Suasana makan malam yang sepi menemani keluarga Uzumaki malam ini. keluarga yang biasanya makan dengan ramai itu biasanya akan membahas apapun untuk mencairkan suasana. Tapi tidak untuk malam ini. Kawaki, Himawari, Boruto serta Naruto terdiam sambil menikmati makanan yang di buat sang ibu kepala dengan tenang. Tidak ada yang memulai bicara bahkan seorang Boruto Uzumaki yang biasanya mencairkan suasana menjadi canggung seketika. Apalagi Kawaki, ia memang tipe pendiam dan tidak banyak bicara memang begitu sifatnya.

semua orang menolehkan wajahnya mendengar suara deritan bangku bergeser.

"Aku sudah selesai"

"Lho, Kawaki kau sudah selesai?" Ucap Boruto. Kawaki berjalan cuek kearah kamar yang biasa ia tiduri. Boruto yang melihatnya bergumam sebal tingkah cuek Kawaki.

"Ah, Kawaki-kun tunggu sebentar" Hinata tiba-tiba berdiri dan mengambil selimut baru diberikan untuk Kawaki.

"Selimut mu yang lama sudah kotor, ini pakai lah yang baru ya"

Kawaki menerima selimut barunya sambil mengucapkan Terima kasih.

"Ah, ibu masa hanya untuk Kawaki saja. Aku bagaimana?" Boruto yang dari tadi diam dalam sesi makan malam akhrinya bersuara ia berhasil mencairkan suasana tidak kaku lagi.

"Tentu saja ada kok, tunggu sebentar ya ibu ambilkan dulu. Untuk Himawari juga ada kok" Seolah mengerti kebiasaan ibunya. Boruto, Naruto dan Himawari melanjutkan sesi makan malam sementara Kawaki sudah hilang diruang makan. Hinata selalu memastikan bahwa anak-anaknya selalu menggunakan pakaian bersih dan memberi makanan bergizi untuk mereka. Pekerjaan yang selalu tiada akhir dan sudah pasti melelahkan. Dan Hinata tidak pernah mengeluh sama sekali.

Naruto yang mengetahui sifat istrinya seperti itu sangat mensyukurinya, tapi ia merasa janggal ketika melihat teman hidupnya itu sedang melamun ditengah makan malam hari ini. apalagi ia tidak mendapat senyuman dari istrinya hari ini. Naruto menyadari Hinata sedang memikirkan sesuatu.

Naruto memperhatikan kedua anaknya dan pandangan berakhir pada sie sulung putra.

"Apa terjadi sesuatu pada ibumu?" Sang kepala rumah bertanya.

Boruto yang merasa diperhatikan jelas oleh ayahnya menatap mata shappire ayah, sambil melihat sang adik yang ikut menatapnya juga.

"Ibu menangis" Sela Himawari.

"Kapan?"

"Tadi siang, pass kakak di panggil ke kantor Hokage" Adu Himawari

"Hei, Himawari" Protes Boruto. Boruto sebenernya ingin membohongi ayahnya ia takut di interogasi. dengan bilang tidak ada apa-apa seolah tidak terjadi apapun, Tapi malah sang adik memberitahu sejujurnya terhadap ayah mereka.

Boruto tau, sang ibu sangat mengkhawatirkannya. Bahwa ia tidak akan pulang lagi di dalam pelukan ibunya. Tidak akan mungkin! Karena bagaimanapun ia akan kembali lagi kerumah ini dan ia sudah berjanji juga, kan? Walaupun sudah pernah mati, ia akan hidup lagi karena Momoshiki keparat itu sudah memastikan tidak akan membiarkan dirinya mati bagaimana pun juga. Meski takdir akan mempermainkan Boruto tapi yang akan menentukan takdirnya ialah sendiri. Hell yeah!?

"Ibu mengkhawatirkan mu ya?" Tanpa di jawab pun Boruto hanya menganggukan kepala. Naruto mengerti situasinya sekarang.

"Saat paman Shikamaru memanggil kita bersama. Saat itu Ibu bertanya misi ku dan menangis" Boruto menjelaskan detail, hatinya sakit melihat wanita ia sayangi yang sudah melahirkannya di dunia ini menangisinya. Hanya janji itu lah yang ia ucapkan untuk mengurangi rasa cemas ibu terhadap dirinya.

Akhrinya, Hinata mengetahui keadaan Boruto. penjelasan singkat yang Naruto jelaskan semuanya apa yang terjadi terhadap putra mereka. Naruto ingat saat itu setelah menjelaskan keadaan Boruto, Hinata menundukkan kepala sambil menggigit jari telunjuk serta kepalan tangan di genggam dengan kuat. Disusul suara tangisan Hinata ditenangkan oleh Naruto. Ia hanya tidak ingin mengkhawatirkan istrinya. Tapi sebaik apapun Naruto menyembunyikan fakta. Cepat atau lambat Hinata sudah harus mengetahuinya.

Siluet rambut indigo pendek itu muncul kembali dari mengambil selimut baru untuk Boruto dan Himawari. Menyerahkan dengan senyuman teduhnya.

Naruto memberi tanda jari telunjuknya ia tempelkan di bibirnya untuk tidak bicara apapun lagi di hadapan Hinata.

"Ada apa sih? Kalian membicarakan ibu ya"

"Rahasia hehehe" Ucap Himawari dengan tawa jenaka.

"Kemari lha, Hinata" Naruto berusaha mengalihkan pernyataan dari Hinata dengan memanggil istrinya. Dan berhasil.

Naruto mengambil sumpit dan mangkuk makan Hinata yang belum dihabiskan. Mengambil porsi suapan kecil Naruto berikan untuk Hinata.

"Aku bisa makan makan sendiri, Naruto-kun" Dengan muka merah, Hinata malu kalau dilihat anak-anaknya seperti ini.

"Ayah seharusnya lakukan itu setelah kami tidak ada, ttebasa" Muka Boruto memerah tidak lupa gaya protesnya, padahal senang melihat adegan mesra-mesraan kedua orang tuanya. Sementara adiknya bermuka cerah melihat begitu mesra kedua orang tuanya.

"Ayo lha, aku hanya ingin menyuapimu" Goda Naruto tetap bersikeras sambil menatap istrinya.

Hinata tidak punya pilihan lain selain menurut, menerima suapan makan malam sampai habis.

Pent-up Anger

Story by Chimunk-

Disclaimer : All Character Naruto © Masashi Kishimoto

Pairing : Naruto & Hinata

Rate : T+

Canon Story 'after manga Boruto chapter 72' segala plot hanya imajinasi Author semata.

Setelah memeriksa seluruh anak-anaknya tidur, Naruto menyusul istrinya ke dalam kamar. Kamar utama yang hanya di isi mereka berdua.

"Anak-anak sudah tertidur?" Tanya Hinata sedang memakai baju tidurnya.

"sudah semua, ttebayo" di susul Naruto melepas baju orange yang berganti kaus oblong serta boxer ramen favoritnya.

Bola mata shappire Naruto melihat Hinata intens, Hinata melamun lagi. apa yang istrinya pikirkan di dalam kepala cantiknya itu?

Hinata merasakan punggungnya hangat serta rangkulan kedua lengan besar sedang memeluk seluruh tubuhnya. tubuh Hinata meremang akibat pelukan Naruto di belakang punggungnya.

"sedang memikirkan sesuatu?" Naruto bertanya sambil mencium kepala Hinata.

terkejut yang dilakukan Naruto. Hinata meletakan tangan kecilnya diatas lengan Naruto yang sedang memeluknya. Hinata merasakan Naruto sedang memperhatikannya. mereka sudah menikah kurang lebih satu dekade bertahun-tahun lalu. Naruto pasti merasakan kejanggalan tingkah Hinata yang tidak seperti biasanya. niat itu akan Hinata simpan seorang diri ternyata di sadari oleh suaminya saat ini.

Hinata tersenyum sendu sambil melepaskan pelukan dan rangkulan dari suaminya, mengiringi Naruto naik ketempat tidur yang sangat menggoda.

Naruto menurut. Berbaring bersama istrinya sambil memeluk perut dan pinggul ramping Hinata diatas perpaduan ranjang.

Kenyaman mutlak yang Naruto rasakan saat Hinata memeluk wajah tannya sambil mengusap rambut cepak pirang nya.

"Aku terlalu memikirkan, Boruto. Sampai-sampai aku berfikir sudah menjadi ibu yang buruk untuknya"

"dan kau tau, aku masih marah Naruto-kun" mau tidak mau Hinata mengatakan jujur terhadap Naruto.

Naruto yang mengerti situasi Hinata sedang marah terhadapnya mengeratkan pelukan sambil mengucapkan maaf berkali-kali kepada Hinata. Naruto sedang memutar otaknya cara yang tepat mendapatkan maaf dari Hinata.

Naruto memberi kecupan-kecupan kecil di leher dan dada istrinya "Maafkan aku. aku tau egois, aku hanya-"

"tidak ingin melibatkan ku, begitu?" Ciuman yang Naruto berikan tidak mempan untuk kali ini

Naruto mengadahkan kepalanya, shappire dan purple pucat itu bertemu. Pandangan istrinya menunjukan betapa kecewanya Hinata atas keterlambatan kondisi putra sulung mereka. Hinata tau meskipun terlambat itu lebih baik dari pada tidak tau sama sekali.

Situasi sangat memojokkan Naruto saat ini, ia ingin mengatakan alasannya tapi suara yang ada di tenggorokannya tercekat membuat Naruto tidak mengatakan apapun selain memeluk Hinata.

"Kita tidur saja, ya" Hinata ingin menyudahi pertengkaran kecil mereka diatas ranjang tapi Naruto menggeleng kepalanya tanda tidak setuju. Naruto ingin menyelesaikan masalahnya sekecil apapun itu.

"Aku memang tidak ingin melibatkan mu itu memang benar. Melawan musuh kali ini aku bahkan sampai kehilangan Kurama karena mereka. Kau tau, aku hanya tidak ingin kehilanganmu juga" Naruto menggertakan giginya tidak bisa membayangkan kehilangan istrinya dalam pelukannya. Ia tidak akan meragukan Hinata yang trus berusaha melindunginya di garis depan. sudah banyak bukti yang Naruto tau pengorbanan Hinata dari sebelum menikah bahkan sesudah menikah pun. sesungguhnya juga Naruto mampu tegar menghadapi Kurama tidak menjadi partner bertarungnya lagi, tapi kalau Hinata juga ikut berkorban untuknya? Serasa jantung hatinya di cabut paksa dari dalam tubuhnya.

"tapi tidak seharusnya kau menanggung beban itu seorang diri" Naruto menganggukan kepala menyetujui ucapan Hinata. tapi karena rasa cemas terlebih dahulu menyerang Naruto sampai lupa memberitahunya. Naruto tidak tau sampai berapa kali kesalahan yang terus mengulang di depan istrinya. meski hal itu akan membuat Hinata bosan, ia akan terus menyakinkan Hinata.

"Maafkan aku, ya" Naruto memelas bak musang yang kehilangan induknya. padahal Kurama sudah tidak ada di dalam tubuhnya tapi kenapa masih menggemaskan.

Apa dirinya egois? sudah mendiamkan Naruto selama seharian ini?

Hinata hanya ingin Naruto membagi beban yang di pundaknya meski itu sedikit, tapi nyatanya ia sama tidak membantu apapun. Hinata jadi marah terhadap dirinya sendiri dan meluapkannya kepada Naruto. sungguh memalukan pikir Hinata.

"tidak perlu melakukan apapun tidak apa-apa. asal kau ada di sampingku" seolah membaca pikiran Hinata, Hinata pun terkejut.

Hinata menatap Naruto intens. "kau yang seperti ini tidak apa-apa bagiku. aku masih tetap mencintaimu"

Hinata tau tidak akan pernah menang di hadapan Naruto, kemarahan terpendam yang ada di dalam diri Hinata terkikis perlahan-lahan atas ucapan cinta suaminya. Hinata kalah telak kali ini.

tubuh mereka semakin melekat karena perilaku Hinata yang mengeratkan pelukan. "maafkan aku juga. terima kasih dan aku mencintaimu" Naruto tersenyum penuh syukur kalau sudah seperti ini ia sudah mendapatkan maaf dari Hinata secara tuntas.

Setelah pergi kegelisahan mereka, Keduanya menikmati obrolan ringan tentang Himawari yang memutuskan ingin menjadi ninja dan masuk akademi. Naruto yang mendengarnya tentu saja senang dan akan mendukung penuh keputusan putri kesayangan mereka. Benar! Naruto dan Hinata sama sekali tidak keberatan apapun yang di inginkan anak-anak, meskipun mereka tidak ingin menjadi shinobi Naruto Hinata mendukung penuh apapun itu selagi hal-hal baik untuk mereka. Kejadian Masa lalu yang terjadi masa kecil Naruto dan Hinata menjadikannya pembelajaran untuk anak-anak mereka kelak. Keduanya hanya ingin yang terbaik. Itu saja.

Diambang kesadaran Hinata sudah mencapai titik lelah ingin mengistirahatkan pikiran serta tubuhnya. Hinata menguap sambil tersenyum tetap mendengarkan ocehan Naruto yang seperti dongeng tidur.

"Jangan tidur dulu Hinata"

"Hhmm"

"Aku minta tolong"

"Mengambilkan, Naruto-kun air minum?" Hinata asal jawab.

Naruto bangkit mencium ringan bibir istrinya yang terkatup rapat. tidak lupa kedua tangan Naruto meraba bukit kembar dibawahnya dengan gerakan halus.

Seolah tidurnya terusik. Hinata membuka puprle pucat itu bertemu shappire lagi. Sebuah syarat undangan yang di ketahui Hinata apa yang di inginkan Naruto.

"Aku menginginkanmu" Ucapan Naruto menyadarkan kembali sistem saraf kesadaran Hinata sepenuhnya. Hinata pun menerima kembali ciuman Naruto mengalungkan lengannya di leher Naruto membalas ciuman pria diatasnya. Apa Hinata bisa menolak? Tentu saja tidak.

Suasana pagi menyambut seperti biasa terlihat Hinata yang sudah berada ruang tamu sekaligus dapur itu sudah lebih dulu selesai membuatkan sarapan lebih pagi dari biasanya. Setelah kegelisahan pergi ditambah satu malam yang panas yang mereka habiskan bersama, membuat Hinata lebih semangat dari biasanya. Apakah selalu seperti ini efek dari suaminya. Sepertinya begitu.

"Hhooaammm, selamat pagi~" Sie sulung muncul pertama.

"Selamat pagi, Boruto. Apa kau sudah mencuci muka dan sikat gigi? " Boruto yang mendengar cicitan ibunya segera pergi ke kamar mandi.

"Boruto, sekalian bangunkan Kawaki, ya" Di jawab malas oleh Boruto. Kenapa selalu dirinya sih, memangnya Kawaki tidak bisa bangun sendiri? Setelah mencuci muka dan menggosok gigi. Upaya membangunkan Kawaki gagal karena tidak bangun juga, pada akhirnya Boruto membawa segelas air penuh dan ia tumpahkan di seluruh wajah Kawaki. Tentu saja karena perbuatannya Kawaki menjadi marah karena tidak membangunkannya tidak seperti biasa.

"Kau ini susah bangun seperti orang mati, kalau tidak disiram air" Boruto ikut protes "dan kau tidak lupa kan misi penting itu akan kita mulai hari ini" Pernyataan Boruto menghentikan aksi saling bertengkar mereka. Mengingat Kawaki akan menghadapi seseorang yang suka pada dirinya. Akan sangat merepotkan pikir Kawaki.

Setelah semuanya bangun mereka memulai makan pagi lebih ceria tidak seperti kemarin malam. Kawaki pun menyadari perubahan suasana keluarga ini dengan cepat. Walaupun dirinya pendiam ia begitu memperhatikan keluarga ini yang sudah bersedia menampungnya disini.

"Kawaki, awas kau kalau besok-besok susah di bangunkan lagi. Akan ku siram dengan ember besar berisi air" Ucap Boruto masih kesal dan masih tidak terima.

"Hah? Sebelum kau melakukannya aku sudah bisa membunuhmu tau" Munculnya siku empat di ubun Kawaki merasa tidak terima.

"Lagian apa sih yang membuatmu susah bangun padahal semalam kau sudah tidur duluan"

"Itu karena suara berisik" Kawaki menyahut.

"Suara Berisik?"

"Aku mengira itu musuh yang akan datang kerumah ini, setelah aku periksa seluruh rumah. suara berisik itu tiba-tiba menghilang" Kawaki menjelaskan kalau ia terbangun ditengah pagi buta sekali. Suara berisik itu seperti suara beradu. Entah datang dari mana pada akhirnya Kawaki terjaga dan waspada. Setelah tidak terjadi apapun ia kembali tidur.

"Aneh sekali, padahal aku tidak mendengar suara apapun?" Boruto masih asik menguyah.

"Aku pun tidak" Sang adik berfikiran sama.

Sementara dua orang dewasa di sana dengan muka yang seluruhnya memerah hanya menyimak percakapan ketiga bocah tsb.

"Ibu dan Ayah? Kenapa muka kalian merah, ttebasa?" Pikir Boruto apakah kedua orang tuanya sakit.

"A-yah j-juga t-tidak tau kok. Apalagi i-ibumu yang sudah tertidur pulas, ya kan Hinata" Yang dijawab anggukan cepat oleh Hinata.

Tidak ingin bersikap canggung Naruto segera menghabiskan sarapannya dan mengambil jubah kebanggan nya bertuliskan Nanadaime Hokage.

"Himawari, ibu bilang mau masuk akademi ya?" Naruto bertanya kepada putrinya.

"Eh? Yang benar Himawari? Kau ingin menjadi ninja juga?" Sie sulung terlihat antusias melihat adiknya akan sama seperti dirinya. Menjadi Shinobi.

"Iya, apa itu boleh?" Dengan senyuman merekah Naruto menjawab "tentu saja boleh, kapanpun Hima siap ayah akan memasukkanmu ke akademi." Jari Naruto terangkat ok suatu tanda tidak perlu di khawatirkan apapun lagi.

"Terima kasih, Ayah"

"Aku akan berangkat duluan ya. Ada hal lain yang ingin Shikamaru bahas di kantor Hokage." Naruto bersiap sambil menunjuk Kawaki dan Boruto. "Ingat misi penting ini, kalian berdua" Ujar Naruto tidak lupa Hinata mengantarkan Naruto di depan pintu utama.

Kawaki dan Boruto dengan cepat menghabiskan sarapan paginya bergegas ke kamarnya masing-masing mempersiapkan segala hal yang di perlukan menjalankan misi.

Hinata dengan tenang menunggu Kawaki dan anak sulungnya di depan pintu utama rumah Uzumaki.
Ia tidak memperlihatkan kelemahannya dihadapan Boruto lagi ia akan melakukan dengan benar. Mengantarkan anak itu dengan senyuman. Tidak ada air mata, sekali lagi Hinata menyakinkan dirinya.

"Hey Kawaki cepat se-" Boruto memperhatikan ibunya sedang menunggu disana. Senyuman teduh dan rasa percaya terhadap Boruto akan kembali padanya, Hinata percaya itu.

"Hati-hati ya, kalian berdua" Ucapan teduh dari sang ibu membuat Boruto tidak ingin mengecewakan ibunya. Benar janji itu sudah di buatnya, maka ia harus menepatinya.

Pasti

The End