A/N : Yep, nggak kerasa sudah dua tahun nggak update Re:born. Ini hanya potongan-potongan cerita sebagai pelengkap chapter-chapter kemarin dan berikutnya yang ditulis namun nggak di upload selama 2 tahun ini.

Enjoy!

[][][][][]

(1) Cafe Noir and Basketball shoe

"Tetsu-nii, Ada kafe baru buka dekat rumahnya Tadano-baasama! Aku baru saja dikasih kupon diskon oleh pegawainya! " seru Inori girang, wajahnya memancarkan sinar bahagia hingga membuat pipinya berwarna pink layaknya bunga sakura. Dengan tenaga yang sepertinya tersembunyi dibalik tubuh mungilnya, dia perlihatkan rentetan kupon pada tangannya

Pikirannya kini mengambang pada berbagai macam jenis teh yang bisa ia sesap pada kafe baru ini, belum lagi diskon hingga 50% nya yang menggiurkan! Bisa-bisa Tetsuya harus menggendong adik kesayangannya ini.

Tetsuya mengambil kupon pada tangan Inori dengan ragu-ragu, disatu sisi dirinya harus menabung untuk membeli sepatu basket yang notabene tidak murah, di sisi lain ia tidak ingin mengecewakan Inori dengan menolak ajakannya. Belum lagi Tetsuya kini sudah jarang menghabiskan waktu dengan Inori, sibuk dengan ekskul dan pekerjaan rumah yang entah kenapa seperti nggak habis-habis.

'Selain itu aku juga lagi ingin minum milkshake hari ini... ' pikir Tetsuya dalam hati.

Saking seriusnya ia berpikir hingga tidak sadar senyuman kemenangan yang mekar pada bibir Inori. Ia memang sengaja 'memalak' waitress yang bekerja pada kafe baru itu dengan puppy-eyes dan gestur menggemaskan agar memberinya kupon yang lebih banyak. Saking berhasil dengan 'palakkannya' , Inori bahkan mendapat boneka beruang kecil hitam putih oleh manajer kafe tersebut.

Inori sendiri tidak tahu kapan manajer tersebut masuk ke ruangan.

'Puppy-eyes memang mengerikan... Untung saja aku masih kecil, kalau tidak udah diamuk masa kali.' gumam Inori dalam hati. Iya mengepalkqn tangan dan menaruhnya ke atas.

Tetsuya, setelah beberapa detik terdian dengan pose berpikir, akhirnya mengambil sebuah keputusan yang amat sangat penting bagi kehidupan bumi, sama pentingnya seperti oksigen pada tumbuhan dan air pada ikan. Seorang Kuroko Tetsuya membutuhkan asupan vanilla milkshake agar organ tubuhnya tetap berjalan dengan lancar dan kencang, seperti menggunakan pert*max.

Dia terkena virus Butuhkus vanila-milkshaketitus yang kalau tidak ditangani bisa menyebabkan lemah, lesu, tidak nafsu makan, hingga menghilangkan hawa keberadaan pasien.

Tapi ia juga butuh sepatu basket yang mampu memberi support pada kaki dan pergelangan kakinya, tanpa sepatu basket yang bagus bisa saja dia keseleo dan berakibat fatal!

Hmmm...

Prioritas

Prioritas

Pada pelajaran matematika ekonomi , Tetsuya diharuskan untuk membuat tabel prioritas oleh gurunya, ia jelas-jelas menulis sepatu basket sebagai urutan pertama dalam tabel tersebut.

Label kertas pada tabungannya yang bertuliskan harga dari selatu yang ia inginkan juga berkata demikian.

Sepatu. Basket. Untuk. Lomba!

Karena milkshake bisa dibeli kapan saja!

Milkshake bisa beli di Wc Donald...

Harga di Wc Donald pasti lebih terjangkau juga...

.

Lebih penting sepatu basket !

.

.

.

.

.

.

Oleh karena itulah...

.

.

.

Tetsuya merasakan tarikan pada ujung kaos oblong kuning mustard bertuliskan [Slam Dunk] ,namun typo hingga menjadi [Slam Dang], yang saat ini ia kenakan. Tarikan tersebut memang tidak bertenaga, ia dapat dengan mudah menghiraukannya.

Namun sang penariknya lah yang tidak dapat ia hiraukan samasekali, tidak dengan air mata yang membuat efek seolah-olah Inori memiliki mata biru yang besar.

Dengan imut dan manjanya Inori kembungkan pipinya dan memonyongkan bibir. "Tetsu-nii, onegai~" rayunya, ia terus menarik-narik baju Tetsuya.

Dia tidak tahu kalau memiliki seorang adik perempuan akan seperti ini, mungkin benar kata Ogiwara, sahabatnya, kalau dirinya memanjakan Inori.

Tidak, lebih tepatnya dirinya dan kedua orang tuanya.

.

.

Tangan kiri Tetsuya mengacak-acak rambut biru muda, sewarna lebih muda dari Tetsuya, milik Inori. Ikalnya yang Inori habiskan waktu untuk merapihkan dan membuat kepalanya tidak seperti Medusa dapat dengan mudah Tetsuya hancurkan. Padahal menurut Tetsuya adiknya terlihat cantik walaupun rambutnya seperti bangun tidur.

Mungkin dia bias juga, secara Inori merupakan adiknya sendiri.

.

.

.

.

.

Akhirnya Tetsuya memutuskan untuk membeli milkshake.

Rasa vanilla.

Dua.

Dengan kentang goreng berbalur keju sebagai makanan pendamping.

Dan sepertinya keputusan yang dia pilih tidak salah, karena vanilla milkshake yang ia minum mampu membuatnya melayang ke surga pada setiap atom yang melewati indra perasanya.

Suasana kafe yang sepi, bersih, dan rapih membuat pengunjungnya betah untuk berlama di kafe ini. Senandung piano klasik yang berasal dari piano pada pojok kafe dengan pemainnya yang handal memberi atmosfer yang beda. Mereka merasa pada dunia yang berbeda sesaat menginjakan kaki di kafe ini.

Hidangan yang disediakan juga beragam. Sepertinya ada full course menu disini yang penuh dengan kejutan-kejutan pada setiap masakan yang diolah oleh koki.

[ Gastronomy ]

Itu istilah yang digunakan oleh waiter kafe slash resto saat menjelaskan menu kepada mereka, ralat, menjelaskan menu ke Inori dan kaget hingga terbelakak dan berteriak saat menyadari bahwa ada orang selain Inori di sana.

Dengan hati senang dan puas mereka melangkahkan kaki keluar dari kafe kecil bernuansa minimalis dengan warna monokrom namun hangat ini. Tetsuya dan Inori berjanji untuk sering-sering berkunjung.

Inori, mengetahui dilema Tetsuya, langsung bertekad untuk menggunakan kekuatannya dengan meminta mama dan papa agar membelikan sepatu basket untuk Tetsuya sebagai hadiah.

Senyuman dan perasaan bahagia yang meluap-luap dari setiap pori-pori Tetsuya saat melihat isi dari kerdus yang secara misterius berada di atas kasurnya beberapa hari setelahnya menjadi momen yang tak terlupakan oleh keluarga Kuroko.

Pada ketiga kalinya ia berku jung ke Cafe Noir Tetsuya tidak lupa untuk mengajak sahabat karibnya, Shigehiro Ogiwara. Inori yang pada kunjungan pertama membeli berbagai macam jenis teh seperti orang kehausan, kini hanya terdiam sambil sesekali mensesap teh hijau layaknya Yamato Nadeshiko berwajah kepiting rebus.

[][][][][]

Inori - 3 SD

(2) Benci?

Aku nggak tahu kalau ini hanya perasaanku saja atau bagaimana, sepertinya ada seseorang yang membenciku pada kelas ini. Padahal ngomong sama orangnya aja jarang banget, lho! Kenapa si bocah satu ini malah benci ke aku? Heran.

Ichinatsu Yamamori namanya, kenapa aku tahu? Karena aku dipaksa menjadi sekertaris kelas, mau nggak mau harus hafal dengan wajah dan nama setiap orang di kelas 3-4 ini.

Hanya orang masochist yang ingin menjadi anggota pengurus kelas, apalagi menjadi pengurus OSIS saat SMA nanti.

Memang wajahnya imut dan setiap kali ia menatap tajam ke wajahku dengan mata merah mudanya, ia seperti anak kucing yang sedang marah karena diambil makannya, alias tidak menakutkan. Bahkan Yoshikawa saat sedang marah terlihat lebih mengerikan dibandingkan manusia satu ini.

Yah... Semengerikan anjing chihuahua yang marah. Dalam hati aku memanggil Yoshikawa dengan sebutan [Brownie].

Beruntunglah Ichinatsu tidak membully ku, rekan satu gengnya hanya senyum-senyum nggak jelas dan mendorong Ichinatsu ke arahku setiap kali aku lewat. Kalau sampai pembullyan itu terjadi, anak sd atau bukan, akan aku spike dengan bola voli langsung menuju glabela-nya. Jangan remehkan jiwa preman pemain Voli SMA ya!

Aku selalu menghiraukan mereka, Ichinatsu dan gengnya, hingga suatu saat aku sakit selama 3 hari karena demam tinggi dan muntaber. Minum teh yang sudah expire 1 tahun tidak baik ya kawan.

Ichinatsu yang ngasih tugas sekolah ke rumahku saat aku tidak masuk, padahal dulu-dulu selalu Brownie-kun yang nganterin. Kenapa berubah?

Di sekolah juga ia memberiku teh susu saat istirahat tiba... Aku berterimakasih, sih. Tapi manusia mana yang tidak curiga saat orang yang membenci ku tiba-tiba memberiku minuman kantin kesukaanku ?

Hei, aku belajar dari dongeng Snow White! Terakhir kali ia makan apel dari orang mencurigakan ia berakhir koma!

Karena aku curiga akhirnya nggak aku minum, pas pulang sekolah aku kasih ke Brownie-kun.

Pada saat itu Brownie-kun menatapku aneh dan dengan nada defensif berkata, "Aku nggak bakal ngebagi cheese burger ku besok ke kamu... Kalau itu yang kamu harapkan." Tapi pada akhirnya ia minum juga.

"Ya kali, itu dari Ichinatsu." ucapku santai, menyenggol bahunya dengan bahuku. "Bagaimana, Ada rasa sakit perut? Mau muntah? Mau pingsan? Koma? Sesek nafas?" aku menatapnya dengan intens.

Semburat yang menyaingi Merlion keluar dari mulut Yoshikawa, membentuk parabola dengan pelangi. "Kamu mau membunuhku?!" ucapnya terbatuk-batuk, wajahnya pucat mendengar pertanyaan yang aku lontarkan.

"Lagian kamu ngebuat masalah apa sih dengan Ichinatsu?" ia mengelap sisa semburatnya menggunakan lengan baju, kini ia terlihat seperti habis berak di tangan.

"Hei, kenapa kesannya aku yang berbuat berbuat sesuatu!" jawabku sewot, "Dia yang menatapku dengan tatapan aneh seharian, tahu! "

Brownie-kun mengedip sekali, lalu dua kali. "Aneh? Bukannya kamu yang aneh?"

"oi!"

"Setahu ku dia kan su... " ia menatap sesuatu di belakangku, wajahnya yang pucat semakin pucat seperti hantu. Atau orang kebanyakan pakai foundation, tapi tidak mungkin Brownie-kun menggunakan foundation dalam sekejap.

Aku menyeringitkan dahi, "Su? Sushi? Tsubasa? Suteki? Subarashi? Susu? " tanyaku tidak sabaran.

Karena penasaran aku mengikuti arah pandangannya, dan menemukan salah satu anggota geng Ichinatsu di sana. Ia... Tersenyum setengah ketawa ke arah sini?

Dia gila ya? Kenapa senyum-senyum sendiri coba...

"Satō-kun, jangan lupa ya! " teriak salah-satu-geng-Ichinatsu-entah-namanya-siapa-kun, lalu dia melambai dan memberi wink ke arah sini sembelum berjalan pergi. Sumpah nyeremin abis.

"Satō-kun siapa, Yoshikawa?" tanyaku polos sekaligus bercanda.

"Yoshikawa Satō, itu namaku! Selama ini nggak tahu?! " teriaknya shok, ia melihatku seperti sakit hati.

Jadi merasa bersalah nih, "Un, gomen... Habisnyanggak pernah denger nama panjang mu. "

Brownie-kun yang ternyata bernama Satō-kun menghela nafas. "Jangan lupa ya! "

Aku tersenyum gigi, membuat mataku menyipit pada ujungnya, "Sip sip, Satō-kun! "

Ia langsung nengok kanan kiri dengan wajah ketakutan, "o-oi, kamu beneran mau ngebunuh ku ya? "

"Satō-kun, kenapa? Tadi juga kamu ngomong belum selesai! Ichinatsu penggemar sushi?"

"Hah?!"

"Yang tadi!" aku melipat kedua tanganku di depan dada. "Ehem, 'Setahu ku dia kan su... ' habis itu kamu berhenti" aku membeo ucapan Brownie-kun dengan cara meninggikan nada dan memberinya aksen ngasal.

Empat siku muncul di dahi Brownie-kun , "Aku tidak bersuara seperti itu! Kamu sepertinya butuh cotton bud yang banyak." Dia lalu membuang botol milk tea yang tadi aku beri ke tong sampah, seperti anak bebek aku mengekorinya dari belakang.

"Jadi?"

Brownie-kun menatap ku, sambil menyeringitkan dahi, ia membuka tutup mulutnya seperti ikan keluar dari kolam.

Untuk kesekian kalinya ia menghelakan nafas, "Walaupun kamu ranking satu paralel tapi ternyata kamu sangat bodoh soal beginian ya... " ia mengucapkannya dengan nada lelah.

"Aku tidak tahu kalau itu pujian atau bukan"

"Sudah lupakan, tidak penting. Ichinatsu suka sushi, sudah. Titik. Selesai."

Aku menatapnya penasaran, "uhm... Oke"

Selama perjalanan aku memikirkan hal ini, Brownie-kun yang biasanya sekalu berceloteh saat pulangbareng kini juga diam seribu bahasa. Hanya ucapan "Bye, Kuroko-chan" yang terucap pada akhirnya.

Hmmmm, heran.

Seperti ada yang aneh disini.

Apa aku dikerjain oleh Brownie-kun?

Mama juga kenapa malah kegirangan seperti terkena durian runtuh saat aku menceritakan hal ini saat makan malam. Mama langsung melejit ke atas dan melkukan aktifitas entah apa di sana, kemungkinan besar membawa baju dress lolita dan memaksaku untuk mengenakannya

Papa... Kenapa papa memegang mug hingga pecah? Papa tau itu mug terbaik di rumah kita? Itu mug bisa muat teh banyak, lho?

Kumohon lain kali jangan mecahin mug besar saat makan malam, Papa.

Te-tetsu-nii? WAJAHMU MENGERIKAN WOI ! Plis banget itu sumpit kenapa dipegang kayak mau bunuh orang aja oi. Tolong hargai makanan, Tetsu-nii!

Pas naik kelas 4 baru nyadar kalau ternyata Ichinatsu menyimpan perasaan sama aku.

Maaf ya Ichinatsu, tapi aku tidak mau dibilang pedophile. Walaupun wajahku masih SD tapi dalam jiwa udah legal buat minum alkohol, tau?

[][][][][]

A/N : Karena author sendiri tidak pernah lompat kelas, jadi informasi yang disediakan di bawah bisa jadi melenceng dari kenyataannya. Di Jepang sendiri tidak diadakan kelas akselerasi karena tiap murid wajib bersekolah min. 12 tahun DAN Jepang memandang bahwa semua orang berhak untuk bersekolah. Tidak mengenal status, ras, ataupun sebagainya.

Kuroko Nohana

(3) Mama

Aku tahu ada yang spesial dari putri tercintaku, Kuroko Inori, dari dalam kandunganku. Sebut hal tersebut sebagai insting wanita, atau insting seorang ibu dalam kasus ini.

Otaknya mengalami perkembangan yang bisa dibilang signifikan saat masih dalam kandungan, cukup signifikan hingga bisa dibilang abnormal.

Dokter kandungan yang merawatku terkejut melihat hal ini, belum pernah dalam masa kariernya ia bertemu dengan kasus seperti ini. Ia memberiku sebuah berita, bahwa ada kemungkinan besar kalau bayiku, kecil dan manis, mengindap gangguan mental saat dilahirkan nanti.

Pada saat itu aku dan suamiku, Kuroko Riku, menerimanya dengan lapang dada. Bagaimana pun juga anak merupakan anugerah terbesar dari Tuhan.

Kami mulai mengikuti seminar yang menjelaskan mengenai membesarkan anak dengan kebutuhan khusus, membeli banyak buku , dan berkumpul dengan para ibu dengan pengalaman yang sama. Manis dan pahitnya mereka ceritakan, pengalaman yang berharga dan membekas dalam dada memberi kami semangat untuk kedepannya.

Saat tiba waktunya, rasa mulas dan sakit berbarengan dengan perasaan gugup bermekaran. Aku menggenggam tangan Riku erat, dia bahkan terlihat lebih pucat dan gugup dibanding diriku dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.

Riku terlihat seperti ingin menangis saat melihat rasa sakit yang aku alami, padahal ini sudah kedua kalinya ia menyaksikan hal ini, ekspresi yang ia kenakan tidak berubah dari kelahiran yang pertama. Hal tersebut membuatku semakin mencintai Riku.

Kita semua cemas ketika Inori tidak menangis saat dilahirkan, tangisan pertama bagi bayi merupakan hal yang amat penting untuk membuka paru-parunya agar oksigen dapat masuk. Namun ketika suster selesai memotong tali pusar dan menggendongnya, suara tangisan yang nyaring terdengar di telinga.

Rasa lega membanjiriku, putri kami lahir dengam sehat ke muka bumi ini. Hal ini membuatku ikut menitikkan air mata. Keluarga kami bertambah satu. Satu malaikat yang tangisannya bagaikan nyanyian.

Inori tumbuh dan berkembang dengan sehat, diagnosa dokter pada saat itu salah. Ia menjadi putri yang kuat dalam arti fisik maupun psikis, tidak ada yang mampu menolak rayuan manjanya, Inori juga memiliki kepribadian yang cukup keras kepala.

Tatapan matanya ketika Inori masih bayi seperti mengerti apa yang kita bicarkan, dia selalu memandang wajah penbicara lalu melihat gerakan bibir tiap kali berbicara. Ia menengok ketika ada yang memanggil namanya, seperti sudah paham kalau 'Inori' merupakan namanya.

Inori menolak menggunakan popok pada usia yang terbilang belia, dan demi mendapatkan apa yang ia inginkan, ia mulai belajar menggunakan toilet sendiri saat ia bisa melangkahkan kakinya.

Ia juga tidak suka menggunakan dot, saat menginjak playgroup Inori menjadi satu-satunya anak yang minun susu menggunakan gelas atau setidaknya sedotan. Inori bahkan mendapat pujian dari guru playground karena dapat minum tanpa menumpahkan isinya ke baju.

Putri kami seolah-olah tumbuh dewasa dengan sangat cepat di depan mata kami, aku sedikit merasa takut kehilangan Inori, rasanya dalam sekali kejapan mata Inori sudah menjadi pengantin dan berpisah dari kami.

Ada saat dimana kepribadiannya berubah secara drastis, seperti mengalami pubertas dini, terlalu dini. Ia menjadi lebih pendiam, kita bingung apa yang harus dilakukan, Tetsuya tidak pernah seperti ini.

Anak kecil lain tidak pernah seperti ini.

Namun lambat laun ia mulai berbicara lebih banyak lagi, secara perlahan namun pasti, memang tidak sama seperti dulu tapi itu merupakan sebuah perubahan positif. Aku membeli kue tart rasa teh, kesukaan Inori, sebagai bentuk selebrasi kecil-kecilan.

Kami pikir semuanya akan berjalan seperti biasanya untuk kedepannya, tapi seperrinya Inori masih menyimpan banyak kejutan dalam hidupnya.

Inori ingin untuk lompat kelas, lompat dua kelas lebih tepatnya.

Tepat setelah Inori mengutarakan keinginannya dan keluar dari kamar, kami berdiskusi hingga larut malam. Kelas akselerasi ditiadakan oleh pemerintah karena suatu hal, dan pastinya tidak karena hal yang simpel dan sederhana sehingga dapat dengan mudah dilanggar.

Tapi, kalau Inori bisa rasanya tidak ada salahnya mencoba. Belum lagi ini pertama kalinya ia mengutarakan keinginannya untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tetsuya maupun orang lain.

Kami merasa kalau hal tersebut dapat berperan penting dalam hidupnya, seperti ada suara-suara kecil dalam lubuk hati kami agar menyetujui keinginannya untuk memperbolehkannya lompat kelas.

Kami memulainya dengan konsultasi ke sekolah Inori, menanyakan pendapat dan saran dari mereka. Secara mereka adalah orang tua Inori selama berada di sekolah, kami tidak mengetahui bagaimana Inori di sekolah selain dari yang diceritakan wali kelas dan Inori sendiri.

Sekolah mendukungnya, melihat prestasi akademik (nilai secara keseluruhan) dan non-akademik (organisasi) yang dimiliki Inori, Kepala sekolah memberi persetujuan agar Inori lompat kelas. Memberi Inori surat rekomendasi dan melanjutkannya ke dinas pendidikan.

Selanjutkan merupakan hal yang sibuk dan merepotkan. Tes pendidikan yang diadakan oleh dinas dengan waktu persiapan yang terbilang sedikit, psikotes untuk mengetahui kesiapan Inori, bertemu dengan kepala sekolah-kepala sekolah yang akan menerima Inori sebagai murid (tidak sedikit), tes tingkat sekolah, dan masih banyak lagi.

Tapi senyuman yang dikenakan Inori dan Tetsuya saat mengetahui kalau dirinya diterima pada SMP yang sama dengan Tetsuya entah kenapa seperti membalas semua jerih payah yang sudah kami lewati.

[][][][][]

Kuroko Inori

(4) Wartawan

Rasanya kepala mau pecah melihat kerumunan orang dengan video recorder dan mic di depan sekolah, ketika pengumuman kalau ada anak lompat kelas 2 tahun dan diterima di SMP Teikou yang baru saja dikeluarkan kemarin lusa. Rasanya setiap orang penasaran dengan anak yang disebut-sebut dalam koran kota sebagai 'Einstein' kecil.

Aku merasa bersalah jadinya, pasalnya aku hanya anak SMA yang terjebak dalam tubuh akan SD, tidak ada dalam setetes darahku yang meneriakkan kalau aku itu jenius dalam hal ini. Aku hanya memiliki keuntungan belaja lebih awal saja, atau malah belajar hingga ke jenjang SMA sebelum dilahirkan di dunia anime ini. Aku tersenyum lirih memikirkannya.

Untungnya SD ku dan SMP Teikou membuat peraturan yang ketat mengenai para wartawan tersebut, salah satunya tidak boleh memasuki area sekolah dan tidak boleh mengambil gambar orang yang bersangkutan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Takut kehidupanku menjadi terganggu dengan kehadiran mereka. Hingga saat ini yang berhasil mewawancaraiku dan bertatap muka hanyalah koran kota saja.

Kebayang nggak kalau kedua sekolah itu tidak mengeluarkan peraturan tersebut? 24/7 aku akan bertatap muka dengan wartawan, kegiatan belajar mengajar tidak akan kondusif lagi.

Aku akan lebih mirip hewan unik dalam kandang kebun binatang, dipandang tanpa privasi. Di sekolah maupun di rumah.

Bisa jadi salah satu acara adventure yang biasa menjelajahi hutan dan sekitarnya secara tiba-tiba masuk ke kamarku dan dengan santainya berkata "Yak permisa, kita bisa lihat ini hewan langka dalam habitat aslinya."

Memikirkannya membuat bulu kudukku berdiri.

Oleh karena itulah setiap kali aku berjalan pulang ke rumah dengan Brownie-kun aku selalu menggunakan pintu belakang sekolah. Walaupun perjalanannya lebih jauh, baik ke rumahku maupun rumah Brownie-kun, namun Brownie-kun tetap kukuh untuk pulang bareng. Aku tidak lupa untuk memberinya makanan kecil pada keesokan harinya sebagai tanda terimakasih.

Atau mungkin dia hanya mau menemaniku karena makanan kecil saja? Mengingat 50% pikirannya dipenuhi oleh cheeseburger rasanya tidak salah.

Betapa terkejutnya aku ketika menyadari pintu belakang sekolah juga dipenuhi wartawan, jauh lebih banyak dari pintu depan. Kalau gitu gimana caranya kita bisa pulang?!

Kenapa aku terjebak di anime gila-basket? Kenapa nggak nyasar di anime yang punya genre fantasy jadi aku bisa terbang dan menyihir semua wartawan di sini biar menghilang?! Huft!

BAHKAN ADA YANG MEMBAWA LENSA GEDE DONG! Lensa yang biasa dipake saat pertandingan olahraga! Stress kali ya tuh bapak-bapak, jelas-jelas sudah dibikin peraturan tidak boleh ngambil gambar sembarangan.

Melihat kerumunan yang sepertinya tidak kunjung reda, malah semakin menjadi-jadi, sekolah mengerahkan satpam buat membubarkan wartawan yang bertengger di depan sekolah. Termasuk yang membawa tenda dan peralatan kemping.

Mereka seperti anak kecil yang kecewa karena acara kempingnya dibatalkan saat diusir pergi oleh satpam, aku terkekeh melihatnya, sedangkan brownie-kun menatapku seperti orang sakit jiwa. Maaf ya, Brownie-kun, hanya orang dewasa yang mengerti.

Akhirnya kita bisa pulang lewat pintu depan setelah semua wartawan diusir pergi, dengan aman tentram dan damai berjalan pulang.

Setidaknya itu yang aku harapkan.

Wartawan seperti predator yang lapar saat melihat berita panas dan jiwa persaingan mereka langsung tersulut saat mengetahui hanya satu media yang pernah meliputinya. Tanpa aku sadari mereka bersembunyi di balik mobil van dan diam-diam memperhatikan gerbang sekolah.

Baik depan maupun belakang.

Saat aku melangkahkan kaki ke luar sekolah, sambil mengenakan hoodie kuning mustard dan menyembunyikan rambutku di dalamnya, rasanya pintu yang memisahkan antara sumber makanan dengan predator langsung terbuka begitu saja.

Mereka langsung menyerbu kami berdua sambil menenteng kamera segede gaban dengan kekuatan yang tidak terkira dan menanyakan beribu pertanyaan layaknya machine gun, aku merasa sedikit takut melihatnya. Kakiku terasa terpaku di aspal.

Seperti menyadari ketidak nyamananku, Brownie-kun langsung menarik tangan kiriku dan memaksaku untuk berlari kencang tanpa aba-aba.

Semenjak tiba di dunia ini aku jarang melakukan aktifitas fisik selain di pelajaran olahraga, aku menyesalinya sekarang. Kalau dulu aku bisa melakukan marathon sekolah tanpa terengah-engah, sekarang rasanya mau mati di tempat. Tidak aneh kalau besok ada berita yang membaha mengenai seorang murid SD [*****] mati karena kebanyakan berlari.

Aku tidak tahu kemana dia membawaku pergi, pikiranku terfokus kepada kaki yang seperti ingin copot di tempat dan nafas yang memburu, jantungku berdetak dengan kecepatan cahaya menyaingi roket antariksa dan mungkin bisa terbang ke luar angkasa kalau dilepaskan. Antara kulit sama baju sudah tidak ada bedanya, aku mandi keringat.

Tidak, aku berenang keringat dengan baju sekolah.

Tiba-tiba Satō-kun , aku terlalu capek untuk mengingat nama panggilannya, berbelok dengan tajam layaknya pembalap F1 dalam pertandingan. Bunyi 'ckit ckit ckit' yang terbuat dari kolaborasi antara ban dan jalanan entah kenapa terdengar dalam telingaku.

Aku kira bakal selesai, tapi dia menarikku lagi, menuju temlat yang sama sekali belum pernah aku tuju. Ini kayak hutan dong, banyak banget pohon dimana-mana.

Takut nyasar, aku menanyakan rasa curigaku ke Satō-kun, "He-hei, kita mau kemana?" tanyaku sambil terengah-engah. Aku semagin gerogi ketika kita memasuki area berpagar.

Dengan santainya si bocah cheeseburger menjawab, "Nggak tau, yang penting kabur! "

KALO NYASAR GIMANA WOI!

"ha...haah... Be-berhenti! " aku menarik tangannya ke arahku, menahan agar Satō-kun diam.

Saking kencangnya aku menarik, Sato-kun terjatuh ke arahku dan menimpa badanku ke belakang. Dia memutar badannya sehingga kami saling berhadapan dan menggunakan tangannya sebagai tumpuan di kanan dan kiri kepalaku. Tasku yang hanya aku sangkutkan di satu bahu terlempar dan isinya keluar semua, menunjukkan buku ensiklopedia tebal dan berat.

Sekarang aku terlentang di tanah dengan Satō-kun di atasku, wajah kami hanya berjarak beberala senti. Kabe-don namun di tanah. Hidungku dapat mencium bau matahari khas Satō-kun dengan jelas.

WOI WOI WOI ! Terakhir kali aku mengeceknya Kuroko no Basket itu anime/manga shounen! Bukan shoujo!

Belum lagi badanku sakit karena tanahnya keras dan berbatu! Rasanya badanku mau terbelah jadi dua, belum lagi rasa nyeri yang menyerang otot-ototku, mereka membakar lemak dengan sadisnya.

Satō-kun! Jangan blushing woi! Ini aku lagi sakit badan ngapain blushing!

Tepat sebelum aku menyeruakan pikiranku, Satō-kun menopangkan berat badannya ke sebelah kanan dan menggunakan tangan kirinya untuk menutup mulutku. Tangannya yang baru saja menyentuh tanah dan hal-hal lainnya.

Aku dengar-dengar kalau cowok habis melakukan 'bisnis'nya di toilet jarang cuci tangan...

Hiiiiii !

Wajahku pucat menyaingi putihnya tahu untuk miso, rasa jijik keluar dari perutku, kuharap manusia satu ini mencuci tangannya atau akan ku taruh obat pencahar pada makanannya.

Jangan pikir ke sana, Inori!

Lupakan!

Lupakan!

Manusia-yang-aku-harap-mencuci-tangannya, tidak menyadari perasaan dan pikiran yang memenuhi otakku dan mengalihkan pandangannya ke depan, ia mengeluarkan suara 'shhh' sebagai isyarat agar aku diam.

Hentakkan kaki yang banyak dan bergerumuh serta teriakkan sahut menyahut melewati kami, tidak sedikit juga yang akhirnya memutuskan untuk menyerah dan pulang.

Aku menahan nafas selama kejadian tadi berlangsung, suara dentuman jantungku dan manusia-yang-aku-harap-mencuci-tangannya terdengar jelas dan nyaring. Kita seperti buronan yang dikejar polisi karena mencuri sesuatu.

Dengan secepat kilat, aku mendorong manusia-yang-aku-harap-mencuci-tangannya saat semuanya berakhir, aku berguling-guling seperti tringgiling kebanyakan makan cabai untuk menjauhkan diri dari dia. Raut bingung terpampang pada wajahnya.

"He-hei!" seru manusia-yang-aku-harap-mencuci-tangannya.

Aku memandangnya dengan tatapan dingin dan membunuh "Pertanyaan, kamu mencuci tanganmu sehabis dari toilet atau tidak? "

Manusia-yang-aku-harap-mencuci-tangannya mengedip beberaoa kalu, bingung dengan pertanyaanku, sebelum memerah "Enak saja, aku mencuci tanganku tau! " gerutunya.

"haaah, syukurlah." tangan kananku ditaruh di dada, aku merasa lega bukan main. "makananmu kini aman dari obat pencahar" lanjutku datar.

"O-OI! Sudah gila ya?!" manusia-yang-untungnya-mencuci-tangan melihatku dengan panik, namun pada akhirnya tidak menggubris kelakuanku karena capek. "ya sudah lah, sekarang kita pulang."

"un, makasih sudah nolongin dan batuin."

Satō-kun mengepalkan tangannya dan menaruhnya di dada dan berseru layaknya protagonis manga shounen, "Tentu saja, kan kamu boku no nakama! "

Keesokan harinya aku memberinya dua boks cheeseburger."

[][][][][]

A/N: Pulau Ogisuira cuman buatan author saja, tapi namanya terinspirasi dari pulau Ogasawara yang memang berada di Jepang. Kalau pulau Namaota memang karangan saja.

Yarashi Nanao

(5) New Student

Gila gila gila gilaaa! Tokyo memang gila!

Transportasi umum yang banyak, kafe-kafe imut, Makanan barat yang berlimpah, fashion style yang sangat trendi, orang-orang yang berseliweran bagaikan semut! Aku berasa seperti memasuki dunia lain saat tiba di sini. Apa benar aku masih di Jepang?

Sulit bagiku untuk mempercayainya kalau aku masih berada pada negara yang sama.

Lahir dan besar di pulau entah berantah dengan nama [Ogisuira] yang bahkan hanya memiliki dua waktu jadwal bis dalam satu hari (pulang dan pergi) jika ingin menuju ke pulau ini, dengan melewati jembatan cukup besar yang sepi kehidupan. Artinya, jika kita mau berkunjung atau pergi dari pulau itu dan melewati jadwal kedatangan bis, kalian harus menunggu besok sebelum bus itu datang lagi.

Ada perahu dan ferry, namun tidak setiap hari karena ombak besar yang menanti. Bisa sih setiap hari kalau memiliki nyali yang tinggi sekaligus nekat dan ingin bertemu dengan kami-sama lebih cepat.

Mall? Apa itu mall? Apa mall bisa dimakan? Tidak ada mall dalam pulau itu, pasar tradisional adanya.

Convenience store? Yang ada toko kelontong yang didirikan oleh warga sekitar, dengan barang-barang yang dipenuhi oleh makanan tradisional, cemilan tradisional, minuman tradisional, semuanya berbau tradisional. Belum lagi jaraknya jauh dari rumahku. Jadi... Adanya convenience store yang sama sekali tidak convenient.

Cita-citaku semasa kecil hanya satu, pergi dari pulau ini dan menghabiskan sisa hidupku di Tokyo. Aku ditertawakan oleh sekelas saat menulis esai mengenai hal ini, mereka kira gadis desa sepertiku tidak akan bertahan lama di Tokyo. Lihat saja ya! Akan aku tunjukkan kalau aku bisa menjadi gadis kota yang cantik menawan! Lihat saja!

Oleh karena itu aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga lupa waktu demi mencapainya, aku kesusahan untuk meninggalkan aksen yang sudah mendarah daging dalam diriku, walaupun pada akhirnya aku bisa berbicara tanpa aksen layaknya gadis kota, namun aksen itu keluar lagi tiap kali aku emosi.

Aku belajar masak, nyuci baju, bersihin rumah, nyetrika , dan sebagainya sama obaa-san . Aku belajar mengganti lampu, membenarkan sepeda, motong rumput, menanam tanaman, hinggga membenarkan atap oleh ojii-san.

Aku tidak ingin memberatkan mereka dengan biaya dan rasa cemas kalau cucunya tidak akan hidup lebih dari 1 minggu di kota metropolitan seperti Tokyo. Oleh karena itu aku mulai mencari beasiswa yang di dalamnya termasuk biaya sehari-hari. Warnet seperti rumah kedua ku.

Hampir mustahil memang, mana ada sih sekolah yang sebaik itu? tapi hasil jerih payah ku membuahkan hasil. SMP Teikou yang terkenal prestigious yang dibanjiri berbagai prestasi akademik dan non-akademik menyediakannya, asrama bagi siswa berprestasi dari luar kota yang ingin berilmu di SMP ini. Dengan masuk ke dalam mininal ranking 5 besar paralel dan mengikuti Olimpiade Sains Nasional untuk IPA atau Olimpiade Sosial Nasional untuk IPS selama belajar di Teikou.

Bagi yang berprestasi dibidang non Akademik harus menyerahkan piagam yang diraihnya saat pendaftaran , minimal perlombaan pada tingkat distrik, mengikuti perlombaan minimal 1 perlombaan selama 1 semester, dan masuk kedalam 400 besar rangking paralel.

Bagi yang menerima beasiswa Teikou akan disediakan asrama satu orang satu kamar, toilet di setiap lantai berada di ujung kanan dan kiri, kamar mandi bersama, dapur dan ruang tengah bersama. Namun harus membersihkan kamar, toilet dan kamar mandi sendiri. Ada penjaga asrama (seperti ibu kos) yang mengurusi makanan, satpam depan, dan curfews hingga jam 10 malam. Lebih dari jam 10 malam gerbang di tutup dan tanpa kompromi.

Laki-laki dan penjaga asrama berada di lantai 2, perempuan berada di lantar 3. Dapur, ruang tengah, dan kamar mandi berada di lantai 1.

Yang lebih hebatnya lagi, penerima beasiswa tidak membayar biaya listrik, air, gas, ataupun wifii. Namun hanya membayar biaya kehidupan sehari-hari seperti makanan, atau mungkin jika ingin bersenang-senang di Tokyo.

Seperti setan kepanasan aku langsung mendaftar diri di Beasiswa ini. Aku tidak kaget ketika melihat jumlah orang yang mendaftar dan berapa banyak yang keterima, 5% besar kemungkinannya keterima di beasiswa ini.

Tapi tidak ada salahnya mencoba kan? Selain itu aku memang menyukai belajar dari kecil, tidak ada rugi juga kalau aku tidak diterima.

Yep, aku akan menunjukkan kalau aku bisa!

Lihat saja!

Kelanjutannya seperti masa-masa tersibuk yang pernah aku alami dalam hidupku, di ping-pong kesana kemari untuk mengurusi administrasi yang super banyak. Tatapan tidak yakin yang dilempar oleh teman satu sekolah, dan ejekan yang dilontarkan seperti bumbu dalam jerih payah ini.

Tes yang dilakukan pada sekolah-sekolah terpilih Teiko mengharuskanku pergi ke pulau sebelah demi tes yang dilakukan selama 3 hari dan hari keempatnya langsung balik ke Ogisuira, badanku berasa seperri dimasukkan ke dalam mesin penggiling daging. Aku sempat demam selama 2 hari ketika balik, membuat obaa-san dan ojii-san panik.

Setelah penantian selama 1 bulan yang menegangkan... Aku keterima!

Kepada okaa-sama dan oto-sama di surga, putrimu berhasil keterima!

Aku menangis saking bahagianya, obaa-sama membuat nasi beras merah sebagai perayaan atas keberhasilanku, kami menikmatinya dengan khidmat. Malam itu kami berbicara tanpa henti. Tidak ada yang komentar saat air mata mulai banjir dari mata kami semua. Aku memeluk mereka dengan erat.

Mereka memberiku omamori dari kuil di atas bukit saat kepergianku.

Aku harus pergi ke pulau yang lebih besar , Namaota, dengan menaikki bis dan menggunakan kereta untuk ke Tokyo

Dan sekarang setelah aku tiba di Tokyo dengan selamat tanpa gangguan, adrenalin muai terpompa lagi. Selama perjalanan dari stasiun kereta ke asrams aku tersenyum seperti orang gila kerasukan setan orang gila! Pak supir sesekali menengok ke arahku untuk memastikan kalau aku bukan orang sakit jiwa yang nyasar ke Tokyo.

Aku tidak bisa berkata apa-apa mengenai SMP Teikou dan Dormitorinya, sepertinya aku membutuhkan peta agar tidak tersesat di sini. Sekolahku yang berada di Ogisuira sebesar lapangan baseball di SMP Teikou! Ada gedung olahraga yang mapuu menampung orang banyak! Ada kolam renang! Ada lapangan tennis! Ada labolatorium yang banyaaaaaaan bangeeet! Pohon sakura dimana mana! Bunga indah menghiasi halaman!

Yakin ini sekolah bukan istana?

Mulutku seperti jatuh dengan tersendirinya saat melihat dengan kedua mataku sendiri, aku tidak menyangka kalau aku, gadis desa biasa, bisa bersekolah di SMP yang sebesar dan sebagus ini. Semuanya terasa seperti mimpi, aku meminta pak satpam yang mengantarku mencubit tanganku.

Pak satpam terhenti ketika mendengar permintaanku, namun pada akhirnya melakukannya juga.

SAKITTT!

ini semua nyata...

Masih ada waktu 1 minggu sebelum upacara penerimaan mahasiswa baru tiba, aku menghabiskan hari-hariku berkeliling kota Tokyo (TOKYO!) dan Teiko. Aura orang Tokyo memang berbeda, mereka seperti bersinar dengan terang! Berbeda dengan lampu remang-remang yang keluar dari diriku. Aku tidak lupa memfoto pemandangan Tokyo dan mengirimnya ke obaa-san dan oji-san di Ogisuira, serta mengirim beberapa barang ke rumah mereka juga sebagai rasa terimakasih ku.

Ah! Aku menemukan anjing lucu! Tokyo memang beda ya...

Saat upacara penerimaan murid baru tiba, jantungku seperti sedang main sirkus di dalam dadaku. Tanganku langsung basah dan bolak-balik aku mengelapnya ke rok agar hilang. Aku dengar yang menerima nilai tertinggi pada saat tes masuk akan memberikan pidato sebagai perwakilan angkatan kami!

Pasti gadis itu cantik dan menawan! Kaki panjang seperti model-model runway dengan rambut cantik yang berkibar saat jalan menuju podium. Tidak seperti rambut hitam lurus tipis membosankan yang aku punya, aku lebih mirip sumpit yang diberi wig bob, atau zashiki warashi (youkai).

Saat aku berada di koridor menuju gedung, aku merasa seperti ada yang menepuk bahuku, ketika menengok kanan-kiri dan tidak menemukan siapa-siapa bulu kudukku berdiri. Namun tepukkan itu semakin kuat, ditambah dengan suara manis dan tinggi memanggilku.

"Sumimasen, onee-chan"

"ARRGHHHJ! " teriakku dengan tidak imutnya, mirip teriakkan gorilla wanita, tidak kusangka nilai feminin ku akan hilang dalam hitungan detik. "He? Onee-chan? " lanjutku, sambil nengok ke bawah.

ADA BONEKA BERBICARA!

ADA BONEKA BERBICARA KEPADA KU!

TOKYO MEMANG BERBEDA!

"Ah, maaf sudah ngagetin" boneka tadi membungkukkan badannya sedikit, rambut biru langitnya yang diikat pony atas terjatuh pada salah satu bahunya. "Gedung penerimaan mahasiswa baru dimana ya? " tanyanya.

Mahasiswa barunya boneka? Kepalaku pusing memikirkannya.

"ah.. Umm... Aku juga mau ke sana... " jawabku gugup, entah kenapa aku jadi gugup. "Mau barengan kesananya? " tanyaku, memainkan ujung rok selututku.

"Un! Namaku Kuroko Inori, salam kenal! " boneka-yang-ternyata-bernama-Kuroko-ini memiringkan kepalanya ke kanan, senyuman manis yang tersungging di bibirnya membuat mata birunya menyipit membentuk bulan sabit.

Kuroko-san menyodorkan tangannya.

IMUUT BANGEEET BONEKA INI!

KEREEN BONEKANYA PUNYA MARGA SEGALA DONG!

TOKYO MEMANG BEDA!

Oh tidak, aku merasa seperti ingin pingsan saat ini juga saking senangnya...

Aku membalas jabatan tangannya dengan erat, tangannya lembut sekali... Seperti kapas... "Sa-salam kenal, Kuroko-san. Namaku Yarashi Nanao.. " berbeda dengan senyumannya aku seperti menahan BAB sebesar nuklir.

Kami diam selama perjalanan, aku diam-diam melirik Kuroko-san di sebelahku. Kuroko-san entah kenapa terlihat waspada dan melirik kanan-kirinya dengan hati-hati. Ia juga bersembunyi di balik badanku saat seseorang dengan rambut ungu melewati kami, dan juga wartawan... Menapa ada wartawan di sini?

(TOKYO MEMANG BEDA!)

Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku membiarkannya bersembunyi di balik badanku, aku merasa seperti orang hebat entah kenapa. Seperti pahlawan yang melindungi peri hutan dari penyihir bertopi dan jubah hitam jahat serta iblis pemakan peri. Aku kebanyakan baca buku dongeng memang.

Kuroko-san memberiku ucapan maaf dan terimakasih ketika kami melewati mereka, sepertinya ia merupakan orang yang cukup pemalu dengan orang banyak dan kamera hingga bersembunyi seperti itu.

Setekah kami tiba di gedung, kita langsung berpisah menuju tempat duduk masing-masing sesuai dengan kelas yang telah dibagikan pagi tadi di lapangan tengah. Yah, aku dengan Kuroko-san masuk ke kelas yang berbeda, padahal aku berharap satu kelas dengan dia.

Aku duduk di bagian tengah ruangan, sedangkan Kuroko-san berada di depan panggung, bersama beberapa orang lainnya di sana. Mungkin merupakan anggota VVIP seperti yang ada di drama-drama? Anak konglomerat?! Sindikat kriminal?!

TOKYO MEMANG BERBEDA!

Selama pidato kepala sekolah entah kenapa mataku selalu terjatuh pada surai biru langit milik Kuroko-san di depan, hadeuuuh! Aku seperti penguntit kalau begini! Tepukkan tangan yang menggerumuhlah yang membuat pandanganku kembali panggung.

Wah, sepertinya sehabis ini pidato penerima nilai tertinggi! Jantungku berdetak lebih kencang saat menantikannya, layaknya bertemu artis Hollywood dan artis papan atas lainnya!

"...kepada Kuroko Inori-san, kami persilahkan.. "

HAH?!

Mataku membelakak ketika melihat Kuroko-san berjalan ke atas panggung, menuju podium yang terletak di tengah-tengah. Dia berusaha untuk meraih mic namun tidak sampai di tangannya. Seorang panitia datang membawa kursi kecil untuk Kuroko-san naikk dengan tergesa-gesai.

Terdengar pekikan ' kawaiii' dari penjuru ruangan.

Wo-woah! TOKYO MEMANG BEDA!

[][][][][]

Bersambung~

Word count : 5698

31 pages

[][][][][]

A/N : sorry for the absent guys, this past 2 years has been a hectic year for me. Ngga nyangka pindah sekolah dan kota bakal ngebuat ku stress dengan segala urusan dan printil-printilnya.

Pekerjaan rumah sama sekali tidak membantu, yang nyiptain PR kayaknya ada kontrak sama iblis untuk ngebuat murid-murid gila dalam sekejap dengan tumbal jiwa yang gila tadi. Kertas HVS yang dihabiskan untuk mengerjakan PR kalau dikumpulin dan dikilo lalu dijual sepertinya mampu membuatku bergelimabg harta saking banyaknya.

Let's hope this year will be a calm and happy one not another rollercoaster of emotion one, or maybe I just jinx myself by saying this.

See you next time!

Jangan lupa tonjok da favorite button dan review!