Disclaimer : Hiroshi Takahashi

Main cast

- Park Jimin

- Takiya Genji

- Kim Jegun

- Aizawa Sora

Genre : Romance

~Misa Mitsuka~

Happy Reading

. Jimin mengamati bingkai-bingkai foto yang tertata rapi di atas meja. "Siapa yang menata ini? Seingatku tidak ada foto ini saat terakhir aku kesini." Jimin menunjuk sebuah bingkai dengan foto Genji, Hideo dan Mai.

"Kusimpan di gudang," sahut Genji.

"Dan kenapa sekarang berakhir di sini?"

Genji membalik lembar komiknya. "Sora."

"Ah." Jimin mengangguk paham. "Ini saat usiamu berapa tahun?"

"7 tahun."

"Kau tidak punya adik?"

"Tidak."

"Kenapa?"

Genji menutup buku di tangannya, meletakan di atas meja lalu memandang Jimin. "Berhenti bertanya macam-macam. Kau seperti wartawan."

Jimin mendelikan bahu. "Aku hanya mencari topik pembicaraan," sahutnya seraya duduk di samping Genji. "Ngomong-ngomong, kenapa Jeje dan Sora belum juga kembali?"

Genji memandang ke luar jendela, jujur ia juga memikirkan hal yang sama seperti Jimin. 15 menit yang lalu, Sora dan Jegun bilang ingin membeli beberapa bahan makanan. Mereka bahkan menolak keras saat Genji dan Jimin ingin mengantar.

Jimin dan Genji masih menunggu, sampai 10 menit kemudian, tiba-tiba bel rumah Genji berbunyi. Genji beranjak dari tempatnya lalu menuju pintu, meninggalkan Jimin yang kini mulai membuka buku yang tadi ia baca.

Genji menyerit saat melihat Jegun di depan pintu. Gadis itu nampak membawa beberpa kantung belanjaan. "Dimana Sora?"

Jegun mengerutkan kening. "Sora tidak memberitahumu? Dia dipanggil ke pusat penelitian biro 2 sebentar. Sora bilang akan menyusul."

Genji merogoh sakunya, mengecek sebuah pesan yang ternyata sudah dikirim beberapa menit lalu oleh Sora.

"Ngomong-ngomong, Genji. Bisakah kau menyingkir dari pintu? Aku ingin masuk, barang-barang ini berat sekali."

"Jimin di ruang tamu." Genji menggeser tubuhnya. Jegun masuk, membuka sepatunya lalu melangkah memasuki rumah Genji.

"Aku tahu,"

Brak!

Jimin sedikit tersentak saat Jegun meletakan -melempar- belanjaannya ke samping Jimin. "Kau mau membuatku jantungan, Sayang?"

Jegun memutar bola mata jengah. "Seingatku kau tidak punya riwayat sakit jantung, Jimin."

"Apa ini?" Jimin mengamati dua buah mangkuk plastik transparan yang masih tertutup rapat dengan isiian yang Jimin tidak tau apa.

"Makanan khas indonesia," sahut Jegun seraya duduk di sofa.

"Namanya?" Sambar Genji tiba-tiba, lalu duduk di sebelah Jimin.

"Seb-" Jegun berhenti bicara lalu mengeluarkan secarik kertas. "Ah, seblak."

Jimin dan Genji mematung. "Hah?"

"Memang ada nama makanan seaneh itu?" Tanya Jimin.

"Jangan menghina!" Jegun berdecak kesal. "Rasanya enak, sungguh."

"Dari mana kau tahu?" Genji mengambil mangkuk itu, memutarnya guna melihat isi di dalamnya, hanya ada tumpukan benda berwarna merah seperti cabai yang telah diblender kasar yang dicampur dengan benda lembek berwarna putih. Seperti kue pipih terbuat dari tepung.

"Aku melihat beberapa turis asal indonesia memakannya tadi. Mereka kelihatan sangat menikmatinya. Mau mencoba?" tutur Jegun.

"Aku tidak yakin," ujar Jimin. "Ini cabai kan?"

Jegun mengangguk. "Rasanya tidak pedas, aku bahkan melihat para turis itu memakannya dengan sangat cepat. Dan, mereka tidak terlihat kepedasan sama sekali."

"Kau sudah coba?"

"Sudah," Jegun menatap Genji. "Aku mau menantang kalian."

Genji menyerit. "Apa?"

"Kalian harus menghabiskan makanan ini. Satu mangkuk untuk satu orang. Dan harus dihabiskan, tidak boleh berhenti di tengah jalan."

Genji menatap Jegun curiga. "Kau memasukan racun kedalam sini?"

Jegun tersentak, sementara Jimin langsung bereaksi, menyikut bahu Genji. "Jangan berpikir macam-macam pada pacarku," protes Jimin.

"Tingkahnya mencurigakan, hal seperti ini yang harus dicurigai."

Jegun mendesah kesal. "Aku bukan pembunuh, Genji."

"Calon pembunuh maksudmu?" ralat Genji.

Jegun menatap Genji horror. "Kau serius ingin kubunuh ya?"

"Jadi tantangannya apa?" Jimin mulai merasa diabaikan.

"Ah baiklah. Mudah saja, cukup habiskan makanan ini. Tunggu sebentar aku akan ambilkan minum." Jegun berdiri, berjalan menuju dapur lalu mengambil dua botol air dingin di kulkas, serta dua buah gelas.

Setelah kembali, ia meletakan barang yang sudah ia ambil di atas meja. "Setuju?"

"Setuju. Aku penasaran bagaimana rasanya," ujar Jimin.

"Bagaimana, Genji? Jika tidak berani tidak perlu ikut. Aku tahu kau-"

"Aku setuju." Jegun bersorak dalam hati. Ia tahu, ego Genji pasti terlalu tinggi untuk menolak tantangannya. Sementara Jimin, hanya perlu mengedipkan mata, Jimin pasti menurut.

Jegun membuka segel dari kedua tempat makanan tersebut. "Nah, makanlah. Tidak ada batasan waktu. Yang penting habiskan. Oh iya, sekedar informasi. Itu kerupuk tenggiri. Dicampur dengan beberapa cabai dan bumbu lain. Rasanya enak sekali. Aku yakin kalian suka."

Jimin mengambil sendok, mulai menyendok makanan itu lalu memasukan kedalam mulutnya, begitu pula dengan Genji. Jegun terlihat menahan senyumannya. "Kalau sudah dimakan harus dihabiskan."

Genji dan Jimin sama sama terdiam, saat makanan itu menyentuh lidah mereka. Rasa panas menjalar, menyebar di dalam rongga mulut mereka.

Genji dan Jimin buru-buru mengambil gelas lalu meminum air dingin sudah Jegun siapkan.

"Makanan macam apa ini?!" Rasa pedas di mulutnya masih belum hilang.

Jegun tertawa kecil. "Aku sudah bilang namanya seblak. Nah sekarang habiskan. Kalian sudah memakan satu suap, itu artinya harus dihabiskan."

Jimin menelan salivanya kasar. Membayangkan bagaimana jadinya jika makanan yang rasanya seperti tumpukan cabai itu masuk kedalam tenggorokannya.

"Jeje, ini-"

"Jangan protes, Jimin." Jegun menyela. "Cepat habiskan. Dan Genji, ish kau payah sekali. Baru satu suap saja sudah tidak sanggup makan."

Jimin menyentuh pundak Genji, berbisik pelan. "Makanan pedas akan terasa enak jika dinikmati."

Jimin mengambil mangkuknya, menyendok makanan itu lalu mulai melahapnya lagi.

Jegun tertawa kecil lalu menatap Genji. Tawanya menjadi senyum mengejek. "Takut, Genji? Dasar payah."

Merasa tak terima, Genji mulai melakukan hal yang sama dengan Jimin.

Jegun diam diam mengambil ponselnya, memotret wajah Jimin juga Genji yang menurutnya sangat lucu. Keduanya nampak kepedasan. Bahkan botol yang tadinya penuh dengan air dingin kini sudah habis setengahnya. Padahal makanannya masih seperempatnya saja yang sudah habis. Tapi Genji dan Jimin terlihat benar-benar tersiksa.

Jimin berhenti. Batuk untuk beberapa saat. Jegun menyodorkan sekotak tissu. Jimin mengambil selembar tissu lalu mengusap mulutnya. Ia kembali mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis. Sungguh, ini makanan paling pedas yang pernah Jimin rasakan.

"Menyerah?" Tanya Jegun. Yang tak kunjung merasa kasihan sedikitpun, padahal wajah Jimin sudah sangat memerah menahan pedas.

Jimin melirik Genji, makanan Genji sudah habis setengahnya. "Aku masih bisa."

Jegun terkikik geli saat Jimin kembali memakan makanannya. Ia benar-benar ingin tertawa terbahak-bahak melihat wajah Jimin dan Genji.

"Mau kuambilkan minum lagi?" Jegun menawarkan saat melihat botol minum Genji sudah kosong.

"Tidak perlu," sahut Genji.

"Sombong sekali." Jegun mendecih.

Genji berhenti, tenggorokan dan mulutnya terasa terbakar. Benar-benar rasa paling pedas yang pernah masuk ke mulutnya. Makanannya tinggal setengah, tapi ia yakin tidak bisa memakannya lagi.

Sementara makanan Jimin sudah hampir habis. Jimin kembali terbatuk. Lambungnya mulai memberontak, menyebabkan mual yang naik ke tenggorokan.

"Genji? Jeje? Jimin?"

Jegun tersikap. Suara Sora. "Tunggu sebentar." Jegun beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu.

Sementara Jimin langsung berlari ke kamar mandi saat merasa isi lambungnya akan keluar.

Jegun tersenyum lebar menyambut Sora. "Okeri,"

Sora menautkan kedua alisnya. "Kenapa kau kelihatan senang sekali?"

Jegun menggeleng. Ia menarik Sora masuk ke dalam.

Sora menyerit saat melihat Genji menunduk menatap lantai. Di hadapannya terlihat dua mangkuk makanan serta dua botol yang sudah kosong.

"Genji?"

Genji terlihat bereaksi, namun sepertinya bukan karna panggilan Sora karna Genji langsung melangkah cepat menuju dapur.

"Genji?" Sora menoleh pada Jegun. Jegun hanya menunjukan senyuman lebarnya seraya mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V' Sora melirik dua mangkuk yang salah satu nya hampir habis sementara yang lain masih tersisa setengah.

"Jeje, kau ini."

Jegun terkekeh. "Kau harus lihat, Sora. Aku mengambil foto mereka untukmu. Kau pasti tertawa melihat wajah kepedasan mereka."

Sora memandang Jegun datar. "Kau tahu Genji tidak bisa makan makanan seperti ini Jeje. Aku yakin Jimin juga begitu."

"Aku tahu. Aku hanya ingin melihat mereka kepedasan saja," sahut Jegun santai.

Sora melirik ke arah dapur. Jimin nampak berjalan menuju mereka. "Genji dimana?"

Jimin menunjuk dapur dengan dagunya. Sora buru-buru menuju dapur, sementara Jegun menghampiri Jimin. Memberikan beberapa tissu padanya.

"Kau muntah, Jimin?"

Jimin menatap Jegun datar. "Kau pikir dengan makanan seperti itu aku akan sanggup menampungnya?"

Bukannya merasa bersalah, Jegun malah tertawa kecil. "Wajahmu saat kepedasan sangat jelek, Jimin."

Jimin menekan puncak kepala Jegun lalu mengacak rambutnya. "Kau benar-benar ingin membunuhku ya?"

"Genji? Daijoubu?" Sora menghampiri Genji yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Genji tersenyum tipis lalu mengangguk.

"Kenapa dimakan?" tanya Sora khawatir. "Kau seharusnya tidak perlu memaksakannya."

"Jeje," ujar Genji pelan.

Sora membuang napas pelan. "Kau tahu kan Jeje itu kadang sedikit usil." Sora menyambar dua buah cangkir. "Tunggu di depan. Aku akan membuat teh untukmu dan Jimin."

Genji malah diam. Tak bergeming.

"Genji? Kau mendengarku bukan?"

Genji menutup mulut dengan punggung tangannya. Rasa pedasnya masih ada. Bahkan tidak berkurang sama sekali. Namun kemudian ia mengikuti perintah Sora.

o..O..o

"Minum selagi panas. Ini akan sedikit mengurangi rasa pedasnya." Sora menyodorkan dua buah cangkir berisi teh panas pada Jimin dan Genji.

Jimin dan Genji mengambil cangkir itu lalu mulai meminumnya perlahan. Dan benar apa yang Sora katakan. Rasa pedasnya perlahan berkurang, meski tak sepenuhnya.

Sementara Jegun masih terkikik melihat bibir Jimin dan Genji yang seperti menggunakan lipstik tebal. Berwarna merah merekah.

"Jeje," Sora menyenggol pelan pinggang Jegun, seolah memberitahunya untuk berhenti tertawa.

"Oke aku berhenti,"ujar Jegun seraya menutup mulut dengan satu tangannya.

"Bagaimana?" tanya Sora.

"Sudah lebih baik." Jimin meletakan cangkir tehnya yang tinggal setengah.

Sora melirik Genji, Genji nampak masih meminum tehnya. Teh panas pahit memang bisa menghilangkan rasa pedas, karna itu Sora membuatkan teh tanpa gula guna menghilangkan pedas di mulut Genji dan Jimin. Mengingat mereka memang tidak biasa memakan makanan yang terlalu pedas.

"Sora," panggil Jegun. Ia menunjukan ponselnya, sebuah video berdurasi 7 detik dengan Genji dan Jimin tengah memakan seblak.

"Jeje," Sora menegur. Merasa temannya ini agak keterlaluan.

Jegun hanya terkikik geli. "Ini lucu. Menyenangkan melihat wajah mereka tersiksa."

"Kau," Genji menyimpan cangkir di atas meja. "Seperti psikopat."

Jegun memutar bola mata. "Berhenti menyelidiku, Detektif Takiya. Aku bersama Sora saat pembunuhan itu terjadi."

Jimin meringis. "Kau benar-benar mirip tersangka yang tengah di introgasi."

"Dan, berhenti memanggilku Detektif," timpal Genji.

"Jadi," Jegun menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Apa yang akan kita lakukan?"

"Game, aku punya game baru," usul Jimin.

Mata Jegun berbinar. "Ada? Mana?"

Jimin mengeluarkan beberapa CD game lalu meletakannya di atas meja. "Kesukaanmu," Jimin menunjuk game SAO. "Genji, kupinjam playstasionmu."

"Pakai," sahut Genji.

Jimin tersenyum "Ayo, jeje."

Jegun mengangguk semangat. "Ikut, Sora?"

Sora menggeleng. "Aku tidak mengerti cara bermainnya. Kau dan Jimin saja."

"Baiklah,"

Jegun dan Jimin mulai beranjak, pergi menuju ruang keluarga dan mulai memainkan game-game yang Jimin bawa. Sora beranjak dari tempatnya lalu duduk di sebelah Genji, niatnya hanya duduk di sebelah Genji. Tapi tiba-tiba kepala Genji bersandar di bahunya.

"Genji," tegurnya.

Genji tertawa pelan. "Hm?"

"Geli." Sora mendorong pelan kepala Genji. Menjauhkan kepala Genji dari bahunya.

Genji terkekeh pelan, tangannya beralih merangkul Sora. "Apa yang kau lakukan di pusat penelitian?"

"Stimulasi kasus. Yui Senpai memintaku untuk meneliti sesuatu," sahut Sora. Ia mengambil beberapa lembar kertas dari tasnya. "Tentang racun yang ada di apel."

"Coba kulihat." Genji mengambil selembar kertas berisikan foto apel yang berbeda.

"Ini hasil autopsi yang Haruka Senpai berikan." Sora menyodorkan selembar kertas pada Genji. "Pada gigi, mulut, dan lambung korban, terdapat racun."

Genji mengangguk paham. "Apelnya?"

"Lihat apel ini." Sora menunjuk apel yang ada di sebelah kiri. "Warnanya lebih pekat dari yang sebelah kanan. Apel sebelah kanan itu apel normal. Dan juga." Sora membalik kertasnya memperlihatkan bagian apel yang di perbesar. "Kau melihatnya? Ada sebuah titik kecil di sini. Seperti bekas suntikan."

"Aku melihatnya." Genji menatap Sora. "Jadi apa hipotesismu?"

"Kurasa ada beberapa ml cairan Bromethalin di dalam apel. Aku menemukan racun itu di bekas gigitan apel."

"Kau tahu sifatnya? Bromethalin?" tanya Genji.

Sora mengangguk. "Racun ini mengintervensi sistem syaraf pusat, juga sumsum tulang belakang. Bromethalin juga belum ada penawarnya. Ada apa, Genji?"

"Aku merasa ada yang aneh," ujar Genji. "Kau benar mengenai sifat racun ini, tapi," Genji merogoh ponselnya, mencari sesuatu di internet lalu menunjukan hasilnya pada Sora. "Kau melupakan ini."

Sora menyerit, ia membaca apa yang tertera dalam ponsel Genji. Seketika itu ia tersentak.

"Bromethalin tidak bisa bertahan dalam apel, tidak, maksudku adalah apelnya yang tidak bisa bertahan. Bromethalin akan merusak apel. Berani bertaruh, periksa apelnya. Kuyakin hanya bekas gigitannya saja yang mengandung Bromethalin," tutur Genji.

"Lalu, kenapa Bromethalin itu bisa ada di apel, gigit, mulut, dan lambung korban?"

"Ini hanya trik," ujar Genji. "Menurutku, Bromethalin ini tidak dimasukan kedalam apel."

Sora menonggak, menatap kedua mata Genji. "Lalu?"

"Pasta gigi,"

"Pasta gigi?" ulang Sora.

Genji mengangguk. "Racunnya di campur kedalam pasta gigit korban. Saat korban menggosok gigi, racun itu otomatis tertinggal di gigi juga mulut korban. Lalu korban memakan apel ini, karna giginya sudah mengandung racun, jadi bekas gigitannya di apel ini juga pasti meninggalkan jejak racun."

"Kenapa? Kenapa kau mempunyai pemikiran seperti itu? Dari mana kau tahu racunnya ada di pasta gigi?" tanya Sora heran.

"Jika kasus ini memang nyata, pembunuhnya pasti ingin mengecoh kepolisian. Dengan menjadikan apel sebagai penyebab kematiannya. Padahal, bukan apel. Tapi pasta giginya."

Sora menggeleng. "Kenapa harus pasta gigi?"

Genji tersenyum. Mengeratkan rangkulannya pada bahu Sora. "Apa lagi yang bisa memindahkan racun kedalam gigi selain makanan? Tentu saja pasta gigi."

"Tapi, kenapa warna apelnya berbeda. Dan ada bekas suntikan di apel itu," bantah Sora.

"Mereka sengaja. Mereka ingin mengecohmu." Sahut Genji. "Berikan catatanmu."

Sora menyerahkan sebuah buku kecil pada Genji. "Untuk apa?"

"Apa yang mereka suruh?"

Sora berpikir sejenak. "Membuat laporan tentang barang bukti,"

Genji melepas rangkulannya. Mulai menulis di atas kertas. "Minta mereka memberimu pasta giigi korban. Lalu kau boleh menelitinya."

Sora menghela napas. "Aku Bodoh sekali. Kenapa hal seperti itu saja aku tidak bisa menyadarinya?"

"Ini bukan salahmu, Sora. Tugas seorang forensik kimia hanya memeriksa kandungan zat dalam barang bukti. Bukan salahmu jika tidak mengetahui barang buktinya dikecoh." "Tapi seharusnya aku tahu," bantah Sora. "Seharusnya aku sadar apel tidak bisa dicampur dengan Bromethalin. Aku bahkan tidak mengecek seluruh bagian apel. Hanya bagian gigitannya saja. Aku memang payah."

Genji menepuk pelan puncak kepala Sora. "Kebanyakan orang pasti berpikir seperti itu. Bukankah sudah kubilang. Tugas seperti ini seharusnya tidak diselesaikan oleh forensik kimia. Tapi oleh Detektif."

Sora mengambil semua kertas yang berserakan. Merapikannya menjadi satu. "Kurasa aku harus lebih banyak belajar lagi."

Genji tersenyum tipis. "Kau mau kuajari? Tentang trik-trik mencuri, membunuh, dan memalsukan barang bukti?"

Sora tersentak. Memandang Genji penuh selidik, curiga. "Kau tahu?"

Genji mengangguk. "Mana dulu yang ingin kau pelajari?"

Sora menelan salivanya kasar lalu bergeser menjauhi Genji. "Jangan bilang kau pernah mempraktekkannya?"

Genji tertawa pelan, ia juga ikut menggeser posisinya mendekati Sora. "Untuk memahami isi pikiran pembunuh. Kau harus membunuh terlebih dahulu."

Mata Sora melebar. Ia menoleh, menatap Genji tak percaya. "Jangan bilang kau-"

"Pernah," potong Genji.

Bibir Sora mendadak kelu."Genji!"

"Seekor tikus," sambung Genji kemudian.

"Ish!" Sora memukul Genji dengan tas gendongnya. Merasa kesal telah dibuat kaget setengah mati. Tapi Genji hanya terkekeh.

"Aku bercanda, Sora. Aku membawa buku, menonton film, dan yang lainnya. Tidak harus tahu bagaimana rasa racun tikus untuk mengetahui itu beracun."

Sora tidak menjawab. Tapi tangannya tak tinggal diam. Ia mencubit perut Genji. Genji meringis kecil, merasakan ngilu saat Sora mencubit kulit perutnya.

"Wajah bercanda dan seriusmu itu sama saja." Dengan gemas juga rasa kesal, Sora menarik kedua pipi Genji berlawanan arah. "Kenapa wajahmu ini datar sekali sih?"

Sora berjengit kaget saat tiba-tiba Genji balik mencubit hidupngnya. Kedua tangannya yang tadi menarik pipi Genji kini beralih memegangi telapak tangan Genji yang tak kunjung melepaskan hidungnya.

"Sakit!" Sora membentak. Tapi entah kenapa suaranya malah terdengar seperti rengekan di telinga Genji. Ia semakin gemas dengan ekspresi Sora. Hingga akhirnya ia melepaskan cubitannya saat melihat wajah Sora mulai memerah, entah karna apa.

"Genji. Kau jahat sekali." Sora mengusap-usap hidungnya yang terlihat merah seperti badut. Bibirnya bergerak maju, cemberut. Tak henti-hentinya melontarkan keluhan kecil dari mulutnya.

Sementara Genji hanya menikmati ekspresi Sora. Sesekali ia terkekeh saat mendengar keluhan Sora.

Sora menoleh, menatap Genji."Jangan melihatku seperti itu. Kau seperti psikopat."

"Memangnya kalau aku psikopat kenapa?"

Sora mendecak. "Kalau Genji psikopat aku tidak mau menjadi kekasihmu lagi."

Genji semakin terkekeh. "Lalu kau mau jadi kekasih siapa, hm?" Kini Genji kembali merangkul Sora.

"Izaki atau mungkin Seki."

"Hey, aku punya anime baru. Mau melihatnya?" tanya Genji.

Sora memajukan bibirnya. "Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Haikyu. Mau tidak?"

"Eh?" Mata Sora mengerjap. "Episode barunya sudah rilis?"

Genji mengangguk. "Tadi malam. Mau lihat?"

Sora berlonjak girang. "Mau."

Genji tersenyum tipis. "Tunggu sebentar. Aku akan ambil laptopku."

o..O..o

Jimin bersorak saat lagi-lagi ia memenangkan gamenya. Sementara itu, Jegun nampak gusar.

"Kau curang."

Jimin menoleh. "Aku tidak curang, Sayang. Kau melihat sendiri aku bermain jujur."

"Aku mau pakai karaktermu!" Jegun mengatur karakter yang ia pakai. Sejak tadi selalu begini, gamenya selalu dimenangkan oleh Jimin. Dan saat itu terjadi, Jegun akan langsung merebut karakter yang Jimin pakai. Tapi hasilnya sama saja. Jegun tetap kalah. Dan Jimin tepat bersorak menjadi pemenang.

"Kau, harus pakai karakter pilihanku," tambah Jegun seraya merebut stik dari Jimin lalu memilih karakter Hinata untuk Jimin.

Jimin tersenyum. "Kau tega membuat Hinata melawan Madara?" Jimin melirik karakter yang Jegun pakai.

"Kau. Pasti. Kalah." Jegun menekan setiap katanya.

Jimin terkekeh. "Hinata punya byakugan."

"Madara punya Rinegan. Madara pasti menang. Pokoknya aku harus menang."

Jimin kembali terkekeh. Gamenya dimulai, Jimin nampak santai saat Jegun menyerang karakternya bertubi-tubi. Jegun tertawa senang.

"Kau akan kalah, Jimin."

"Hm? Begitu ya?"

Jegun membulatkan matanya saat karakter Jimin membuat seragan tiba-tiba tanpa bisa dicegah olehnya. Hinata nampak dikelilingi oleh dua naga berwarna biru, dan dalam waktu sekejap, dua naga itu menghantam Madara. Jari Jegun bergerak untuk mengaktifkan Rinegan Madara guna menghalau serangan Hinata. Tapi entah kenapa Madara seakan tak bisa melawan, ia hanya pasrah saat tubuhnya terangkat ke udara oleh salah satu naga Hinata lalu dihempaskan kuat ke tanah, ditambah serangan naga kedua.

Jegun menatap layar di depannya dengan tak percaya. Karakternya mati seketika, kini hanya nampak Hinata tengah berpose andalannya. Kedua tangan di belakang punggung, sebelah kaki sedikit ditekuk lengkap dengan senyuman manis.

"Curang!" Jegun merasa kesal, dari pada ia membantik stik yang ia pegang. Jegun rasa akan lebih bijak jika ia memukuli Jimin saja.

"Aku tidak mau main lagi." Kedua tangan Jegun terlipat di depan ada. Lengkap dengan wajah kesal. Ia menatap nyalang pada stik yang ada di lantai.

"Honey,"

"Ish, berhenti memanggilku seperti itu Jimin! Itu menjijikan!"

Jimin terkekeh. "Baiklah, Jeje. Aku sebenarnya mau mengajarimu triknya tapi." Jimin memasang wajah sedihnya. "Sepertinya kau tidak mau main lagi ya?"

Tangan Jegun yang sejak tadi terlipat kini mulai mengendur. Matanya memincing. "Trik apa?"

"Bermain game ini. Aku punya banyak trik game tapi yah, kurasa kau sudah tidak mau main lagi." Jimin bangkit dari duduknya. Namun ia tersenyum kecik -menyeringai- saat merasakan Jegun menahannya.

"T-tunggu," cegah Jegun. "Ajari aku."

Jimin kembali duduk, menatap Jegun serius. "Ajari apa?"

"Triknya."

Seringai Jimin semakin mengembang. "Cium dulu."

"Peluk saja."

"Kalau hanya peluk aku tidak mau mengajarimu."

Jegun menghembuskan napas penjang. "Mau dicium berapa kali?"

"Sembilan,"

"Sembilan kali?"

"Sembilan belas," sambung Jimin. "Di bibir."

"Tidak mau. Kalau di pipi aku mau."

Jimin mendesah pasrah. "Baiklah, sembilan belas kali."

Jegun menggeleng. "Delapan belas."

Tangan Jimin beralih, merangkul pinggang Jegun. "Sembilan belas, Sayang."

"Tapi ajari aku triknya."

"Hm, tentu."

"Semuanya?"

Jimin kembali mengangguk. "Tentu, Sayang. Jadi bisakah aku mendapatkan ciumanku sekarang?"

Jegun tertawa kecil, perlahan ia mendaratkan bibirnya di pipi kanan Jimin.

"Satu," ujar Jimin. "Ambil stiknya, Sayang. Perhatikan saat aku mengajarimu."

Jegun mengangguk patuh, ia mengambil salah satu stik lalu memberikannya pada Jimin. Ia duduk di sebelah Jimin. Bersandar di lengan kiri Jimin.

"Baiklah," Jimin menekan tombol star. "Perhatikan."

"Pertama tekan tombol segitiga ini, lihat?"

Jegun mengangguk. Semakin merapatkan tubuhnya dengan Jimin.

"Lalu kedua, tekan tombil diatas. Agar karaktermu lompat."

Degup jantung Jimin semakin keras saat Jegun semakin merapatkan tubuhnya. Tak meyangka kekasih lucunya akan bersikap demikian.

"Selanjutnya tekan segitiga -ah salah maksudku kotak. Maaf, Sayang. Aku tidak konsen, rambutmu wangi sekali."

Jegun menatap Jimin sekilas lalu kembali melihat stik yang Jimin pegang. "Lalu?"

"Lalu tahan tombol X, oke salah. Maksudku tombol Sprin. Jeje Sayang. Bisakah kau menjauh sedikit? Kau membuat konsentrasiku buyar."

Jegun semakin merapatkan tubuhnya. "Lalu?"

"Lalu kenapa kau terus merapatkan tubuhmu, Jeje? Kau ingin aku serang di sini? Ingat masih ada Genji dan Sora di sini. Ayo pindah kerumahku jika memang kau mau."

o..O..o

"Mereka lihat apa?" tanya Jegun heran saat Genji dan Sora tengah asik memperhatikan layar laptop, lengkap dengan earphone yang terpasang di telinga.

"High School DXD?" tebak Jimin.

Jegun mendengus.

"No Game No Life?"

"Akh!" Jimin merintih saat tiba-tiba Jegun menginjak kakinya.

"Genji tidak semesum dirimu, Jimin!"

Jimin terkekeh pelan. "Kau hanya tidak tahu, Jeje."

"Lagi pula mana mungkin dia mengajak Sora menonton Anime seperti itu?" timpal Jegun. "Aku mau kesana."

Jimin mengikuti langkah Jegun menuju tempat Sora dan Genji. Jegun mengintip ke layar, ingin tahu apa yang Sora dan Genji tonton.

"Eh? Jeje? Sudah selesai main gamenya?" tanya Sora seraya melepas earphonenya. Sementara Genji langsung mempause videonya.

Jegun mengangguk. "Sudah,"

"Ingat masih ada lima belas kali lagi," bisik Jimin.

"Eh? Apanya?" tanya Sora. Rupanya bisikan Jimin terlampau keras sampai Sora dan Genji bisa mendengarnya.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa," tukas Jegun. "Kalian lihat apa tadi?"

"HaiKyu," sahut Sora. "Kau tahu?"

"Engg,"

"Tentu saja dia tidak tahu, Sora. Mana tahu dia soal Anime seperti itu," potong Jimin.

"Tentu saja. Mereka berdua hanya tahu Anime-Anime Hentai," timpal Genji.

"Enak saja!" protes Jimin dan Jegun bersamaan.

"Bisakah kalian pergi? Aku ingin melanjutkan Animenya," usir Genji. "Dan, kalian bisa melanjutkan sembilan belas kali kalian."

Wajah Jegun sontak merona. "A-apa maksudmu?"

"Jangan kira aku tidak tahu," ujar Genji seraya membawa laptop itu ke pangkuannya. Ia kembali memasangkan sebelah earphone ke telinga Sora.

Genji melirik Jegun dan Jimin yang tak juga bergeming. "Pergi, aku memberi kalian kebebasan. Kalian bebas berkeliaran di sini. Asal jangan masuk kamarku dan kamar Ayahku."

"Ayo, Jeje," ajak Jimin.

"Eh? Kemana?"

"Jangan di sini. Kau tidak lihat Genji tidak ingin diganggu?"

Genji dan Jimin saling bertukar pandangan lalu saling tersenyum tipis sebelum akhirnya Genji kembali menatap layar laptopnya.

"Genji?" Panggil Sora setelah Jegun dan Jimin pergi.

"Hm?"

"Kau? Tahu sesuatu? Sembilan belas kali itu, apa?"

Genji seikit tersentak, namun buru-buru menutupinya. "Bukan apa-apa."

"Kau bohong."

"Bukan apa-apa, Sora. Sudahlah, lihat saja animenya." Tangan Genji bergerak untuk merangkul Sora, mencoba mengalihkan perhatian gadis itu agar tidak lagi menanyakan soal 'sembilan belas kali'

Genji menghembuskan napas panjang. Mengingat hal yang baru saja ia lihat.

Genji berjalan menuju kamar, berniat mengambil laptopnya. Dan tentu saja berjalan menuju kamar mau tidak mau harus menaiki tangga, dan ruang tempat Jimin dan Jegun bermain game, ada di belakang tangga.

"Mau dicium berapa kali?"

Genji menyerit saat mendengar suara Jegun.

"Sembilan." Dan kini suara Jimin

"Sembilan kali?"

"Sembilan belas,Di bibir."

"Tidak mau. Kalau di pipi aku mau."

Jimin mendesah pasrah. "Baiklah, sembilan belas kali."

"Delapan belas."

"Sembilan belas, Sayang."

"Tapi ajari aku triknya."

"Hm, tentu."

"Semuanya?"

"Tentu, Sayang. Jadi bisakah aku mendapatkan ciumanku sekarang?"

Genji memilih untuk tidak lagi mendengarkan, ia meneruskan langkahnya menuju kamar, mengambil laptop yang terletak di atas meja.

Genji menutup kembali pintu kamar, ia bergegas menuruni anak tangga sampai suara Jimin kembali membuatnya menoleh, melihat Jegun dan Jimin yang terlihat duduk berdekatan dengan tangan Jimin yang merangkul pinggang Jegun.

"Masih ada delapan belas lagi." Genji bisa tahu itu suara Jimin.

"Aku tidak mau menciummu lagi. Nanti bibirku bengkak."

Genji menyerit.

"Kalau begitu aku saja yang cium."

Genji mendengar Jegun tertawa kecil. "Tapi di pipi."

"Dua,"

"Tiga,"

Genji bergidig, buru-buru berjalan menuju ruang tamu, dimana Sora menunggunya.

"Lama sekali. Apa ada masalah?" tanya Sora.

Genji menggeleng. Ia duduk di sebelah Sora lalu menyalakan laptopnya.

"Genji?"

"Hm?"

"Kau melihat Jeje dan Jimin?"

Gerakan tangan Genji yang tengah memasang earphone langsung berhenti. "Kenapa?"

Sora menggeleng. "Aku tidak mendengar suara mereka. Apa sebaiknya aku lihat saja?"

"Jangan." Genji buru-buru menahan tangan Sora lalu mendudukan Sora di sebelahnya. "Aku melihat mereka. Mereka sedang bermain game. Jangan diganggu."

"Kubilang jangan, Sora. Bukankah kau juga bilang ingin menonton anime?"

Sora mengangguk paham. "Baiklah." Ia mulai mengenakan sebelah earphonenya saat layar mulai menunjukan opening Anime.

'Bisa-bisa otakmu tercemar jika melihat mereka, Sora," batin Genji.

o..O..o

Sora mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha menggapai kemasan biskuit cokelat yang ada di rak paling atas. Namun kemudian Sora kembali berdiri normal, ia menurunkan tangannya lalu menghela napas. Sora melihat ke kanan dan kiri, tak ada satupun orang di minimarket ini yang bisa ia mintai tolong. Meja kasir dan tempatnya berdiri terlalu jauh, dan jujur Sora terlalu malas pergi kesana.

Sora kembali menonggak, menatap biskuit cokelat kesukaannya, ini aneh biasanya biskuit itu diletakan di rak tengah sehingga Sora bisa dengan mudah mengambilnya. Tapi seolah mengejek, sekarang biskuit itu berada ddi rak paling tinggi.

'Mungkin, sekali lagi. Aku hampir meraihnya tadi,' batin Sora. Ia kembali berjinjit, mencoba meraih biskuit cokelat itu. Sampai sebuah tangan ikut mengambilnya dengan mudah. Sora tersentak, menoleh ke belakang dimana seorang pemuda tengah berdiri.

"Pendek," ejeknya.

Sora cemberut. "Rak itu yang terlalu tinggi."

Pemuda itu terkekeh pelan lalu memberikan biskuit di tangannya pada Sora.

Sora tersenyum. "Terimakasih, Jimin."

Jimin mengangguk. "Kau tahu dimana Genji?"

"Tahu," sahut Sora. "Genji dan Jeje sedang ada di biro 2, bukan? Kau tidak tahu?"

"Aku tahu."

Sora menyerit. "Lalu kenapa masih bertanya?"

"Hanya basa-basi." Jimin melirik keranjang belanjaan Sora. "Sudah selesai? Masih ada lagi yang ingin kau beli? Butuh jaga untuk mengambil barang?"

Sora tertawa pelan. "Kuara ini cukup. Dan, tidak terimakasih."

"Kalau begitu ayo ke kasir."

"Jimin," Sora memanggil. Membuat Jimin yang telah lebih dulu berjalan berhenti dan menoleh.

"Apa?"

"Kau tidak beli apa-apa?"

Jimin menggeleng. "Aku sedang lewat tadi. Dan kulihat ada bayi beruang sedang kesulitan mengambil barang. Jadi aku berniat membantu."

Sora melucutkan bibirnya. 'Apa maksudnya bayi beruang?'

"Aku mau ke biro 2. Ikut?"

Sora mengangguk. "Aku juga ingin menemui Jeje dan Genji."

"Kalau begitu ayo,"

Mereka sampai di meja kasir, memberikan belanjaan lalu membayarnya. Sora menatap sejenak kantung yang ia pegang.

"Kenapa?" tanya Jimin. "Ada yang kurang?"

Sora menggeleng.

"Mau kubantu bawa?" tawar Jimin.

Sora menggeleng. "Tidak perlu. Terimakasih."

Jimin tersenyum. Ia membuka pintu kaca baginya dan Sora.

"Terimakasih," ucap Sora lagi.

Jimin tertawa pelan. "Kau itu memang manis ya?"

"Eh?"

"Wajahmu, tingkahmu. Pantas saja Genji tergila-gila padamu. Dia bahkan terlihat seperti orang gila saat kau pergi ke Osaka."

Sora terdiam. "Aku memang seperti ini."

Sora dan Jimin berjalan menyusuri jalanan kota Tokyo, langkah mereka menuju tempat yang sama. Stasiun bawah tanah.

"Aku heran," ujar Jimin. "Jeje sudah sangat lama berteman denganmu bukan?"

"Uhm," Sora mengangguk. "Sejak SD."

"Tapi kenapa dia tidak bisa meniru sikapmu, ya?" tanya Jimin. "Dia sama sekali tidak bisa bersikap manis. Terutama padaku. Padahal aku kan pacarnya."

Sora tertawa geli. "Mungkin itu memang perasaanmu saja. Menurutku Jeje sudah cukup manis."

"Ajari dia," ujar Jimin.

Sora menyerit. "Siapa?"

"Jeje," Jimin menyahut. "Ajari dia bersikap manis sepertimu."

Sora tersenyum tipis. "Kalau begitu kau juga harus belajar banyak dari Genji."

Kini giliran Jimin yang bingung. "Aku?"

Sora mengangguk. Ia berhenti melangkah lalu menatap Jimin. "Jeje benar. Ternyata Jimin tidak bisa seromantis Genji."

Jimin membeku, merasa konyol telah dibuat mati kutu oleh Sora. Jimin mengangkat tangan kanannya, menggaruk tengkuknya yang bahkan tidak terasa gatal.

Sora tersenyum. "Aku minta maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu."

Jimin balas tersenyum. "Kau tahu, aku tidak perlu seorang gadis manis untuk menemaniku. Hanya seorang gadis yang bisa membuatku tertawa saat melihat ekspresinya."

"Dan sebaliknya," ujar Sora. "Kurasa Jeje tidak terlalu membutuhkan seorang pria romantis. Hanya seorang pemuda konyol yang bisa membuatnya tertawa."

"Aku tidak heran kenapa kau dan Genji bisa bertahan sejauh ini, Sora," ujar Jimin.

"Jangan menjadi seperti kami." Sora mulai melanjutkan langkahnya kembali. Diikuti Jimin.

"Meskipun terlihat mudah. Tapi hubungan kami tidak semulus itu," tambahnya. "Karna itu, jadilah pasangan yang lebih baik dari kami."

"Semua hubungan pasti memiliki masalah," sahut Jimin.

"Jimin. Tolong jaga Jeje. Jaga dia baik-baik. Jangan meninggalkannya seperti Xiumin. Tolong jaga Jeje. Seperti Genji yang menjagaku."

Jimin tersenyum tipis. "Aku tidak akan menjaganya seperti Genji menjagamu."

Sora menyerit.

"Aku, akan menjaga Jeje lebih baik dari pada Genji menjagamu."

Kini Sora tersenyum. "Aku percaya. Genji bilang kau adalah orang yang bisa dipercaya."

o..O..o

Genji menghembuskan napas gusar. Ia kembali membenturkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Hanya lima hari, Genji."

"Tapi ini di Nagoya, Senpai," bantah Genji.

"Apa bedanya? Stimulasi kasus memang biasanya dilakukan di sana."

Genji menatap tajam Matsuya. "Aku tersinggung, Senpai. Kami di undang ke biro dua untuk membantu pekerjaan kalian. Dan saat kami memenuhi undangan itu, kalian malah menguji kami seperti ini." Genji meletakan kertas di genggamannya ke atas meja dengan sedikit gebrakan.

"Jangan pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan pada Sora dan Jeje," sambung Genji. Ia mendecih. "Menjijikan, kalian pikir bisa menjebak mereka dengan permainan seperti itu?"

"Genji, itu bukan aku." Matsuya mencoba menjelaskan. "Bos besar harus mempercayai kalian. Kalian masih terlalu muda untuk masuk ke biro ini."

Mata Genji memincing. "Lalu kenapa mengundang kami untuk bekerja sama?"

"Karna aku yang merekomendasikan kalian." Ryuji tiba-tiba masuk kedalam ruangan Matsuya, duduk di sebelah Genji lalu mengambil kertas di atas meja itu. "Aku akan membantu kalian. Tenang saja."

"Aku tidak butuh bantuanmu, Senpai," tolak Genji dingin.

Ryuji tertawa pelan. "Anak kecil sepertimu tidak tahu apa-apa, Genji."

Genji merasa muak, baru saja ia akan bangkit sebelum Ryuji menahannya.

"Kau dan Jimin harus tetap mengikuti stimulasi kasus di Nagoya minggu depan. Dan itu tidak bisa dibantah. Kami akan mengirim surat izin ke Universitasmu."

"Terserah," ujar Genji acuh.

"Satu lagi."

Genji menghela napas jenuh. Ingin segera keluar dari ruangan ini. Genji menyerit saat Ryuji mengeluarkan empat buah tiket padanya.

"Pergilah. Aku yakin kalian membutuhkan hiburan," ujar Ryuji.

"Tidak perlu, Senpai. Terimakasih."

"Genji," kini Matsuya membuka suara. "Aku, Ryuji, dan Haruka baru sama kesana minggu lalu. Tempatnya menarik. Pergilah, Sora dan Jegun pasti menyukainya."

"Ada bianglala," timpal Ryuji. "Permen kapasnya juga enak. Coba ajak mereka kesana. Mereka pasti suka."

"Ini juga, sebagai permintaan maaf kami," sambung Matsuya.

Genji tertawa mengejek. "Kau pikir kami bisa dibeli dengan ini?"

"Anak ini memang keras kepala," dengus Matsuya.

Ryuji tertawa. "Apa aku harus memberikannya langsung pada Sora?"

Genji menghela napas lalu mengambil empat buah tiket itu. "Jika tiket ini adalah pencingan. Dan kalian menjebak kami untuk terlibat kasus nanti. Aku bersumpah akan menarik semua teman-temanku untuk keluar dari biro dua."

Ryuji tersenyum. "Tenang, Genji. Kami tidak mungkin membiarkan ACE biro ini pergi begitu saja."

"Aku permisi," pamit Genji.

"Menunduklah sebentar," ujar Ryuji tiba-tiba. "Hormati senpaimu."

Genji menghela napas gusar. Ia berbalik, membungkuk sebentar pada Ryuji dan Matsuya kemudian keluar dari ruangan itu.

Ryuji tersenyum tipis. "Lihat, Matsuya. Itu ACE kita."

Matsuya memijat keningnya. "Aku heran. Padahal mereka sudah menyelesaikan banyak kasus, tapi. Bos seakan menutup mata hanya karna umur mereka."

o..O..o

Jegun langsung tersikap saat melihat Genji keluar dari ruangan Matsuya. Ia buru-buru menghampiri Genji. "Bagaimana?"

Genji menyerit. "Apa?"

"Apa yang mereka katakan?"

Genji tidak menjawab. Ia justru melirik map yang ada di tangan kiri Jegun. Genji mengambil map itu dengan kasar lalu mulai membacanya.

"Hei!"

"Diam." Genji mulai berjalan, masih dengan membuka map Jegun. "Apa ini? Mayat-mayat yang sudah lama? Untuk apa mengautopsinya lagi?"

Jegun menggeleng. "Aku hanya melaksanakan perintah. Haruka Senpai bilang dia juga seperti itu saat pertama kali masuk." Jegun kemudiann menatap Genji. "Ada apa?"

Mata Genji tertuju pada selembar kertas berisi hasil autopsi. Ia menyerit. "Tidak ada."

"Apa, kau merasakannya? Entahlah, aku hanya merasa kita sedang diuji saat ini," ujar Jegun.

Genji tertawa pelan lalu menutup map di tangannya. "Kau benar."

Jegun menghentikan langkahnya. "Kau lapar?"

"Tidak."

"Ck, aku tahu kau lapar. Ayo makan siang. Aku juga lapar lagi pula di kantin banyak makanan enak."

Genji menghembuskan napas pelan. "Aku belajar dari masalalu. Untuk tidak makan makanan yang kau rekomendasikan."

Jegun terkikik geli. "Kali ini aku serius. Aku tidak akan menjahilimu lagi, sungguh."

"Tidak, terimakasih."

Jegun mendengus kesal. "Kau ini kenapa sih? Niatku baik. Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Itu saja. Apa yang salah dengan ajakanku? Jangan curiga terus, kau tidak sedang menangani sebuah kasus, Detektif. Hanya menerima ajakan makan siangku saja apa salahnya?"

Genji mengusap sebelah telinganya. Merasa panas telah mendengar celotehan Jegun. 'Pantas Jimin bilang dia berisik,' batinnya.

"Oi! Kau mendengarkan aku, Detektif?"

Genji menatap Jegun tajam. "Berhenti memanggilku Detektif."

"Kalau begitu ayo makan siang. Aku kelaparan. Kau mau bertanggung jawab atas kema- hmmppft."

"Berisik!" Tak tanggung-tanggung, Genji menjejalkan roti isi yang ia bawa ke mulut Jegun. "Makan! Kau bilang lapar kan?" Tangannya tidak berhenti mendorong roti isi itu agar masuk ke mulut Jegun. Namun Jegun menolak, ia menepis tangan Genji dengan kasar lalu membuang roti itu.

"Bodoh!" Jegun membersihkan mulutnya yang kini dipenuhi serpihan roti dan juga selai. Sebuah tatapan tajam dilayangkan pada Genji. "Dari mana kau dapat roti itu?!"

"Kenapa? Mau lagi? Masih ada banyak di rumahku," sahut Genji santai sambil kembali berjalan.

"Genji! Kau benar-benar menyebalkan! Aku heran kenapa Sora bisa sangat nyaman berada di dekatmu. Kukira terlalu banyak berada di dekatmu akan mengancam keselamatan jiwa dan raganya."

Genji naik pitam. Bisakah Jegun diam? Sungguh ia butuh sedikit ketenangan saat ini, tapi sejak tadi, makhluk menyerupai gadis di sebelahnya terus mengoceh.

"Dasar laki-laki tidak punya hati!" sembur Jegun.

Namun kekesalan Jegun tak bertahan lama, saat Genji melempar map miliknya ke lantai lalu menatap Jegun dengan tajam.

"A-apa lihat-lihat? Aku t-tidak takut!" tantang Jegun kemudian.

Aura pembunuh tiba-tiba keluar dari tubuh Genji. Jegun menelan salivanya kasar, rasanya seperti sedang berhadapan dengan Shinigami.

"Jeje, Genji."

Jegun sontak menoleh saat namanya di panggil. Raut ketakutannya berubah menjadi ceria seketika saat melihat Sora dan Jimin berjalan ke arahnya. Dengan semangat ia melambai. "Sora," tak berani sedikitpun melihat Genji. Jegun yakin, Genji masih terlihat seperti shinigami saat ini.

Sora dan Jimin tiba di hadapan Jegun. Senyum cerah Sora seakan membuat Jegun melupakan aura pembunuh yang Genji keluarkan. "Bagaimana autopsimu?" tanya Sora.

Jegun tersenyum. "Berjalan lancar."

"Syukurlah." Sora melirik Genji. Lalu menyerit heran. "Genji? Kenapa wajahmu begitu? Apa, ada masalah?"

"Ah tidak," tukas Jegun cepat. "Bukankah wajahnya memang seperti ini?" Jegun berusaha tertawa ringan. Namun kemudian Genji mendelik tajam padanya. Jegun bergidig, buru-buru pindah ke belakang tubuh Jimin.

"Ada apa, Jeje?" tanya Jimin heran.

"Temanmu itu ingin membunuhku, tahu," bisik Jegun pelan.

"Eh, ini map apa?" Sora memungut map yang tergeletak di lantai. Ia menatap Genji. "Ini punyamu, Genji?"

"I-itu milikku," Jegun mengambil map itu cepat lalu tertawa ringan. "Tidak sengaja tadi terjatuh."

Sora menyerit. "Genji, Jeje. Kalian berdua aneh sekali. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," sahut Genji. "Bagaimana kalau kita makan siang?"

Sora mengangguk. "Boleh juga."

"Aku juga setuju," timpal Jimin.

'Cih, tadi bilang tidak mau,' dengus Jegun dalam hati.

"Ikut tidak?" tanya Genji ketus.

"Ikut!" Jegun menyahut tak kalah ketus. "Ayo, Jimin." Jegun beralih menggandeng tangan Jimin lalu berjalan mendahului Genji dan Sora.

Sora memandang Jegun heran lalu menatap Genji, seolah meminta penjelasan.

"Tidak ada apa-apa, Sora," ujar Genji seraya menggenggam tangan Sora. "Temanmu itu hanya terlalu berisik."

Sora tersenyum tipis. "Jeje kan memang seperti itu, Genji. Seharusnya kau tahu."

"Aku tahu Jeje berisik. Tapi aku tidak menyangka. Dia ternyata lebih berisik dari Jimin."

Sora tertawa pelan. "Kau ini."

o..O..o

"Kenapa bisa datang kesini bersama Jimin?"

"Oh," Jimin menegakan duduknya lalu melirik Sora yang duduk di sebelah Genji. "Bayi beruanganmu tadi kesulitan mengambil biskuit cokelat. Jadi aku membantunya."

Sora merengut. "Bayi beruang," dengusnya.

Jegun terkikik geli. "Panggilan yang bagus. Baby bear. Bagus bukan?"

Sora merajuk. "Jeje," protesenya.

Genji bahkan ikut tertawa saat Jegun tak henti-hentinya menggoda Sora.

"Jeje, Jimin. Kalian menyebalkan." Sora menyimpan sendoknya lalu menempelkan wajahnya ke lengan Genji.

"Genji," adunya.

Bukannya membantu, Genji malah terkekeh. "Hm? Kenapa?"

"Lihat! Kelakuannya seperti bayi beruang." Jimin dan Jegun semakin menjadi, mereka bahkan sampai mengeluarkan air mata karna menertawai Sora.

"Genji," cengkraman Sora pada jaket Genji semakin erat, seiring dengan masih terdengarnya tawa Jimin dan Jegun.

"Eh," mata Sora menangkap beberapa buah tiket di saku jaket Genji. "Genji? Ini apa?"

"Oh, aku baru ingin mengatakannya pada kalian." Genji mengeluarkan tiket tersebut lalu menyimpannya di atas meja. "Ryuji Senpai memberiku tiket ini. Tidak, maksudku dia memberikannya untuk kita."

Jegun mengambil salah satu tiket itu. "Ryuu Park?"

"Aku pernah kesana. Tapi sudah lama. Mungkin sekarang tempatnya sudah berubah," ujar Sora.

"Lalu kenapa Ryuji Senpai memberikannya pada kita?" tanya Jimin.

Genji mengangkat bahu. "Sebagai hadiah?"

Sora menyerit. "Hadiah? Hadiah atas apa?"

"Hadiah kesabaran kita selama menjalani masa pelatihan di biro ini, mungkin," tebak Jimin.

Genji tersenyum miring. "Ini belum apa-apa. Ada yang lebih gila, asal kau tahu."

Jegun mengambil empat buah tiket tersebut. "Tiket-tiket ini serius untuk kita?"

Genji mengangguk. "Mau kesana?"

"Mau!" jawab Jegun dan Sora serentak. Mereka kemudian tertawa kecil.

"Boleh juga," gumam Jimin.

"Kau mau kan, Genji?" tanya Sora.

"Kenapa tidak?"

"Yeay." Sora dan Jegun bertos ria.

"Pasti menyenangkan," ujar Jegun.

"Uhm." Sora mengangguk. "Kapan kita akan kesana?"

"Besok?" tawar Jimin.

Jegun merengut. "Besok tidak bisa. Aku ada jadwal kuliah."

"Lusa?" Kini Genji yang menawari.

"Lusa, aku harus ke pusat penelitian lagi," ujar Sora.

Jegun menghela napas. "Akhir minggu ini?"

Jimin, Genji dan Sora nampak berpikir.

"Boleh," sahut Jimin.

"Jadwalku kosong," timpal Genji.

"Aku juga ada waktu luang," Sora menimpali.

Senyum sumringah terlukis di wajah Jegun.

"Jadi kita deal. Akhir minggu ini."

Sora mengangguk. "Jam satu siang. Kita bertemu di depan gerbang Ryuu Park."

"Oke!"

Sora dan Jegun nampak terkekeh geli sebelum akhirnya melanjutkan acara makan mereka.

Owari