Disclaimer : The Twilight Saga by Stephenie Meyer
Saya tidak mengambil keuntungan apapun kecuali kesenangan dari fic ini
...
1. Kilas Balik
...
Tangan-tangan dingin menarikku lebih jauh tenggelam dalam lautan api yang membakar tubuhku, seakan melindungiku dari panas api tersebut. Sejalan dengan tarikan dari tangan-tangan dingin itu, rasa dingin tersebut memasuki tubuhku berusaha menolerir ap yang telah membakar sel-sel tubuhku, berusaha memadamkannya.
Jangan! Teriakku, aku ingin perubahannya sempurna.
Namun, seberapapun aku berteriak tidak ada yang mendengarku, tiada yang susah payah mengapaiku dan melanjutkan proses perubahanku. Sama sekali tidak ada.
'Ada apa ini?'
Entah apa yang ada di dalam pikiranku, itu suara Jacob yang panik. Ini bodoh sekali, seharusnya ada suara lain yang lebih berhak untuk panik selain Jacob. Namun, selain Jacob tiada lagi yang panik untukku, bahkan suara Edward tidak terdengar sama sekali.
'Lebih baik aku panggilkan Carlisle!'
Pemikiran yang bagus Jake, panggil Carlisle dan masukkan kembali panas membara dalam tubuhku ini.
Tangan dingin itu, kembali menarikku berusaha memberitahukanku ini bukan tempat yang tepat bagiku. Suhu dingin yang sama sekali tidak familier olehku, sentuhannya dan belaian kulit tangannya sama sekali bukan tangan Edward, bukan suh Edward, dan bukan aroma Edward. Tangan dingin itu lebih kepada orang yang telah lama aku lupakan, belaiannya dan bahkan sentuhan kecilnya pada hidungku, aku seakan merindukan tangan dingin ini.
'Beristirahatlah, Re. Biar Bella bersamaku,' bujuk suara Charlie.
'Char!' rengek Renee.
'Tenanglah, aku akan memperhatikan Bella dan yang lainnya,' bisik Charlie meyakinkan.
Kembali tangan dingin itu menyentuhku dengan lembutnya.
'Tidurlah, Isabella.'
Ini aneh sekali, tangan Charlie tidak pernah sedingin ini dan terasa seperti vampir, tangan Charlie hangat dan kasar, bukan dingin seperti porselen. Peristiwa apa yang membuat tangan Charlie berubah menjadi porselen? Apakah karena efek berdekatan dengan Edward yang membuat tubuhku beradaptasi?
'Ini tidak mungkin,' ucap Carlisle terpukau.
'Perutnya menutup dengan cepat, rahimnya memperbaiki diri. Ada apa ini?' tanya Edward.
'Aku tidak tahu, Edward,' jawab Carlisle lemah.
'Apa kita harus mengeluarkannya?'
'Coba saja, Edward!' ucap Jacob dingin.
Dingin yang lain menerpa kulitku, dingin dari barang berbahan dasar besi.
Jangan, jangan membunuh Reneesmeku! Teriakku dan seperti beberapa waktu lalu kulakukan teriakan itu sama sekali tidak terdengar tiga orang atau beberapa orang lain yang berada di dalam ruangan ini.
Tidak! Kembali tangan dingin menarik tubuhku menjauh dan lebih kasar dari pengalaman yang tadi, mendekap tubuhku dengan kasar berusaha lebih keras memasuki daerah-daerah yang tidak disentuh oleh api-api menjilat berusaha merebut dominasi di dalam tubuhku.
'Tiada yang dapat menarik pemicu pada tubuh kita selain para palasiak, tubuh kita terbentuk untuk mempertahankan tanah nenek moyang. Meskipun aku bukanlah darah murni dalam pertalian suku ini, meskipun darahku tiada kental dengan kalian para pendekar terpilih para penjaga tanah leluhur. Tapi, semangat jiwa kalian semangat diri kalian dan semangat kesatuan kita telah melekat pada diri kita untuk mempertahankan tanah kita dari palasiak.'
Aku dapat mendengar gaung-gaung yang lain pada suara Charlie, aku dapat merasakan semangat dari dirinya yang tiba-tiba saja menjalar ke setiap aliran darahku. Aku dapat menangkap setiap perkataan Charlie selanjutnya mulai dari strategi-strategi yang dilontarkan oleh beberapa orang di dalam perkumpulan ini, dan disambung kata-kata semangat Charlie di dalam menentukan pilihan dan menentukan kelompok.
'Darah memang lebih kental dari air, tetapi darah terdapat di dalam tubuh sedangkan air bersatu dengan alam dan tubuh.'
'Apapun itu, dia sangat kuat,' ucap Edward memberitahukan kepada Carlisle.
'Aku mendengar dia berkembang, Edward,' ujar Carlisle memberitahukan.
Dingin dan panas kembali bergejolak dalam tubuhku, menggerakkan persendian dan ototku tanpa sadar.
'Carlisle, apa yang terjadi?!' ucap Jacob panik.
Selanjutnya yang kurasakan, tubuhku terhempas ke udara.
'Bawa Bella bersamamu, Ang,' perintah Charlie.
'Kau aman bersamaku. Kau aman bersamaku. Kau aman bersamaku,' bisik seseorang yang asing berusaha menenangi dirinya sendiri.
'Anggi!' seruku tercekat
'Tenang Bella, kau aman bersamaku,' bisiknya kembali berlari melesak seakan-akan angin menemani langkah kakinya.
'Kau aman bersamaku!'
'Carlisle, lakukan sesuatu!' teriak Edward seakan memerintah.
'Apapun itu, dia mencoba untuk keluar, keluarkan dia Carlisle,' seakan tak mau kalah dengan Edward, Jacob menimpali dengan nada suara yang panik.
Kemudian yang kurasakan, sesuatu yang tajam membelah perutku.
'Kau aman bersamaku,' bisik suara asing itu kembali.
Namun perkataan hanyalah perkataan, yang kurasakan kemudian tubuh kecilku yang ringkih terlempar dan mendarat dengan punggung menyentuh batang pohon.
'Tidak, kau aman padaku, Bella,' ucap suara asing itu putus asa. Setelah ucapan penuh putus asa itu, tiba-tiba suara pakaian robek terdengar dan diiringi dengan suara badai besar dan beberapa derak pohon yang patah.
Apa dia selamat?
Tiada yang mengetahuinya, tangan dingin kembali menarikku dengan keras. Suara koyakan terdengar kembali, beberapa tulangku berderak nyeri sebagai interaksi antar otot .
'Carlisle!'
'Tenanglah, Jacob.'
Kembali suara koyakan terdengar, ada beberapa kali koyakan itu terdengar seakan berusaha mengoyak penghalang dengan sangat hati-hati, rasa nyeri yang datang menerpa sama sekali tidak kuhiraukan aku berkonsentrasi di antara peperangan panas dan dingin mendengar suara halus koyakan dan dengan anehnya berharap dia dapat mencapai batas akhir bagian yang akan dikoyaknya. Namun, tidak ada suara terakhir koyakan membuatku khawatir, dan sebagai gantinya rasa dingin di bawah permukaan kulit membuatku nyaman.
'Carlisle!'
'Nanti dulu, Edward'
Lalu, suara koyakan terakhir membuat dadaku bertalu-talu seakan berbahagia dengan kedatangannya.
'Bersabarlah, Bella,' suara asing itu kembali berusaha menenangkanku.
'Anggi, sudahlah,' ucapku memberitahunya.
'Tidak, Bella, dengar buka matamu, kumohon,' bisik Anggi meminta.
Semua menggelap, dan yang dapat kuhirup adalah bau karat besi yang sangat memuakkan.
'Dia seorang bayi, Edward,' bisik Carlisle semakin menjauh.
'Bella, Bella,' ucap Jacob panik.
Sesuatu seperti batu beton menimpa dadaku, berusaha mengeluarkan isinya, dan kurva panas berusaha menyadarkanku. Namun, semua kembali menggelap, peperangan antara panas dan dingin masih berlangsung dan hasilnya malah lebih parah, rasa mual terasa di dadaku mendesak ingin keluar namun tidak dapat dikeluarkan, ingin rasanya tangan ini bertugas menarik dari kerongkongan mengeluarkan benda apa saja yang berusaha mendesak keluar itu, tetapi apa daya tangan inipun memberontak, seakan-akan dapat berpikir sendiri tangan ini terasa menjauh dari sistem koordinasi tubuhku, meliuk-liuk menikmati ritme antara peperangan dingin dan panas seakan tidak acuh dengan apa yang terjadi berikutnya. Rasa seperti tersedak di antara kegelapan.
'Bella, bersabarlah, kita hampir saja sampai,' ucap suara asing itu.
Sampai kemana? Ke surga? Aku dan Charlie sama sekali tidak memercayai itu. Ingin rasanya memprotes setia kata kekhawatirannya namun tubuh ini dapat berkoordinasi dengan pikiran, semuanya lemah perkataan Carlisle-Edward-Jacob dan suara asing ini perlahan berbaur menjadi satu.
'Bella, kumohon jangan mati, sebentar lagi Charlie datang,' bisik suara itu putus asa.
'Bella, kumohon terjagalah.'
'K'napa Anggi?'
'Karena kau pusat grativasiku.'
Semua suara tiba-tiba menghilang, dan aku membisu di dalam kegelapan bersamaan dengan hilangnya kesadaran.
'Karena kau pusat grativasiku.'
...
.
.
.
TBC
.
.
.
...
Apa ini?
/Pundung dipojokkan/
Terima kasih kepada kak Rae yang sempat-sempatnya membaca fic ketjeh badai ini /lebeh lu/
.
See you next chapter
.
Rian. K