itachi akan menjadi yang terjahat dari yang terjahat. Aku akan membuat seakan-akan Hinata benar-benar tidak bersalah."

"Bagaimana caranya?"

"Semua… bisa direkayasa dengan uang Naruto."

Naruto merasa janggal, ada perasaan tidak enak di hatinya. Namun, jika ini bisa menyelamatkan Hinata… Mungkin ini adalah hal yang baik. Kali ini Sasuke berjalan masuk ke hotel juga. Naruto semakin yakin, bahwa hari-hari di Pulau Bintan ini akan melelahkan dan memusingkan.

XXX

Haruno Sakura menatap wajah sahabatnya dengan iba. Hyuga Hinata, begitu polos, baik hati dan lemah lembut… sekarang hanya bisa bersembunyi di tengah Pulau Bintan untuk mencari ketenangan. Polisi mencurigainya, tapi tidak bisa mendapat bukti kesalahannya. Itachi memanfaatkan kelemahan Hinata untuk melanggar hukum. Sedangkan media sekarang malah menyebutnya, gadis materialistis misterius yang dikencani Naruto. Entah bagaimana perasaan Hinata, pasti sedih sekali. Hebatnya gadis itu masih bisa tersenyum dengan hangat.

"Aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini." Hinata mengikuti Sakura yang berjalan mengelilingi hotel, "Namun sebenarnya aku juga tidak setuju dengan aborsi itu…"

Kali ini rasa iba Sakura terhadap Hinata berubah seratus delapan puluh derajat. Raut wajah Sakura berubah menjadi serius dan penuh dengan emosi. Ia kaget, Hinata yang biasanya diam dan selalu netral tiba-tiba setuju dengan keputusan Sasuke.

"Hinata masalahmu lebih penting," Sakura menaikan nada bicaranya, "Tidak usah membahas aborsi, hal semacam itu bisa kuselesaikan sendiri."

Kali ini Hinata terdiam. Sahabat Sakura itu hanya bisa mengangguk dan terus mengikuti Sakura. Entah kenapa, Sakura bisa melihat bahwa Hinata agak sedih mendengar kata-kata Sakura.

Mereka berdua hanya terdiam terus. Suasananya jadi sangat canggung. Padahal Sakura setuju pergi ke sini untuk menemani Hinata, untuk menghibur sahabatnya itu. Bodohnya, sekarang justru ia yang membuat sahabatnya menjadi bersedih. Ah, ini semua karena masalah aborsi— seharusnya ia tidak perlu mengatakan keputusannya kepada Sasuke. Apa yang harus Sakura lakukan untuk menghibur Hinata sekarang?

Ah, makanan! Ia tahu Hinata suka memasak dan menikmati makanan. Sakura akhirnya berjalan masuk ke dalam restoran The Dining Room di dalam villa itu.

"Hinata kau mau makan?"

"Um… Boleh, tapi—"

Sakura menatap Hinata yang kebingunan mencari dompet di dalam tasnya.

"Aku yang traktir," Sakura memotong kata-kata Hinata, "Dulu kau juga sering mentraktirku, jadi tidak usah merasa tidak enak."

Sakura langsung masuk ke dalam restoran dan memperhatikan sekelilingnya. Kelihatannya Naruto dan Sasuke sudah menyewa satu hotel, sampai ke restorannya juga. Daritadi semua kosong, tidak ada tamu lain selain mereka berempat. Restorannya hanya dipenuhi oleh waitress dan furnitur-furnitur bergaya Bistronomic. Kayu-kayu vintage, teleskop antik dan buku-buku tahun 1800-an tertata dengan apik. Sinar matahari juga masuk dengan mudah dari jendela-jendela kayu yang bergaya Inggris Kolonial. Restoran ini terlihat seperti restoran bersejarah yang dihiasi oleh sedikit sentuhan modern.

Saat mereka duduk bersama, Hinata langsung terlihat lebih tenang. Kesedihan di wajah gadis itu perlahan sirna. Sekarang mungkin adalah waktu yang tepat untuk mencari topik yang jauh dari aborsi. Sakura benar-benar tidak ingin orang lain ikut campur soal masalah ini. Meskipun orang itu adalah sahabatnya sendiri.

"Permisi," suara waitress yang tenang mencairkan suasana, "Apakah ada yang bisa saya bantu?"

"Kami ingin memesan tiga makanan terbaik di tempat ini," Sakura tersenyum hangat, "Kemudian untuk minumannya, bolehkan saya memesan Vodka Lemonade?"

Kali ini Hinata langsung berbicara dengan lembut, "Sakura… Vodka— alkohol tidaklah baik untuk… kondisimu sekarang."

Sang artis kekinian itu langsung menghela napasnya, "Baiklah, Lemonade saja. Kau ingin minum apa Hinata?"

"Aku ingin air mineral saja," Hinata berbicara dengan sopan, "Terima kasih."

Setelah waitress itu pergi, Sakura jadi merasa kesal lagi. Padahal tadi mereka sudah hampir mengganti topik! Namun, masalah aborsi malah datang lagi. Itu semua karena Vodka Lemonade.

"Oh ya Hinata," Sakura langsung mendapat ide untuk mengganti topik dengan drastis, "Kau sebenarnya suka Naruto atau tidak?"

Kali ini wajah Hinata terlihat sedikit merona. Lesung pipitnya diwarnai merah muda. Wanita itu tampaknya sedikit malu, tapi senyumannya yang sopan tetap mewarnai wajahnya. Seperti biasa, Hinata selalu mencoba untuk menjaga postur tubuhnya yang tegak dan sifatnya yang lemah lembut. Meskipun ia malu, tapi ia masih terlihat seperti putri raja.

"Maaf…" Hinata akhirnya membuka mulutnya, "Aku rasa aku tidak pantas untuk menyukai Naruto-kun."

Kali ini Sakura tertawa terbahak-bahak. "Yang tidak pantas itu Naruto, bukan kamu. Secara logika, Naruto yang seperti anak-anak begitu, seharusnya yang tidak pantas menyukai orang yang dewasa sepertimu."

Hinata masih menjaga posturnya dengan sopan. Sahabatnya itu benar-benar sulit untuk berbicara dengan santai. Entah apakah si bodoh Naruto itu berhasil mencairkan dinding kesopanan Hinata ini. Sifat Naruto itu benar-benar berlawanan dengan sifat Hinata.

"Aku justru merasa Naruto-kun adalah orang yang dewasa."

Kali ini Sakura berhenti tertawa. Naruto? Dewasa? Ini benar-benar di luar dugaan Sakura. Entah apa yang Hinata lihat dari wajah si idiot itu...

"Naruto-kun berhasil mengejar mimpinya, menjadi artis dan menjadi pengusaha yang sukses," Hinata tersenyum lembut, "Sedangkan aku justru lari dari mimpiku sendiri."

"Jika kasus memalsukan dokumen ini tidak terungkap… Kau tetap saja berhasil menggapai mimpimu menjadi pengacara yang sukses Hinata," Sakura menjelaskan, "Kau juga hebat."

Kali ini makanan mereka datang. Hidangan-hidangan yang lezat mewarnai meja kayu mereka. Kambing yang dipenuhi bumbu-bumbu Indonesia. Kemudian Crème Brulee yang di hiasi oleh asap-asap dingin gastronomi… Semuanya tertata dengan indah.

"Makanan punya seni yang indah ya…." Hinata menatap hidangan di meja dengan takjub, "Kau tahu bukan? Aku punya satu mimpi yang dulu kutinggalkan… Aku ingin mendalami dunia memasak."

"Ah… Ya, dulu kau juga pernah ingin menjadi koki," Sakura mengingat-ingat lagi, "Kau sempat belajar dari koki terkenal dunia bukan? Wanita yang bernama Mikoto kalau tidak salah."

"Ya… Aku menyerah karena aku merasa apakah aku berhak punya dua mimpi?" Hinata tersenyum pahit, "Satu mimpi saja tidak bisa kujalankan dengan baik. Menjadi pengacara yang baik saja aku tidak bisa… Aku tidak sehebat kau dan Naruto-kun…"

Kali ini Sakura mengingat-ingat lagi perjuangannya menjadi seorang artis. Ia sendiri juga merasa ia tidak sehebat banyak orang. Ia masih harus berjuang melawan Yamanaka Ino, musuh terbesarnya di karir ini. Jika ia hamil, media akan mencaci-maki Sakura. Meskipun ia menikahi Sasuke… Media akan tahu bahwa pernikahannya itu hanyalah pernikahan karena hamil di luar nikah. Pernikahan terpaksa…. Karena kesalahan Sakura. Jadi aborsi adalah pilihan terbaik… Jika satu nyawa bisa dikorbankan untuk karir yang sudah Sakura perjuangkan. Apalah arti satu nyawa?

"Aku tidak sehebat yang kau kira Hinata." Sakura tersenyum pahit, "Ada banyak hal yang harus kukorbankan untuk mempertahankan mimpiku."

"Seperti satu nyawa?"

Kali ini suara Hinata terdengar lembut, tapi sangat tajam. Entah kenapa sahabatnya begitu mengerti akan dirinya. Ternyata, apa yang ada di hati Sakura, Hinata sudah tahu.

"Aku tidak punya pilihan lain…" Suara Sakura semakin kecil dan perlahan semakin lemah.

"Kita semua punya pilihan." Hinata melanjutkan, "Aku menyesali pilihanku untuk membantu Itachi-san. Jangan sampai kau juga menyesali pilihanmu untuk bayi ini."

Sakura terdiam, hatinya terasa semakin ragu. Tadinya ia sudah yakin ingin mengaborsi bayi ini. Namun, perasaan bersalah, perasaan janggal semakin menyelimuti hatinya.

Nyawa.

Sakura membawa satu nyawa baru di dalam dirinya….

Mungkin saja, nyawa kecil ini bisa mengubah dunia, menjadi pengacara yang baik atau menjadi dokter yang mulia. Namun, Sakura tidak memberikan nyawa ini kesempatan untuk hidup. Apakah ini hal yang tepat? Apakah karir memang lebih penting dari nyawa kecil ini?

Sakura tidak tahu, ia benar-benar tidak tahu.

Apakah mimpi bisa dikabulkan atas dasar kebohongan, keraguan dan perasaan bersalah?

XXX

Pasti ada manusia yang sedang berlari jauh hari ini. Naruto merasa, mungkin Hinata sedang berlari dari pekerjaannya sebagai pengacara. Sakura sedang berlari dari keputusan aborsi. Sedangkan Sasuke sedang berlari entah kemana. Semua orang punya masalah mereka sendiri. Naruto, sang artis kekinian sendiri…. Sedang berlari pagi di hutan Mangrove Pulau Bintan.

Ia berlari di atas jalanan yang terbuat dari kayu. Mata birunya memandang hutan bakau yang penuh dengan burung-burung yang berwarna-warni. Hutan ini sangat sejuk dan penuh dengan udara segar. Naruto bisa melihat akar-akar pohon bakau yang banyak dan kuat. Akar itu berfungsi untuk melindungi abrasi laut, menjaga kualitas air dan melindungi bencana alam seperti hempasan ombak atau badai. Naruto sungguh merasa kagum dengan akar pohon bakau. Akar ini saja bisa begitu kuat dan berguna… Apakah Naruto juga bisa seperti itu? Bisa berguna dan teguh?

Kali ini matanya yang berfokus pada hutan bakau langsung beralih ke titik fokus lain. Bidadari! Ada bidadari! Ia dapat melihat Hinata sedang beristirahat di gazebo kecil di dekat jalanan kayu hutan bakau ini.

Wanita itu tampak tenang dan sopan seperti biasa. Bajunya tampak sopan tapi praktikal. Walau hanya baju sederhana dan celana panjang, Hinata tetap terlihat mempesona. Mungkin ini adalah arti dari kata-kata, 'simplicity wins.'

Hinata masih menerawang jauh ke daerah rawa, tidak menyadari bahwa Naruto sudah berjalan mendekat di belakangnya. Kali ini Naruto dengan iseng meniup udara di telinga kecil Hinata. Walau ia hanya iseng, tapi Hinata langsung terjatuh ke atas lantai karena kaget.

"Hinata! Maafkan aku-ttebayo!" Naruto menunduk untuk melihat keadaan Hinata, "Apakah kau baik-baik saja?"

Walau Naruto panik, tapi Hinata hanya tersenyum dengan sopan dan bangkit berdiri dengan tenang.

"Aku tidak apa-apa," suara Hinata terdengar damai, "Pagi-pagi begini kau sudah bangun dan berjalan pagi?"

"Kau juga Hinata, kau justru lebih pagi lagi daripada aku." Naruto tersenyum hangat, "Bagaimana kau suka pulau ini?"

"Aku suka." Hinata ikut tersenyum hangat, "Namun, aku tidak bisa lari dari kenyataan selamanya… Soal kasus Itachi—"

"Aku akan membantu sebisaku-ttebayo!" Naruto langsung terdengar bersemangat.

"Sebenarnya… aku jadi lebih berpikir banyak tadi malam." Hinata terdengar serius, "Sebagai pengacara yang baik, aku tidak bisa berbohong terus. Aku harus berbicara dengan Itachi dan bertanggung jawab."

"Tapi ini bukan sepenuhnya salahmu-ttebayo!" Naruto langsung menaikan nadanya, "Aku dan Sasuke akan membuktikan bahwa Itachi yang memaksamu! Bahkan Sasuke bilang ia bisa merekayasa beberapa hal dengan uang, dan membuat seakan-akan Itachi yang salah total. Kamu bisa bebas Hinata…"

"Dan berbohong lagi?" Hinata tersenyum pahit, "Walau Itachi-san memaksaku, itu tetap salahku. Aku tetap memalsukan dokumen itu… Aku tidak ingin menyalahkan Itachi-san terus. Aku juga ingin bertanggung jawab."

"Tapi bagaimana dengan mimpimu sebagai koki?"

"Naruto-kun… Aku juga punya mimpi ingin menjadi pengacara yang baik… Namun sekarang aku malah gagal total."

"Aku bisa membantumu menggapai kedua mimpimu Hinata! Apapun yang terjadi, walau aku harus menyembunyikanmu, berbohong, berkorban—"

"Namun, apakah menggapai mimpi harus dengan hal-hal seperti itu?" Hinata tampak kecewa, "Saat aku kecil, aku pikir kerja keras yang paling penting... bukan tipu muslihat."

"Hinata…"

"Saat aku melihat Sakura yang berusaha melindungi mimpinya sebagai artis… Ia bahkan sampai rela membunuh bayi yang tidak bersalah," Hinata tampak semakin sedih, "Jangan-jangan aku juga seperti itu, melindungi mimpiku sebagai pengacara hebat dan sekarang berfokus menjadi koki… Semua dengan berbohong."

Hinata akhirnya berjalan mengelilingi Hutan Bakau itu pelan-pelan. Wanita itu hanya terdiam. Naruto ikut berjalan di samping wanita itu, sambil berpikir juga… Sebenarnya apa yang ada di benak Hinata sekarang.

Ah. Akhirnya mulut kecil wanita itu terbuka lagi.

"Aku berbohong… Aku bilang aku tidak lulus SMA saat kita bertemu di apartemenmu, padahal aku lulus kuliah hukum."

Ah… Iya, waktu itu Hinata memang berbohong, bahkan menuliskan kebohongannya dengan tulisan yang rapih dan jelas.

"Kemudian kebohonganku berlanjut, semakin lama semakin banyak."

Naruto jadi mengingat lagi, saat ibunya mengatakan rahasia Hinata. Bahwa Hinata mungkin adalah orang yang jahat. Sasuke mengatakan bahwa masalah hukum Hinata sebenarnya bisa berlanjut parah. Setiap kali ada kebohongan yang terungkap, wajah manis Hinata semakin terlihat lemas.

"Naruto-kun, apakah tidak pernah terlintas di pikiranmu bahwa aku adalah orang yang jahat?"

Kali ini Naruto mengingat suara ngorok Darth Vader Hinata dan Naruto malah tertawa.

"Maaf Hinata, aku tidak bisa membayangkanmu sebagai orang yang jahat, tanpa mengingat suara ngorok Darth Vadermu."

Kali ini wajah serius Hinata langsung berubah jadi merah merona. Telinga putih, wanita itu juga berubah kemerahan. Sang bidadari itu langsung menunduk karena malu.

"Itu… Aku… Ah, lupakan saja." Suara Hinata terdengar seperti hamster kecil yang sedang makan biji bunga matahari, "Intinya aku tidak ingin jahat lagi… Aku ingin kembali ke Jepang dan bertemu dengan Itachi. Aku ingin menjelaskan semua dengan mantan klienku dulu sebelum aku berhadapan dengan kepolisian. Aku tidak ingin berbohong lagi."

Ini memang keputusan yang berat… Namun Naruto bisa melihat bahwa Hinata serius. Ia ingin berhenti berbohong, berhenti mencari alasan untuk meringankan beban… Berhenti untuk bergantung pada Naruto. Entah kenapa ia merasa Hinata jadi terlihat lebih tegar, lebih kuat. Seakan-akan Hinata sudah menjadi akar pohon bakau yang kuat.

Sebenarnya, Hinata berbohong atau tidak berbohong. Naruto sudah terlanjur menyukai Hinata… Namun ia baru tahu, justru ketika Hinata justru menjadi berani dan ingin mengakui kesalahannya…. Hinata justru jadi terlihat makin dewasa, makin mempesona…. Makin membuat Naruto kagum.

"Hinata… Sebelum kau kembali ke Jepang, aku boleh melakukan sesuatu tidak?"

Kali ini Hinata terlihat bingung, "Bolehkah aku tahu apa itu Naruto-kun?"

"Aku ingin membacakan puisi untukmu, aku baru saja membuatnya di benakku."

Kali ini Hinata terdiam sebentar karena kaget. Kemudian wanita itu akhirnya mengangguk perlahan.

"Ehem. Ini adalah puisi dari Uzumaki Naruto untuk Hyuga Hinata." Naruto menunjuk pohon bakau di tempat itu dengan percaya diri, "Judulnya Pohon Bakauku."

"Eh?" Kali ini Hinata hampir tertawa, "Pohon Bakauku?"

"Dimana air laut dan air rawa bertemu,

Di sanalah kutemukan dirimu

Saat ombak lautan penuh amarah

Akar-akarmu tak pernah goyah

Di dunia ini, kaulah pohon bakauku

Melindungi ragaku, menyejukan jiwaku."

Kali ini Naruto menatap Hinata dengan penuh harapan. Ia menunggu wanita itu merespon puisinya yang gombal. Namun, wanita itu hanya terdiam dengan wajah yang kebingungan. Entah salah tingkah atau hanya tidak punya jiwa seni. Naruto tidak tahu yang mana.

"Hinata… Kau tahu maksud puisinya bukan?" Naruto menggaruk-garuk kepalanya, "Maksudnya kau itu seperti pohon bakau, karena tidak mau kabur saat ombak dunia datang."

Kali ini Hinata semakin terlihat aneh. Hinata jadi tidak bisa diam dan berjalan maju-mundur. Ah! Pasti salah tingkah! Itu pasti jawabannya! Hinata malu karena Naruto begitu romantis! Mungkin lingkaran friendzone ini akan segera berakhir!

"Hinata," Naruto semakin mendekat, "Puisi ini kubuat hanya untukmu."

"Iya… Tapi…" Hinata menunduk kebawah, "Pohon bakau itu sedikit… u-unik?"

Kali ini Naruto langsung meneliti puisinya sekali lagi. Tunggu dulu! Biasanya, puisi-puisi gombal ala sinetron berhubungan dengan bunga mawar! Kenapa Naruto malah memilih pohon bakau?! Argh…. Naruto benar-benar bukan pria yang romantis! Bodohnya ia malah merasa sangat romantis tadi…. Mungkin pemikiran Naruto masih harus lebih banyak di asah lagi.

"Ah! Maafkan aku Hinata, kurang romantis ya?" Naruto langsung tertawa malu, "Kelihatannya perjalanan friendzoneku masih jauh."

Kali ini Hinata tertawa karena reaksi Naruto. Kemudian karena tawa Hinata, sang artis kekinian itu ikut tertawa juga.

"Pohon bakau ya…" Hinata tersenyum lagi, "Ya. Kurasa kita memang harus kuat seperti pohon bakau… Tidak terus berlari dan kabur… Namun berpegang teguh kepada apa yang benar."

XXX

A/N:

It's finally here again Terimakasih sudah menunggu chapter ini. Aku sangat suka dengan hutan bakau. Entah kenapa, aku sangat bangga menjadi orang Indonesia. Negara ini sebenarnya memiliki hutan bakau terbanyak di dunia. I think that's pretty awesome. Hutan bakau punya banyak manfaat dan sangat penting untuk ekosistem. Perairan di dekat pohon bakau bisa dipakai untuk tempat tinggal kepiting, akarnya menahan abrasi dan ombak besar, kemudian bisa juga dipakai untuk tempat wisata.

Thank you so much for your support! Have a wonderful day!