Disclaimer : Hiroshi Takahashi

Cast : Takiya Genji, Park Jimin, Aizawa Sora, Kim Jegun

Genre : Romance

~Misa Mitsuka~

Happy Reading

Sora mengeratkan genggamannya pada tali tas ranselnya. Kedua manik caramelnya tak henti memandang jalanan di depan pintu gerbang 'Ryuu Park'. "Mereka lama sekali," keluhnya.

"Mungkin sebentar lagi, Sora." Genji berusaha menghibur. "Bagaimana jika kita masuk duluan? Mungkin di sana kau bisa dapat tempat duduk?" tawarnya.

Sora menggeleng. "Tidak mau. Aku mau masuk sama-sama."

"Lagi pula- Ah, itu mereka." Mata Sora berbinar saat melihat Jimin dan Jegun baru saja datang.

"Ah, maaf. Apa kami membuat kalian menunggu lama?" tanya Jegun.

"Ti-"

"Ya," potong Genji cepat. "Kalian membuat kami menunggu lama. Kemana saja kalian?"

Jimin tersenyum lebar. "Menyelesaikan urusan 'Sembilan Belas Kali' kami."

Jegun tiba-tiba blushing, sementara Sora mengerutkan dahi. Lagi-lagi Sembilan Belas Kali. Sora memandang Genji dengan penuh tanda tanya. Seakan menuntut Genji untuk menjelaskan maksud dari kalimat aneh itu.

"Sebaiknya kita masuk." Genji buru-buru memalingkan pandangannya. Enggan menjelaskan lebih lanjut pasal 'Sembilan Belas Kali' pada Sora.

Jegun menggandeng Sora sambil terus menyusuri setiap sudut taman bermain tersebut. "Katanya taman bermain ini dinamai Ryuu Park karna dulu ada seekor naga yang dikubur di tanah ini. Kalian membacanya?"

Sora mengangguk. "Ada juga yang bilang, kepala dan tubuh naganya dikubur terpisah."

"Ah, iya-iya benar. Itu karna sang Naga adalah sosok siluman, bukan?"

Lagi-lagi Sora mengangguk keras. "Karna itu warga marah, jadi membunuh naga, lalu memotong kepalanya. Dan dikubur secara terpisah."

"Ah, sepertinya kita membaca dari sumber yang sama," ujar Jegun riang.

Sementara itu, Genji dan Jimin yang berjalan di belakang Sora dan Jegun hanya bisa menyerit heran saat kekasih mereka begitu heboh membicarakan soal mitos naga di tempat ini. Hey, itu hanya mitos, bukan? Belum tentu nyata.

Sora dan Jegun tiba-tiba berhenti melangkah lalu berbalik. "Kita mau naik wahana apa?"

Jimin nampak berpikir. "Histeria?"

"Histerianya belum dibuka." Genji menunjuk wahana histeria yang masih sepi.

Jimin melirik jam di tangannya. "Ah, 30 menit lagi. Lalu kita mau kemana?"

"Bianglala?" tanya Sora.

"Bombomkar," ujar Jegun kemudian.

Sora dan Jegun terdiam lalu saling berpandangan seraya bersorak bersamaan. "Rumah sadako!"

"Iya, ayo kesana," ajak Jegun.

"Ayo." Sora berlonjak senang lalu menatap Genji. "Ge-"

"Tidak."

"Eh?"

"Sora, dengar. Kau hanya akan berteriak ketakutan di sana. Pokoknya jangan ke sana. Pilih wahana lain."

Sora memajukan bibirnya, tidak suka dengan jawaban Genji.

"Dan kau," Jimin menambahkan. "Aku masih ingat wajah pucatmu saat terakhir kali kita ke rumah hantu. Pilih wahana lain."

"Ish, kalian sama-sama menyebalkan," dengus Jegun.

"Bianglala saja," usul Genji.

"Saetelah itu bombomkar," tambah Jimin.

Sora dan Jegun hanya bergumam kecil. "Kami tidak mau juga kalian akan memaksa," gumam Jegun.

"Kau bilang apa, Sayang?"

"Aku bilang ayo kesana," sahut Jegun seraya menatap tajam Jimin.

"Jeje," panggil Sora seraya meremas lengan Jegun. "Aku mau ke rumah sadako."

"Tenang, Sora. Kita pasti akan kesana. Nah sekarang kita ikuti saja dulu mau mereka."

"Kau punya ide?"

Jegun mengangguk. "Ide cemerlang. Tenang saja. Kita pasti ke rumah sadako, tanpa mereka." Jegun terkikik geli, begitupun Sora.

"Apa yang mereka bicarakan?" bisik Jimin.

Genji mengangkat bahu.

"Aku, mau naik bianglala bersama Sora," ujar Jegun tiba-tiba saat mereka tengah mengantri.

Jimin langsung berdiri di hadapan Jegun. "Kau bisa baca? Pernah SD? Pernah belajar baca kan? Tidak lihat papan itu bertuliskan 'direkomendasikan menaiki bianglala bersama kekasih'." Jimin menunjuk papan besar berisi peraturan menaiki biang lala.

Jegun menyerit. "Kau yang tidak pernah SD. Atau jangan-jangan tidak pernah lulus ya? Jelas-jelas tulisannya 'dilarang naik bersama orang mesum'."

Genji menggeleng pelan. Merasa jengah melihat pertengkaran Jegun dan Jimin.

"Sora?"

"Uhm?"

Genji mengulurkan tangannya. "Ayo."

Sora melirik Jegun sejenak, Jegun masih nampak asik bergelut dengan Jimin soal 'lulus SD, bisa membaca, dan tulisan di papan.' Sora akhirnya menerima uluran tangan Genji, ikut bersama Genji menaiki salah satu sangkar bianglala.

"Eh?" Jegun menoleh ke sampingnya, menyadari Sora sudah tidak ada di sana. Ia lalu melihat Sora dan Genji sudah berada di dalam sangkar.

"Aku ditinggal. Ish, ini semua gara-garamu, Jimin. Kau menyebalkan!"

Jimin mendecak lalu menarik tangan Jegun memasuki salah satu sangkar.

"Jangan dekat-dekat," peringat Jegun.

Jimin menyeringai. "Masih ada Sebelas kali lagi, Jeje."

"Ish, sudah kubilang aku tidak mau naik bianglala bersama makhluk mesum sepertimu. Sekarang menjauh atau aku akan robohkan bianglala ini!"

Jimin terkekeh, tidak menghiraukan ucapan Jegun dan justru beralih merangkul Jegun.

"Menjauh!!"

"Ssstt diam, Sayang. Kau tidak mau ada helikopter datang kesini hanya karna mengira ada seeokor tikus sedang dimakan kucing, bukan?"

Jegun merengut. "Berani menciumku, akan kutendang bokongmu sampai kau terlempar dari sangkar ini."

Jimin tersenyum semakin lebar lalu tiba-tiba mengecup pipi Jegun. "Sembilan."

"JIMIN!!"

Sora sontak menoleh ke sangkar di bawahnya, tempat Jegun dan Jimin. "Genji? Jeje kenapa?"

"Jangan menghiraukannya, Sora. Mereka baik-baik saja," sahut Genji cuek.

"Tapi tadi Jeje berteriak."

"Lihat pemandangannya, Sora." Genji menunjuk ke luar sangkar.

Mata Sora sontak berbinar, senyuman terlukis di wajah Sora saat melihat keindahan Ryuu Park yang dikelilingi oleh kebun teh dari ketinggian

"Indah," gumam Sora.

Genji tersenyum tipis. Ia mendekatkan dirinya dengan Sora lalu membawa Sora kedalam rangkulannya. "Hm?"

"Pemandangannya," Sora menatap Genji sejenak lalu kembali melihat kedepan. "Pemandangannya indah, Genji."

Tangan Genji perlahan turun memeluk pinggang Sora. Ia lalu meletakan dagunya di bahu Sora. "Ya, indah sekali."

"Ah, Genji lihat." Sora memekik saat melihat sebuah bangunan yang dihiasi banyak lampu yang masih padam. Dan lampu-lampu itu akan dinyalakan malam nanti. "Nanti malam, pasti di sana bagus."

"Hm." Genji hanya menggumam, mencoba menikmati kenyamanan posisinya saat ini.

"Nanti malam kita kesana," ajak Sora.

"Boleh?"

"Boleh." Genji menyibak rambut Sora yang menghalangi pandangannya. "Asal jangan ke rumah sadako. Mengerti?"

Sora mengigit bibir bawahnya. "M-memangnya jika aku kesana, k-kenapa?"

"Aku akan sangat marah jika kau sampai kesana. Jadi jangan pergi kesana, mengerti?"

"W-wakatta." Cengkraman Sora pada besi sangkar mengerat, satu sisi ia ingin pergi bersama Jegun. Tapi sisi lain, bagaimana jika Genji benar-benar marah?

o..O..o

Jegun lagi-lagi batuk. Ia berkali-kali memegangi kepalanya seakan takut kepala itu lepas. Sementara Jimin yang melihatnya hanya tertawa kecil.

"Kau benar-benar gila, Jimin. Kepalaku pusing! Aku tidak mau naik bombomkar denganmu lagi!"

Tentu saja, bagaimana tidak? Jimin mengendarai bombomkarnya seperti orang gila. Menabrak sana-sini tanpa henti. Dan itu sukses membuat kepala Jegun berputar.

"Kau haus?"

Sora menoleh, baru saja ia akan membuka mulut sebelum Jegun menyela.

"Ya. Kami haus. Jadi sebaiknya kalian cepat belikan minum untuk kami."

Genji melirik sebuah kursi, ia membawa Sora kesana lalu mendudukannya. "Tunggu di sini bersama Jeje. Aku dan Jimin pergi sebentar."

Sora hanya mengangguk kecil.

"Jangan pergi kemanapun," tambah Genji.

Sora kembali mengangguk.

Genji tersenyum tipis. "Pintar. Kalau begitu tunggu sebentar."

"See? Dia benar-benar mirip bayi beruang, bukan?" bisik Jimin.

Jegun menyerit, namun kemudian mengangguk kikuk, melihat bagaimana sahabatnya benar-benar diperlakukan seperti bayi oleh Genji.

"Ayo, Jimin."

Jimin tersikap. "A-ah, ayo. Jeje tunggu di sini, nee. Dan," Jimin melirik Sora sekilas. "Jaga bayi beruang itu."

Jegun meninju pelan pinggang Jimin. Jimin terkekeh lalu pergi bersama Genji.

"Jeje?"

Jegun menoleh, menghampiri Sora yang tengah memainkan ponselnya.

"Foto?"

"Boleh,"

Setelah puas berfoto, Jegun menarik Sora untuk berdiri.

"Eh? Jeje? Mau kemana?"

Jegun terdiam sejenak lalu melihat ke sekeliling, tak tampak kehadiran Genji ataupun Jimin. "Rumah sadako. Ayo, ini kesempatan kita."

"Engg, entahlah, Jeje. Aku tidak yakin. Genji bila-"

"Sudahlah, Sora. Tidak apa-apa. Ayo, sebelum Genji dan Jimin kembali," potong Jegun.

Sora mengigit bibir bawahnya.

"Ayo, percaya padaku. Ini pasti menyenangkan."

"Uhm, baiklah."

Jegun membawa Sora pergi, berjalan menuju rumah sadako.

"Jeje." Sora kembali menahan tangan Jegun saat mereka hendak masuk ke dalam rumah sadako. "Sebaiknya kita kembali. Bagaimana jika Jimin dan Genji mencari kita?"

Jegun tersenyum tipis. "Tenanglah, Sora. Sini beririkan ponselmu."

"Eh? Untuk apa?"

"Berikan saja, percaya padaku."

Ragu, namun akhirnya Sora memberikan ponselnya pada Jegun. "Untuk apa?"

Jegun mematikan ponsel Sora lalu menyimpan di dalam tasnya. "Ponselku juga kumatikan. Dengan begitu Jimin dan Genji tidak bisa menghubungi kita."

"Tapi, Jeje. Bagaimana jika mereka mengkhawatirkan kita?"

Jegun mengelus pelan bahu Sora. "Tidak, Sora. Setelah selesai masuk kedalam kita akan langsung ke tempat Jimin dan Genji. Aku janji." Jegun kemudian menarik tangan Sora, untuk duduk di salah satu gerbong kereta yang akan membawa mereka berkeliling.

"Jeje, aku takut Genji marah, sungguh. Dia sudah melarangku untuk masuk kesini."

Jegun tersenyum tipis. "Sora, Genji tidak akan mungkin bisa marah padamu. Dia terlalu memanjakanmu, percayalah ini akan baik-baik saja. Peluk aku saja kalau kau ketakutan, oke?"

"U-uhm."

o..O..o

"Dasar pedagang genit! Seenaknya mendahulukan gadis-gadis itu," dengus Jimin.

"Berisik, Jimin. Kau membuat kekesalanku semakin naik saat mendengar keluhanmu."

Jimin menghela napas panjang. Memandang dua buah minuman di tangannya. "Semoga aku bisa selamat dari tendangan Jeje. Kau tahu? Kita pergi cukup lama."

"Hn." Genji hanya menanggapi Jimin dengan gumaman. Matanya memincing saat tidak menemukan Sora ataupun Jegun. "Dimana mereka?"

"Hah?" Jimin buru-buru menoleh. Sama seperti Genji, ia juga tak melihat Sora ataupun Jegun. "Seingatku kita meninggalkan mereka di sini."

Genji menghampiri bangku itu, menyimpan dua minuman yang ia pegang di sana lalu mengeluarkan ponselnya.

"Bagaimana?"

Genji menggeleng. "Ponsel Sora tidak aktif."

Jimin buru-buru mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Jegun. Namun dahinya menyerit. "Jeje juga."

"Ck, kemana mereka!" decak Genji. Matanya menyisir setiap sudut taman bermain, berusaha menemukan Sora dan Jegun.

"Rumah sadako," ujar Jimin tiba-tiba. "Kurasa mereka kesana."

"Kalau begitu ayo kesana."

o..O..o

Wajah Jegun dan Sora terlihat pucat pasi setelah keluar dari rumah sadako. Pandangan mereka kosong, seakan baru saja melihat hal mengerikan.

"Jeje, aku tidak mau masuk kesana lagi."

Jegun mengangguk. "Aku juga."

Mereka berjalan lurus dengan tatapan kosong, masih saling menggandeng.

"Jeje, burger."

Mata Jegun dan Sora berbinar saat melihat kedai burger tak jauh dari tempat mereka. Seketika tatapan kosong mereka berganti, menjadi tatapan pernuh harapan jika sebuah burger ekstra keju bisa ada di genggaman mereka.

"Mau beli?" tawar Jegun.

"Ayo!" Sora memekik senang

Sora dan Jegun langsung menyambar meja berkapasitas empat orang. "Mau pesan apa?" tanya Jegun.

"Burger ekstra keju."

Jegun terkikik. "Selera kita sama. Baiklah, tunggu di sini. Aku, akan bilang pada Jimin dan Genji untuk menyusul kesini."

Sora mengangguk paham. Jegun terlihat menghampiri meja kasir lalu menulis pesanan mereka. Sora menyandarkan punggungnya ke kursi, hingga ia mendengar suara tangis seorang anak kecil.

"Kaachan." Anak kecil itu terlihat berjalan sendirian di tengah kerumunan banyak orang sambil terus menangis memanggil 'Kaachan'. Orang yang berlalu lalang nampak seakan tak peduli akan bocah itu, akhirnya Sora berdiri, menghampiri sang bocah yang berada cukup jauh dengannya.

"Hei, adik kecil."

"Kaachan." Bocah itu menangis semakin keras saat Sora menyapanya.

"Eh? Kenapa? Kemana ibumu, adik kecil?"

"Kaachan."

Sora menyerit, bocah itu malah beralih menarik tangannya sambil menyebut 'Kaachan.'

"Ah, kau mencari ibumu, ya? Ayo, kita cari Ibu nee."

Isakan bocah itu sedikit mereda, namun ia menolak saat Sora hendak menggandengnya berjalan.

"Kenapa?"

Bocah itu mengulurkan kedua tangannya pada Sora.

Sora tersenyum kecil. Seakan mengerti, ia membawa bocah gembul itu kedalam gendongannya. Sora melangkahkan kakinya menuju kedai burger, namun bocah dalam gendongannya menangis semakin keras.

"Kenapa, aduk kecil?"

"Kaachan!" Bocah itu menunjuk ke kerumunan orang yang ada di dekat wahana histeria.

"Ibumu di sana?"

"Hiks, Kaachan."

"A-ah baiklah, kita kesana, nee."

o..O..o

"Eh? Sora?" Jegun menoleh ke segala arah saat tak menemukan Sora di mejanya.

"Ano, permisi, Ojisan." Jegun menegur seorang pria paruh baya di meja sebelahnya. "Apa anda melihat temanku? Tadi dia duduk di sini."

Pria itu nampak berpikir. "Sepertinya tadi dia kesana."

"Ah, terimakasih, Ojisan." Jegun membungkuk, ia meletakan nampan berisi dua buah burger di atas meja lalu berjalan ke arah yang ditunjuk pria tadi.

Mata Jegun menyipit saat tak juga menemukan keberadaan Sora. Tiba-tiba jantungnya berdesir ketakutan saat membayangkan Sora hilang di tengah kerumunan orang-orang.

"M-matilah aku." Jantung semakin kencang berdegup saat melihat Genji dan Jimin betjalan ke arahnya. "Apa yang harus kukatakan. Ya ampun, Sora. Kau dimana?"

Tubuh Jegun semakin mengigil ketakutan. Ia benar-benar tidak tahu dimana Sora. Dan lagi, Genji pasti akan menanyakan keberadaan Sora padanya.

'Ya Tuhan. Kumohon buat aku pingsan sekarang juga!'

"Jeje?" Jegun menggigit bibir bawahnya kuat saat mendengar suara Jimin memanggilnya. Ia menarik napas panjang lalu mencoba untuk bersikap biasa.

"Ah kalian. Engg, ada apa?"

Genji menyerit. "Di-"

"Se-sebaiknya kita ke kedai burger. Aku sudah pesan burger untuk kita. A-ayo," potong Jegun.

Genji tidak menyahut, ia hanya berjalan mengikuti Jimin dan Jegun ke kedai burger. Dahinya menyerit saat tak melihat Sora.

"Dimana Sora?"

Jegun duduk dengan tidak tenang. "Huh? S-sora? Sepertinya dia sedang ke toilet." Jegun tersenyum canggung lalu memandang jus jeruknya. Menghindari kontak mata dengan Jimin, apalagi Genji.

Jegun terus duduk dengan gelisah, ia berkali-kali mencuri pandang ke kiri dan kanan, berharap Sora akan segera datang. Tapi Sora sama sekali tidak datang. Dan itu membuatnya khawatir dan takut setengah mati.

"S-sepertinya," Jegun bangkit dari duduknya. "Aku harus menguyul Sora ke toilet. Aku permisi sebentar."

Mata Jegun membulat saar merasa Genji mencekal pergelangan tangannya. Merasa agak risih, Jimin buru-buru menepis tangan Genji, membiarkan Jegun memegangi telapak tangannya sendiri.

"Dimana Sora?"

Jegun mengigit bibir bawahnya kuat. "Maaf," ia menunduk. "S-sora hilang."

Genji dan Jimin sontak terkejut.

"Kau bercanda, Jeje? Ini tidak lucu, Sayang," ujar Jimin.

Jegun menggeleng keras, beralih ke belakang punggung Jimin, bersembunyi dari tatapan mematikan Genji.

"Tadi saat aku pesan burger, aku meninggalkannya di sini. Dan saat aku kembali Sora sudah hilang," tuturnya pelan.

Rahang Genji mengeras, namun ia buru-buru mengeluarkan ponselnya.

"Ponsel Sora," ujar Jegun, menghentikan gerakan Genji. "Ada padaku."

Genji menyerit. "Kenapa bisa ada padamu?"

"Aku mengambilnya tadi. Sebelum masuk rumah sadako, aku tidak mau Sora diam-diam menghubungimu, jadi. Kukira keputusan yang bijak jika aku mengambil ponselnya."

Brak!

Jegun tersentak saat Genji memukul meja dengan keras. Ia semakin berlindung di punggung Jimin saat semua pengunjung menatapnya.

"Hei, kawan. Tenang sedikit," ujar Jimin seraya menahan tubuh Genji. Ia lalu berbisik. "Kendalikan dirimu, Bodoh. Kau membuat malu!"

"Aku minta maaf. Aku sungguh tidak bermaksud membuat Sora menghilang. Aku juga sangat mengkhawatirkannya," cicit Jegun di belakang punggung Jimin.

Jimin sendiri heran. Jarang sekali ini ia melihat Jegun setakut ini pada seseorang.

"Berpencar, cari Sora ke sampai ketemu!" Tanpa menunggu jawaban Jimin, Genji langsung pergi dari kedai itu. Menyisakan Jegun dan Jimin.

"Jimin. Bagaimana ini? Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Sora."

Jimin menghela napas lalu membalik badannya menghadap Jegun. "Bagaimana mungkin kau kehilangan bayi beruang itu? Sudah kubilang, kan. Pegangi tangannya, kalau perlu beri dia tali pengikat agar tidak hilang."

Jegun memukul bahu Jimin. "Berhenti bercanda, Jimin. Kau mengatakan itu seolah dia adalah anak kecil!"

"Kalau dia sudah dewasa dia tidak akan menghilang seperti ini. Dan lagi, Genji tidak akan sepanik itu."

Jimin tersentak saat mendengar isakan Jegun.

"H-hei, Sayang. Ah baiklah-baiklah aku mengerti. Kita cari Sora. Ayo."

"Aku takut," ucap Jegun lirih. "Ada begitu banyak orang di sini. Bagaimana jika Sora terdorong lalu terinjak-injak?Kita harus secepatnya menemukan Sora, Jimin. Aku benar-benar mengkhawatirkannya."

Jimin mengangguk kikuk. "Iya, ayo kita cari. Tenanglah, Jeje. -hei sudah, aduh berhent menangis, Sayang. Malu, banyak orang yang melihat."

"Cepat cari Sora, Bodoh. Jangan bercanda terus!"

"Iya, Sayang. Ayo, kita cari bersama, nee?"

Jimin sendiri heran, Jegun bersikap seolah ia telah kehilangan seorang anak kecil, padahal Jegun sendiri yang bilang Sora bukanlah anak kecil.

o..O..o

Kaki Sora mulai pegal, tangannya seakan kram karna terus menggendong bocah gembul yang sejak tadi terus menangis sambil meneriakan 'Kaachan'.

"Sshh, adik manis berhenti menangis. Nanti tidak cantik lagi."

Sora menyesali perkataannya, karna bocah itu malah menangis semakin keras. Sora sudah mulai menyerah, sebenarnya bisa saja ia mendatangi pusat informasi, hanya saja, setiap ia ingin menanyakan dimana tempatnya pada orang yang berlalu-lalang, bocah dalam gendongannya semakin menangis kencang. Dan itu akan berhenti jika Sora kembali mengajaknya berjalan.

Sora melirik sebuah kursi, ia membawa bocah gembul itu ke sana lalu menurunkannya. Mata bocah itu berkata-kaca menatap Sora. "Neechan?"

"Istirahat dulu di sini, nee. Kaki Neechan pegal. Nanti kita cari Ibu lagi, oke?"

Bibir bawah bocah itu semakin maju, tak butuh beberapa lama sampai tangisan keras kembali terdengar. "Kaachan. Yuki mau Kaachan."

'Ah jadi namanya Yuki.' Batin Sora.

"Hweee Kaachan!"

Merasa tak tega, akhirnya Sora kembali menggendong Yuki. "Sshh, jangan menangis, manis. Nee nee ayo kita cari ibumu lagi, nee?"

Tangisan Yuki perlahan mereda, seiring dengan Sora yang membawanya kembali berjalan. Yuki mengeratkan pelukannya pada leher Sora dan masih menangis sesenggukan di bahu Sora.

Sora mulai resah, ia sudah berjalan lebih dari satu jam. Tapi Ibu dari Yuki tak juga terlihat.

"Kaachan!"

Sora sontak menoleh saat Yuki menunjuk seorang wanita yang tengah memakan ice cream dengan seorang pria.

"Itu ibumu?" tanya Sora.

Yuki mengerjapkan mata lalu mengangguk. "Kaachan."

"Kita kesana, nee." Sora menyerit heran. Bisa-bisanya mereka berdua dengan santai memakan ice cream padahal anaknya tengah menghilang. Dasar orang tua kejam!

"Ano, permisi."

"Kaachan!"

"Eh, sshh diam dulu, Yuki Sayang." Sora menepuk punggung Yuki, berusaha meredam tangis bocah gembul itu.

"Ya? Ada apa Nona?" tanya sang wanita.

"Apakah ini, putri kalian?"

Wanita itu memandang Sora heran, lalu bertatapan dengan sang pria. Seketika itu mereka tertawa terbahak-bahak."Kami belum menikah, Nona."

Sora tersikap. "B-begitu kah? Ah, maafkan aku." Sora kemudian memandang Yuki. "Dia bukan ibumu?"

Yuki menggeleng lugu lalu mengulurkan tangannya ke ice cream yang wanita itu pegang. "Kaachan."

"Nona, sepertinya dia ingin ice creamnya," ujar pria itu.

"Kau mau, Yuki? Kita beli nee. Jangan menangis."

Sora beralih mendatangi kedai ice cream, ia memberi satu cup ice cream vanila lalu memberikannya pada Yuki.

"Aligatou."

Sora terkekeh gemas saat mendengar logat cadel Yuki, dengan gemas ia mencium pipi bulat Yuki. "Nee,"

"Nah, sekarang kita ke pusat infomasi." Sora setidaknya yakin, Yuki tidak akan menangis selagi ice creamnya masih ada.

"Neechan?" Yuki menyodorkan sesendok ice cream ke mulut Sora.

Sora tersenyum lalu menggeleng. "Untuk Yuki saja."

Mata Yuki mengerjap, namun ia langsung melahap ice creamnya kembali.

Mata Sora menangkap seorang pria berjas yang tengah berdiri bersama dua orang pria lainnya yang terlihat seperti bodyguardnya. Kaki Sora melangkah menuju pria itu, berharap ia akan bisa membantu Sora.

"Permisi, Paman. Apak-"

"Ah di sini dia rupanya." Mata pria itu berbinar saat melihat Sora. Ia melirik bodyguard di sampingnya. "Kenapa dia bawa anak?" bisiknya.

Bodyguard itu menggeleng. "Entahlah, Tuan. Tapi, sepertinya bukan dia orangnya. Dia masih kecil, Tuan?"

"Kalau masih kecil kenapa bawa anak?"

Bodyguard itu kembali menggeleng.

Sementara Sora perlahan bergerak mundur, merasa pria itu tidak bisa membantunya, melainkan justru membuatnya dalam bahaya.

"Hei, Nona. Mau kemana? Ada yang bisa aku bantu?" tanya pria itu ramah, namun matanya terus menyusuri tubuh Sora, dari atas ke bawah.

Sora menggeleng. "T-tidak. Maaf, sepertinya aku salah orang. A-aku permisi."

"Hei mau kemana? Tunggu saja di sini. Temani aku sebentar." Pria berjas itu memegangi tangan Sora yang tidak menggendong Yuki. Yuki yang melihat kejadian itu hanya bisa mengerjap, menatap pria berjas itu lalu menatap Sora bergantian.

"Paman, tolong lepaskan. Aku harus pergi." Sora mencoba melepaskan cengkraman pria itu namun usahanya sia-sia.

Yuki menangis keras saat pria berjas itu berusaha menarik Sora, ia melempar cup ice cream yang ia pegang ke wajah pria berjas itu.

"Akh! Sialan!" Ice cream itu sukses masuk kedalam mata sang pria berjas, dan itu membuat cengkramannya pada Sora mengendur.

Merasa ini waktu yang tepat, Sora segera mendekap Yuki kuat-kuat lalu berlari menjauh.

"Argh mataku!"

Para pengunjung yang berlalu lalang nampak menatap curiga pada pria itu.

"Tuan, haruskah kita mengejarnya?"

"Tidak," pria itu perlahan membuka matanya, mendapati tatapan aneh dari pada penunjung, juga melihat Sora yang berlalu menjauh.

"Ah baiklah jika kau ingin main sendiri. Jaga adikmu baik-baik, Sayang. Dan jangan pulang terlalu larut, nanti ibumu khawatir, mengerti?" Pria itu sedikit berteriak, guna meyakinkan para penunjung bahwa ia bukan orang jahat.

Napas Sora terenggah-engah. Ia mendudukan dirinya dan Yuki di sebuah kursi panjang seraya mengatur napasnya.

"Hiks Neechan."

"Sshh, sudah, Yuki. Kita sudah aman." Sora mengelus punggung Yuki lalu mendudukan Yuki di pangkuannya. Yuki masih menangis kencang, ia bahkan menghentak-hentakan kakinya kuat. Membuat Sora kewalahan menangani bocah gembul itu.

"Yuki, Sayang. Hei, lihat. Neechan punya biskuit, mau?"

Tangisan Yuki perlahan berhenti saat Sora memberinya sepotong biskuit cokelat.

Sora tersenyum hangat saat Yuki perlahan memakan biskuit cokelat itu. Tangannya bergerak untuk mengelus surai hitam Yuki. Ia menghela napas. Orang tua Yuki pasti mencarinya.

Ia menoleh ke kanan dan kiri. Berharap bisa secepatnya menemukan pusat informasi.

Sora tersentak saat mendengar suara kucing, dengan takut ia menoleh ke bawah kakinya. Terlihat seekor kucing dengan bulu abu-abu berputar putar di kakinya. Tubuh Sora menegang seketika.

"P-pergi." Sora mengayunkan kakinya, berusaha mengusir kucing itu. Namun kucing itu justru mencakar-cakar kaus kaki Sora.

"P-pergi! KYAA!" Sora menjerit saat tiba-tiba kucing itu melompat ke pangkuannya, ia beringsut memeluk Yuki dengan erat.

"Yuki, usir kucingnya!"

Yuki mengerjap, ia menoleh ke samping dimana kucing itu duduk dengan tenang. Namun Sora malah semakin histeris dan memeluk Yuki erat. Merasa perlu, Yuki mengelus punggung Sora dengan tangan mungilnya, berharap Neechannya bisa berhenti menangis.

Sora seketika terhisak saat kucing itu tak berhenti mengeong. Ia sontak menjerit saat merasakan bulu kucing itu menyentuh tangannya.

"YUKI!"

Yuki menatap bingung pada kucing itu, tangannya melambai berusaha mengusir kucing itu namun tak sampai.

o..O..o

"Terimakasih." Jimin membungkuk sebentar lalu kembali bertanya pada pengunjung yang lain. Ia melirik Jegun yang sudah nampak frustasi karna sejak tadi tak juga menemukan Sora.

"Jimin bagaimana ini?"

"Sshh, sudah Sayang jangan menangis terus. Ini tak akan merubah apapun." Jimin kembali menyeka air mata Jegun. Berharap kekasihnya itu bisa sedikit tenang.

"Aku khawatir, Jimin. Ini salahku, aku seharusnya tidak meninggalkan Sora sendirian saat itu."

"Jangan menyalahkan dirimu terus, Jeje. Tenanglah. Kita semua mengkhawatirkan Sora. Kau, aku, dan juga Genji, tapi jangan menangis seperti ini. Kau tidak seperti Jeje yang kukenal."

"Kita harus mencari kemana lagi, Jimin?"

"Tunggu sebentar." Jimin mengeluarkan ponselnya, bermaksud menghubungi Genji. Berharap Genji mempunyai kabar baik.

'Kau temukan Sora?'

Jimin menghela napas. "Aku justru ingin bertanya padamu."

'Aku tidak melihatnya.'

"Kau sudah coba datangi pusat informasi?" tanya Jimin.

'Untuk apa? Kau pikir dia anak kecil yang hilang.'

"Bukankah dia itu bayimu?"

'Dengar, Jimin! Jangan hubungi aku sampai kau temukan Sora!'

Genji menutup telponnya sepihat. Pening di kepalanya semakin menjadi saat mendengar teriakan pengunjung yang menaiki wahana.

"Danna bagaimana ini?"

Dan kini ia semakin pusing saat mendengar suara wanita menangis.

"Tenang, Hime. Kita akan temukan Yuki, tenang ya."

Wanita itu terhisak semakin kuat. "Aku khawatir, Danna. Bagaimana jiksa sesuatu yang buruk terjadi pada bayi kita?"

Genji menghela napas. Memutuskan untuk kembali melanjutkan langkahnya menyusuri taman bermain. Kurang lebih, nasibnya sama seperti pasangan suami istri tadi. Ia juga kehilangan bayinya. Bayi beruangnya, Aizawa Sora, merangkak entah kemana.

Ia melihat sebuah kedai ice cream. Mengingat Sora yang menyukai ice cream, ia berjalan menuju kedai itu. Berharap bisa menemukan bayi beruangnya. Namun lagi-lagi ia harus menelan pil kekecewaan. Tak ada tanda sedikitpun bahwa Sora ada di sana.

'Sora kau dimana, Sayang? Jangan membuatku khawatir seperti ini.'

Kaki Genji terus melangkah melewati beberapa wahana yang ramai dikunjugi.

"Yuki, usir kucingnya!"

Tubuh Genji seketika menegang. Ia hafal benar suara itu. Ia sontak mengikuti suara itu, dan dugaannya benar. Sora terlihat tengah menangis sambil memeluk seorang anak perempuan.

"YUKI!"

Genji cepat-cepat melangkah menuju kursi itu. Ia menyerit saat seekor kucing seakan ingin menggoda Sora dengan terus berputar di sebelah Sora. Isakan Sora semakin kuat, begitu juga dengan pelukannya pada Yuki. Ia menenggelamkan kepalanya di tubuh gembul Yuki.

Genji bergegas mengambil kucing itu lalu membawanya ke dekat pohon, memastikan kucing itu tidak akan kembali mengganggu Sora.

"Sora?"

Sora mengangkay kepalanya. Ia menonggak menatap Genji. "Genji!"

Genji mendudukan dirinya di sebelah Sora saat gadis yang masih memeluk Yuki itu tiba-tiba meletakan kepalanya di dada Genji. Genji merengkuh tubuh Sora, mengelus punggung Sora dengan lembut.

Yuki yang juga ikut dipeluk oleh Genji hanya bisa mengerjapkan matanya. Biskuit cokelatnya tinggal setengah, ia menyodorkan biskuit itu ke wajah Genji. Merasa harus berterimakasih karna Genji telah mengusir kucing yang membuat Sora ketakutan.

Genji menyerit, beberapa detik ia dan Yuki hanya saling bertatapan. Saat merasa sudah sedikit tenang, Genji melepas rengkuhannya lalu mengusap wajah Sora yang basah karna air mata dengan Ibu jarinya.

"Kau kemana saja, Sora? Aku mencarimu kemana-mana." Genji menyibak poni Sora agar bisa melihat wajah Sora lebih jelas.

"Maaf," ujar Sora lirih.

"Dan, siapa ini?" Genji melirik Yuki yang masih sibuk menyodorkan biskuit ke mulutnya.

Sora membetulkan posisi duduk Yuki di pangkuannya. "Ini Yuki. Tadi, dia kehilangan ibunya."

Genji menyerit. "Yuki?"

Sora mengangguk.

"Kau sudah membawanya ke pusat informasi?"

Sora menggeleng. "Aku tidak tahu dimana tempatnya. Dan saat aku ingin menanyakannya pada seseorang, Yuki selalu menangis."

"Kita bawa dia ke pusat informasi. Orang tuanya pasti mencari dia."

"Kau benar. Yuki, kita ke ibumu, nee?"

"Kaachan?"

Sora tersenyum tipis, seakan melupakan bahwa ia baru saja menangis. "Nee."

Sora berdiri, masih dengan Yuki dalam gendongannya.

"Biar aku yang gendong," ujar Genji seraya mengambil alih Yuki dari tangan Sora.

"Eh, tapi ge-"

"Neechan!" Yuki tiba-tiba menangis saat berada dalam gendongan Genji. Ia mengulurkan tangannya pada Sora, berharap Sora akan kembali menggendongnya.

"Yuki bersama Niichan dulu, nee?" Sora mencoba membujuk Yuki, lagi pula, ia juga sudah cukup lelah.

Yuki memegangi tangan Sora dengan erat, tangisnya mereda. Perlahan ia mulai berani memeluk lehar Genji.

Genji terdiam saat melihat Sora mengelus kepala Yuki.

"Pintar," gumam Sora saat melihat Yuki sudah mulai tenang di gendongan Genji. "Ayo, Genji."

"Pegang tanganku."

"Ung?" Sora menonggak menatap Genji.

"Aku bisa gila jika kau sampai hilang lagi."

Sora terkikik geli, ia lalu memeluk tangan Genji yang bebas, menempelnya kepanya di lengan Genji.

Genji tersenyum kecil, ia kemudian mulai berjalan menuju pusat informasi.

Baiklah, dua bayi untuk hari ini. Pertama Yuki, bayi yang kehilangan ibunya. Dan juga Sora, bayi beruangnya.

o..O..o

"Genji, Yuki lucu ya?" Sora mengusap pipi gembul Yuki dengan jari telunjuknya. Yuki nampak tertidur nyeyak dalam gendongan Genji, mungkin karna sejak tadi lelah menangis.

"Hm." Genji hanya bergumam. Ia masih asik dengan ponselnya, berusaha mengubungi Jimin.

Sora semakin gemas saat Yuki menggeliat dalam gendongan Genji. Ia terkekeh kecil lalu mencubit pelan pipi Yuki.

"Silakan, Tuan, Nyonya."

Sora dan Genji sontak berdiri saat seorang satpam membawa sepasang suami istri kehadapannya.

"Yuki!" Sang istri langsung beralih menggendong Yuki saat Genji memberikannya. Ia mencium pipi putrinya berkali-kali seraya memeluknya erat.

"Terimakasih. Terimakasih banyak."

Sora dan Genji hanya tersenyum tipis.

"Nee, sama-sama, Bibi," ujar Sora.

Merasa tidurnya terusik, Yuki membuka matanya. Ia memekik senang saat melihat wajah sang Ibu. sementara wanita itu hanya tersenyum sambil memeluk Yuki.

Sang suami langsung mengulurkan tangannya. "Nikaido Taiga."

Genji menyambut uluran tangannya. "Takiya Genji."

"Ini istriku," ujar Taiga seraya merangkul istrinya sekilas.

"Nikaido Fumi."

Taiga beralih mengulurkan tangan pada Sora. "Nikaido Taiga"

Sora membalasnya. "Aizawa Sora."

Fumi dan Taiga nampak kaget. "K-kalian belum menikah?"

Sora dan Genji berpandangan sekilas. Lalu menggeleng. "Belum, Paman, Bibi. Kami belum menikah."

"Ah kudoakan semoga kalian cepat menikah," ujar Fumi.

Wajah Sora seketika memerah mendengar perkataan Fumi.

"Kalau begitu kamu pamit pergi dulu," pamit Taiga.

Fumi tersenyum tipis. "Sekali lagi terimaksih banyak," ujarnya dan Taiga bersamaan.

"Neechan, Niichan." Yuki melambaikan tangannya.

"Jaa," Sora ikut melambai pada Yuki. Mengingat beberapa jam terakhir yang ia lalui bersama Yuki.

"Ayo, Sora."

Sora menoleh. "Mau kemana?"

"Kita temui Jimin dan Jeje."

Sora mengangguk. "Ayo."

o..O..o

"Sekarang katakan padaku kenapa kau bisa berpisah dengan Jeje?"

Sora memainkan minuman yang ada di pangkuannya, kakinya bergerak gugup di bawah sana. "Aku melihat Yuki tadi. Saat Jeje memesan burger, aku melihat Yuki sedang menangis sendirian, aku tidak tega. Akhirnya aku menghampiri Yuki."

"Lalu," Genji meletakan satu tangannya di sandaran kursi kayu di belakangnya. "Kenapa kau dan Jeje tiba-tiba pergi? Bukankah aku dan Jimin sudah bilang untuk menunggu sebentar?"

Sora mengigit bibir bawahnya. Ia menunduk, tidak berani menatap Genji. "Maafkan aku."

"Aku dan Jeje, ingin pergi ke rumah sadako. Karna itu kami pergi," sambung Sora.

"Pergi kemana?" tanya Genji.

"Rumah sadako," ulang Sora pelan.

"Bukankah aku sudah bilang padamu untuk tidak pergi kesana?"

Genggaman Sora pada minumannya semakin erat. "Maafkan aku."

"Siapa yang memaksamu masuk?"

Sora mengangkat kepalanya, ia menatap Genji sebentar lalu menggeleng. "T-tidak ada yang memaksa. Aku masuk karna keinginanku sendiri."

Genji menautkan alisnya. "Benar?"

Sora mengangguk.

"Kau yakin tidak ada yang memaksamu?"

"U-uhm. Aku masuk karna keinginanku sendiri."

"Oh, jadi sekarang kau mulai berani mengingkari janjimu sendiri? Kau sudah janji untuk tidak pergi kesana, bukan?"

Mata Sora mulai berkaca-kaca saat mendengar perkataan Genji. "Genji, aku-"

"Kau membuatku kecewa, Sora." Genji menghembuskan napas, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi lalu mulai bermain dengan ponselnya.

"Genji. Maafkan aku."

Genji hanya bergumam kecil, ia membuka aplikasi game dalam ponselnya lalu mulai bermain.

"Genji." Sora mulai menggoyang-goyangkan paha Genji. Berharap dengan begitu, Genji akan melihatnya. "Maafkan aku."

"Hn, aku memaafkanmu," ucap Genji acuh. Tatapannya masih tertuju pada game di ponselnya.

Air mata Sora mulai menetes. Ia tahu Genji tidak benar-benar memaafkannya. Ia masih terus mengguncang paha Genji. "Genji. Dengarkan aku."

"Iya aku mendengarkanmu. Kau minta maaf, bukan? Aku memaafkanmu," ucap Genji lagi. Masih dengan nada enggan juga mata yang tak sedikitpun melirik Sora.

"Genji."

Isakan Sora semakin terdengar. "Genji."

Merasa diabaikan, Sora mengambil paksa ponsel Genji. Dengan cepat ia membuka casing ponselnya lalu melepas baterai ponsel itu.

"Apa yang kau laku-" mata Genji sontak membulat saat Sora melempat baterai ponselnya ke rerumputan rindang di belakangnya. "Sora-"

"Kau tidak mau mendengarkan aku," potong Sora.

"Ambil barang yang kau buang tadi," titah Genji.

"Tidak mau."

"Ambil, Sora."

"Aku bilang tidak mau!" Sora memberikan ponsel Genji yang ada di tangannya. "Kau tidak mau mendengarkan aku. Kau bahkan mengacuhkanku demi game itu!"

"Memangnya kenapa?"

Sora mengigit bibirnya semakin kuat. Air matanya kembali menetes. Sungguh, ia tidak ingin diperlakukan seperti ini oleh Genji. Ia benci diacuhkan, apalagi oleh Genji.

"Jadi, baterai ponsel itu lebih berharga dari aku?"

Genji menyerit. "Apa maksudmu?"

"Kau sudah tidak menyayangiku lagi. Aku tahu itu!" Sora bergegas bangkit, berjalan menuju rumput tempat ia membuang baterai ponsel Genji tadi.

Tiba-tiba Genji merasa menyesal telah mengacuhkan Sora. Bukan reaksi Sora yang seperti ini yang Genji inginkan. "Sora," panggilannya melembut. Ia menghampiri Sora yang tengah sibuk mencari baterai ponselnya. Genji mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Sora.

"Lepas! Aku sedang mencari baterai ponsel kesayanganmu." Sora menghentakan tangannya, berharap cengkraman Genji bisa terlepas. Masih dengan matanya yang terus mengeluarkan air mata, Sora kembali mencari baterai ponsel yang seingatnya ia buang kesini.

Genji menghela napas. Dengan terpaksa ia menarik tubuh Sora agar gadis itu menjauh dari rerumputan. "Sora aku tidak bermak-" Genji kembali menghela napas saat Sora tiba-tiba memeluknya. Ia membalas pelukan Sora, mengusap rambut Sora dengan tangan kanannya.

"Maafkan aku, Genji." Isakan Sora semakin kuat. Ia takut Genji tidak mau memaafkannya.

"Bukankah tadi aku sudah bilang, aku memaafkanmu, Sora." Genji kini mulai mengusap air mata Sora. "Sshh, sudah jangan menangis. Aku tidak suka melihatmu menangis seperti ini."

"Kau ini." Jemari Genji masih bermain di helaian rambut Sora. "Aku tahu Jeje yang memaksamu masuk."

Pelukan Sora pada Genji semakin erat. "Genji, maaf."

Genji mengelus punggung Sora. Ia lalu mengangkat dagu Sora, membuatnya bisa melihat manik caramel yang basah oleh air mata. "Kenapa tidak mau bilang, hm?"

"A-aku takut kau marah pada Jeje."

Genji tersenyum tipis. Ia lalu menepuk kepala Sora. "Kau ini."

"Lain kali, jangan pernah melakukannya lagi."

"U-uhm."

"Genji," panggil Sora kemudian.

"Hm?"

"Baterai ponselmu," cicit Sora.

Genji melirik sekilas ke rerumputan. "Jangan di pikirkan."

"Tapi-"

"Sudah, jangan dipikirkan."

"Genji. Maafkan aku."

Genji kembali tersenyum tipis. "Daijoubu, Sora. Daijoubu."

o..O..o

Jimin berjalan bersama Jegun di sampingnya. Setengah jam yang lalu Genji memberitahunya jika ia sudah menemukan Sora. Dan Genji menyuruh Jimin dan Jegun untuk datang ke dekat miniatur gunung Fuji yang ada di taman bermain tersebut.

"Hei, Jeje. Kau ingat? Masih ada sepuluh kali lagi."

Jegun menghela napas panjang. "Ayolah, Jimin. Jangan membahasnya terus," dengus Jegun.

"Ah, itu mereka." Jegun melihat Sora dan Genji tengah duduk di kursi panjang. Sora nampan bersandar di bahu Genji. Sementara Genji asik memainkan rambut Sora.

"Sora!"

"Ah syukurlah kau baik-baik saja kupikir kau, eh- kau menangis?" Jegun tersentak saat melihat mata dan hidung Sora memerah.

"Apa yang kau lakukan padanya, Genji? Mau memarahi Sora ya?! Aku kan sudah bilang, aku yang memaksanya masuk ke rumah sadako!" Jegun beralih mengelus pipi dan rambut Sora. "Ya ampun, Sora. Katakan padaku apa yang dia lakukan padamu? Ayo katakan."

Sora menatap Genji, berharap Genji bisa membantunya. "Aku, aku baik-baik saja, Jeje. Genji tidak melakukan apa-apa kok."

"Jangan bohong. Lalu kenapa kau menangis?"

"A-aku melihat kucing. Jadi, aku menangis."

Jimin menyenggol pelan siku Genji. "Apa yang terjadi?"

"Aku lupa, aku mengacuhkannya," sahut Genji. "Dan kau tau bagaimana reaksinya."

Jimin menghela napas. "Dasar bayi beruang. Lalu bagaimana kau menemukannya?"

"Memancingnya dengan madu."

Jimin terkekeh pelan, begitu juga dengan Genji.

"Jadi, kita mau kemana?" tanya Jegun dengan masih memegangi bahu Sora.

"Jeje, bagaimana jika kita ke 'Light Area' di sana akan ada banyak lampion. Pasti indah."

Jegun mengangguk kecil. "Tapi itukan baru buka nanti malam."

"Sebentar lagi malam," ujar Jimin. "Kita berkeliling saja dulu. Makan, berkeliling, setelah itu kesana."

"Aku setuju," ujar Jegun. "Bagaimana, Sora?"

"Aku juga setuju."

"Kalau begitu sebaiknya kita cari tempat makan. Aku sedikit lapar. Aku yakin kalian juga," timpal Genji.

"Ide bagus. Cacing di perutku sudah menggelar konser tunggal."

Sora dan Jegun terkikik saat mendengar ucapan Jimin. Mereka lalu berjalan menuju kedai makanan terdekat.

o..O..o

Mata Jegun dan Sora tak berkedip saat melihat betapa indah bangunan di hadapannya. ratusan lampion warna-warni terpasang di sana sini. Setiap sudut dilapisi oleh lampu beraneka ragam. Mulai dari bagunan menyerupai rumah, kursi taman, pinggiran kolam ikan, juga patung. Semua dilapisi oleh lampu-lampu kecil yang indah.

Dengan masih menggenggam tangan Genji, Sora sewaktu-waktu berhenti tapat di depan sebuah patung, atau benda apapun yang menjadi kesukaannya. Matanya berbinar menatap kilauan cahaya yang terjadi di hadapannya.

Mereka terus berjalan menyusuri setiap sudut Light Area. Sampai saat mereka melewati tiga buah bangunan yang menyerupai rumah kecil dengan satu pintu di depannya yang terbuka lebar, membuat akses bagi siapapun masuk kedalamnya. Jimin yang berjalan bersama Jegun di belakang Sora dan Genji, menarik tangan Jegun untuk memasuki bangunan itu.

"Eh? Kena-"

"Stt, diam."

"Tapi Sora-"

"Dia bersama Genji. Dia akan baik-baik saja." Potong Jimin.

Jegun menatap Jimin heran. "Kenapa kau membawaku masuk kesini?"

Jegun mulai merasa tidak enak saat melihat wajah mesum Jimin. "Ish, menjauh! Jangan berpikir yang tidak-tidak! Aku mau menyusul Sora."

"Tidak akan ada yang mengganggu kita di sini, Jeje."

"Jimin! Aku benar-benar akan menendang bokongmu kalau kau sampai macam-macam!"

Jimin tertawa pelan. "Aku hanya ingin menangih janjimu, Sayang." Jimin tiba-tiba mengecup pipi kiri Jegun.

"Sepuluh."

"Genji lihat! Jingaa," pekik Sora saat melihat sebuah bangunan yang dihiasi lampion berwarna jingga.

"Ayo kesana, Genji." Sora menarik tangan Genji. "Jeje ay- eh, dimana Jeje?"

"Bukankah tadi mereka ada di belakang?" tanya Sora.

"Seharusnya begitu," sahut Genji.

"Ayo cari mereka."

"Tidak mau kesana?"

Sora menggeleng keras. "Kita cari Jeje dulu."

"Baiklah, ayo."

Sora dan Genji berbalik, mencari Jegun dan Jimin. Setiap ada bangunan yang bisa dimasuki, Sora melirik sekilas, saat tak menemukan Jimin atau Jegun ia akan kembali berjalan mencari. Begitupun yang dilakukan Genji.

Sampai di tiba buah bangunan, dia melihat kedalam bangunan paling ujung. "Jeje?"

Namun tidak ada orang ia kembali berjalan, kini berniat memasuki bangunan kedua.

"Jeje?" Sora seketika menutup mulut dan juga membalik badannya saat melihat Jimin dan Jegun hampir saja berciuman. Jegun buru-buru mendorong tubuh Jimin menjauh. Sementara Sora menyembunyikan wajahya di dada Genji, Genji memeluk pinggang Sora lalu menatap jengkel pada Jimin.

Jimin hanya tersenyum lebar, sementara Jegun bersembunyi dibalik punggung Jimin. Wajahnya memerah, hampir saja Sora melihatnya dan Jimin berciuman. Sungguh, Jegun benar-benar malu.

"Apa-apaan kalian ini," dengus Genji.

"Baby Bearmu yang apa-apaan. Bisakah kau membawanya pergi? Aku sedang mencoba menyelesaikan Sembilan Belas Kali ku,' ujar Jimin santai.

Sora mengangkat kepalanya, menonggak menatap Genji. "Jadi, maksudnya sembilan belas kali itu, ciuman?"

Jegun membenturkan keningnya ke punggung Jimin.

'Bagus! Sora pasti mengira aku dan Jimin sudah berciuman sembilan belas kali.' Rutuk Jegun dalam hati.

"Bukan, Sora. Sudahlah jangan dipikirkan. Kau ingin pergi ke bangunan jingga tadi bukan? Ayo kesana," ajak Genji.

"Jeje?"

"Jeje dan Jimin menyusul nanti." Genji buru-buru mebawa Sora pergi. Tidak ingin otak kekasihnya tercemar karna tingkah Jimin dan Jegun.

"Nah mereka sudah pergi, Jeje. Jadi bisakah kita- ah sakit, Jeje. Lepaskan." Jiimin meringis sakit saat Jegun mencubit perutnya kuat-kuat.

"Kau menyebalkan, Jimin! Selama satu bulan ke depan. Jangan harap kau bisa menciumku. Bibir ataupun pipi, atau dimanapun! Jangan harap bibirmu bisa menempel di anggota tubuhku!"

"Jeje, Sayang. Kau kejam sekali," rajuk Jimin.

"Ini salahmu! Sora hampir saja melihat kita berciuman tadi. Pokoknya satu bulan! Ingat itu, Jimin No Hentai!"

Jegun kemudian pergi meninggalkan Jimin. Menyusul Sora dan Genji.

Jimin tersenyum kecil. Tidak yakin ancaman Jegun akan terrealisasikan.

'Apa kubilang. Aku tidak butuh gadis manis. Aku hanya butuh gadis yang bisa membuatku tersenyum karna tingkahnya," batin Jimin.

Jimin kemudian melangkah menyusul Jegun. Setelah sampai di samping Jegun, ia merangkul pinggang Jegun.

"Tunggu aku, Sayang."

"Ish! Menjauh dasar mesum!"

Jimin tersenyum lalu mencubit pipi Jegun.

'Gadis seperti ini yang kubutuhkan'

FIN

Baiklah, ini hanya twoshoot yang singkat. semoga kalian suka