Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Fict permintamaafan untuk:

- kesupertelatan update fict HFNH—padahal HFNH yang pertama.

- Untuk The Waltz dan Tentang Bintang yang selalu telat dan belum bisa update.

Hufh. Yang mau ninggalin flame, boleh kok… Habis… Fict ini temanya banyak, sering dibahas, yah… Idenya pasaran. Yang benci, kesel, Shalala sama Light, wiss monggo tinggalin flame. 'Cause Light will survive!

Dozo, Minna-sama!

Disclaimer:

Light don't own Naruto.

Warning:

Canon verse, POV changing, out of character-maybe, a little typo(s) and out of topic. Full of gajeness and garingness.

.

Mungkin akan ada yang ganjil sama sebagian POV di fict ini. Light mencoba untuk ngebuat fict dengan sudut pandang orang ketiga. Challenge for me. Mohon bimbingannya…

Lupakan fakta kalau Naruto baru aja ketemuan ama Sasuke dibarengin Sakura sama Kakashi dkk, dll, dsb, dst. Light ambil ceritanya dimulai setelah Naruto ketemu Sasuke, terus Narutonya pingsan—entah bagaimana caranya…

Let's begin this story!

Have a nice read! ^__~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Cinta tidak bisa diprediksi.

Benar, kan?

Jatuh suka tidak mesti pada kebaikan seseorang.

Terpesona tidak harus karena paras rupawan seseorang.

Jatuh cinta bukan berarti harus membenci seseorang.

"Aku mencintainya. Karena aku jatuh cinta padanya…"

Karena terkadang, cinta itu sendiri tidak butuh alasan…

Untuk menyatakan cinta.

.

#~**~#

A 'NaruHina' fanfiction, dedicate to (belated) update HFNH's fanfiction,

Menyadari Keberadaanmu

By: Light-Sapphire-Chan

#~**~#

.

"NARUTOOOOOOOOO!!!"

Jeritan rekan setimmu bergaung panjang di telingamu, saat di mana Kau merasakan tubuhmu terasa lemas serta lunglai, semuanya mendadak memburam lalu menjadi hitam. Dan Kau merasakan kegelapan merenggut kesadaranmu.

Seruan gurumu tidak ingin tidak Kau hiraukan.

"Narutooo!"

Hanya saja, Kau tidak mengerti mengapa semua ini terjadi padamu. Rekanmu dan gurumu tidak bisa mendengar suaramu yang lantang, yang balas berteriak sebagai tanda Kau mendengar seruan dan jeritan mereka.

Entah apa, Kau sendiri tidak menyadari apa yang membuat sekelilingmu gelap gulita. Hanya ada Kau dan hitam. Kau dan gelap. Kau dan hening. Kau dan sunyi.

Mata birumu yang serupa safir berkilau di kegelapan tersebut. Menatap nyalang berusaha mencari pertolongan. Tapi Kau tidak menemukan apapun, selain dinding-dinding kokoh yang rasanya tidak mampu Kau hancurkan—bahkan jika Kau hantam sekalipun dengan jurus kebanggaanmu. Dinding-dinding yang membentuk menjadi labirin.

Kau berlari sekuat tenaga, melewati labirin yang menyesatkan, mencari jalan keluar. Kau bingung, apakah jalan ini tadi sudah dilewati? Akankah ada akhir dari labirin ini? Labirin kokoh yang menjulang tinggi, yang sedaritadi menyesatkanmu.

"Sakuraaaa-chaaan! Kakashi-Senseeeiii!!!"

Teriakmu di sisa napasmu yang cepat dan pendek. Suaramu menggema di kegelapan, terpantul dari satu dinding ke dinding lainnya. Kau mencari mereka yang tadi masih berada di sampingmu. Kau takut kegelapan menguasai dunia. Mengambil secercah cahaya yang menyala sunyi yang terpendam di dasar bumi. Walaupun Kau sendiri tidak tahu cahaya tersebut bersinar di mana.

Hitam.

Gelap.

Kosong.

Hampa.

Hanya itu yang Kau genggam erat sebagai jawaban pencarianmu.

Kau pun jatuh terduduk kelelahan, di kesunyian, berbisik lirih seolah suaramu setelah berkata beberapa patah kata ini, akan tiada… Direnggut keheningan.

"Kami-sama… Kalau aku punya salah sama orang lain, dan aku tidak menyadari kesalahanku, tolong maafkan aku. Dan beri aku kesempatan, untuk memperbaikinya."

Terkabul.

Sebuah pendar cahaya menyala di ujung penglihatanmu. Kau segera bangun dan berlari, meraih cahaya tersebut. Semakin dekat, Kau berusaha mengurangi jarak antara Kau dan cahaya tersebut. Tanganmu terulur menggapainya…

Kau berhasil meraihnya. Dan merasakan Kau ditarik cahaya itu ke dalam putihnya.

Sinar cahaya tersebut terlalu menyilaukan untuk langit yang perlahan-lahan bersembunyi di kelopak matamu. Kau melepaskan genggaman pada sang cahaya. Kau menyilangkan kedua lenganmu di depan wajahmu, berusaha mengurangi kapasitas cahaya yang menyakitkan menerobos masuk ke matamu.

Kau merasakan waktu bergulir terlalu lambat. Cahaya yang menarikmu terlalu kuat, hingga Kau tidak bisa melarikandiri. Dan ketika pendar cahaya tidak lagi seolah menusuk matamu, Kau memberanikan diri untuk membuka mata.

Hanya untuk mendapati bahwa Kau berada di masa lalumu. Masa kecil yang paling Kau benci. Di mana hanya ada kesepian dan hinaan serta aniaya yang menemanimu. Dan Kau benci pada semua yang menemanimu saat itu.

Kau melihat dirimu yang dulu. Seorang bocah yang tampak manis—seharusnya jika ditambahkan dengan senyuman, duduk termenung di ayunan tua berkarat di sebuah taman bermain. Bermain dengan ayunan itu sendiri, merenungi sikap-sikap penduduk Konoha yang sangat membencimu.

Tapi ketika dirimu yang sekarang, memerhatikan taman itu dengan seksama, Kau melihatnya. Tidak lagi melarikan diri dari rasa keterkejutan, Kau memandangnya. Ada seseorang yang bersembunyi di balik pohon yang rindang dan besar, seorang bocah yang dulu sebaya denganmu.

Dia melihatmu, melihat sosokmu yang dulu, dan Kau dapat mendengar suara hatinya yang berbisik sedih… Dan baru pertama kalinya Kau mendengar, ada yang begitu sedih saat melihatmu.

'Naruto-kun…'

Kau pun dapat melihat bulir demi bulir air mata jatuh, berkilau membasahi wajahnya yang sedari kecil sudah terlihat cantik. Dan Kau merasakan telingamu bertalu-talu, terasa berdengung, suara lirih yang dulu tak Kau dengar, kini merambat masuk, mengusap gendang telingamu, menyusup ke celah hatimu…

Perih hatimu, mendengar isak tangisnya yang lirih penuh getar kesedihan.

Isak tangis penuh kesedihan, yang ada hanya untukmu.

Padahal gadis itu bukan Kau; yang menerima semua kemarahan penduduk Konoha pada masa tersebut. Tapi mengapa ia menangis?

Tidakkah Kau menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana ini?

Kau mendekati sosok kecilmu, berusaha menepuk bahumu yang dulu kecil dan rapuh, yang membutuhkan sandaran.

Tembus.

Kau hanya bisa tersenyum getir melihatnya.

Tiba-tiba Kau merasakan tarikan kuat menarik seluruh tubuhmu. Kau memejamkan mata. Memasrahkan diri pada apa saja yang nanti akan menyambutmu.

Ketika Kau sudah merasakan dirimu telah berpijak aman pada kokohnya bumi, Kau membuka matamu.

Ah iya, waktu itu… Di sini.

Kau melihat tempat seleksi ujian chuunin ini, rasanya, setelah tiga tahun, ia belum pernah mampir kemari lagi.

Kau mengedarkan pandanganmu, menemukan dirimu yang masih kecil tersenyum bangga mendekati gadis kecil yang dulu begitu Kau kagumi.

Terdapat banyak suara memberikan pujian padamu. Tapi…

"…Naruto-kun, se-selamat s-sudah l-lulus!" kata seorang gadis kecil lagi dengan malu-malu, yang lalu menautkan kedua jarinya.

Kau yang baru saja menang waktu itu, hanya memberikan cengiran khasmu, dan mengacungkan ibujarimu. "Arigatou, Hinata!"

Kau tidak menunggu kelanjutan kalimatnya, Kau terus saja berjalan hingga benar-benar mendekati gadis berambut merah muda, seseorang yang di matamu dulu, terlihat begitu sempurna.

Tidak tahukah Kau kalau sang gadis belum selesai bicara padamu?

"Sakura-chaaan! Aku berhasiiil!"

Gadis yang Kau tinggalkan terperangah, tapi ia mencoba tersenyum. Kau yang sekarang memperhatikan secara seksama. Kau baru menyadari, dulu gadis itu pernah mencoba memanggilmu, menyentuh bahumu… Hanya untuk…

"Ah, Kau terluka, Naruto! Sini, biar kuobati dulu yah…" Kata Sakura, rekan setimmu dulu, hingga sekarang.

Kau yang baru saja menang, hanya tersipu malu mendapatkan perhatian lebih dari Sakura—yang dulu menurutmu Kau cintai. Sakura melekatkan plester di setiap lukamu yang nampak ringan.

…Tangannya menggenggam erat benda tersebut, ia termanggu, dan segera berbalik pergi, menjauh darimu. Ya, Hinata hanya ingin memberikanmu plester. Serta satu tas pengobatan. Untuk mengobati lukamu, yang pada saat itu, ia mampu mengobatimu lebih dari rekan setimmu.

Kini Kau melihatnya, yang ingin memberikan perhatian padamu, Kau mendekati gadis kecil tersebut yang terlihat kecewa dan sedih, namun berusaha tegar. Gadis berambut indigo pendek yang menggenggam erat tas dan plester di genggaman tangannya.

Setelah hal tersebut, Kau yang kini jauh tinggi dari gadis kecil itu, hanya mampu berlutut di hadapan gadis kecil yang manis itu. Inginmu, menghilangkan sendu yang tersirat dari matanya. Hati kecilmu meminta dirimu yang menjadi mata ketiga, untuk memeluknya.

Tapi tentu saja, ia tidak bisa melihat dirimu yang sekarang… Bagaimana Kau bisa menyentuh bahkan memeluknya?

Sampai gadis itu menembusmu begitu saja, melewatimu karena namanya dipanggil untuk pertandingan melawan kakaknya. Kau pun berdiri. Dan mendekati pinggir sebuah pembatas. Mencengkeram pembatas tersebut dengan keras. Pertandingan antara Hinata, dan dia….

Kau merasakan pikiranmu melayang, tidak berkonsentrasi pada pertandingan tersebut. Hingga suaramu yang dulu terdengar sangat menyakitkan di telinga, berseru lantang.

"Ayooo, Hinataaa! Kalahkan Nejiii! Dia sombong sekali sih…" Gerutu sosokmu yang dulu terlihat masih sangat polos.

Nama seseorang yang Kau panggil tersebut, mengangguk sekilas, lalu kembali berkonsentrasi melawan sosok 'kakak'-nya yang dulu bersikap tidak baik kepadanya.

Dan lagi-lagi, Kau mendengar suara lembut itu, suara yang selalu menyebutkan namamu dengan halus, memecahkan lamunan dirimu yang sudah dewasa… Namun kini, suara halus tapi tegas yang penuh tekad. Suara yang belum pernah Kau dengar.

'Naruto-kun mendukung… Aku tidak akan kalah!'

"Hanya menyengamatimu seperti itu… Kau sudah bisa berdiri kembali?" gumammu pada diri sendiri. Karena Kau tahu, sadar, bahwa tidak ada orang yang dapat melihat keberadaanmu yang sekarang.

Untuk kedua kalinya, Kau kembali melihat sesosok gadis kecil yang jatuh bangun di perjuangannya. Pemandangan yang tidak ingin lagi Kau lihat apalagi ingat. Tapi untuk kedua kalinya…

Sampai akhirnya, tubuh mungil yang selalu dilapisi jaket itu terjatuh. Tanpa basa-basi—walaupun Kau tahu percuma saja Kau menghampirinya—karena ia tidak bisa melihat figur dewasamu, Kau melompati pembatas itu dan mendekatinya. Ia yang kini melihat figurmu yang dulu.

"Hinata… Bertahanlah!" pintamu saat itu.

Setelah figur kecilmu berkata seperti itu, Kau mendengar suara hati Hinata yang lemah, tapi penuh kebahagiaan.

'Naruto-kun… Arigatou gozaimasu.'

Kau yang saat ini telah memvariasikan rasengan yang telah dipatenkan menjadi jurusmu, merasa bingung. Perasaan apakah yang saat ini harus mengisi hatimu setelah mendengar suara hati Hinata tadi? Sedih atau bahagia? Kau bahagia, mendengar Hinata yang berkata seperti tadi. Tapi di satu sisi, hatimu bagai disayat-sayat kunai…

Ini penyesalan kedua. Mengapa dulu Kau tak menyadari, kalau perhatian kecil darimu saja, sudah sangat bahagia?

Dan kesadaran sang gadis menghilang. Menyisakan sedikit dendam untukmu, Kau sendiri tidak mengerti, mengapa Kau ingin sekali membalas kekalahan gadis ini pada kakak sepupunya yang dulu sangat sombong.

Mendadak semua kembali melebur dalam warna putih, Kau membiarkan dirimu terombang-ambing di lorong cahaya ini, karena kini, Kau mulai menyadari, maksud dari dilemparkan kembali ke masa lampau.

Semua pasti ada artinya, dan Kau perlahan menggenggam keping demi keping kenangan yang membantumu untuk menguraikan satu makna. Kau mengerti, hanya kini Kau seolah menjadi saksi…

Melihat dia yang dulu begitu lemah dan rapuh, ternyata hatinya begitu tegar dan sangat kuat. Lebih dari batu karang yang selalu dihempaskan gelombang ombak.

Tidak seperti yang semua—dan sosoknya yang lalu—kira dan pikirkan.

'Hinata Hyuuga.' Kau menyebut nama sang gadis di dalam hati.

Kau dijejakkan pada suatu malam, hampir di pinggir jurang.

Ah… Kau ingat orang itu. Ya, yang membuatmu jatuh terhisap pasir besi. Orang yang mengejar Hinata—sementara Kau mati-matian meminta Hinata agar sang gadis menjauh, bilamana perlu, melarikan diri.

Tapi ia tidak menghiraukanmu.

Kau yang kini beranjak di usia tujuh belas tahun, mengikuti gadis kecil yang dikejar penjahat tersebut. Di antara pijakan pada dahan-dahan pohon, Kau berusaha menghalau penjahat itu. Penjahat yang mengejar gadismu. Padahal Kau tahu, rasengan yang kini Kau hantamkan pada wajahnya, sama sekali sia-sia.

Kau melihat Hinata dihalanginya, terjadi pertempuran sengit antara Hinata dan penjahat yang namanya saja sudah Kau lupakan.

Untuk pertama kalinya, Kau mendengar suara hati seseorang yang mencintaimu, penuh dengan nada amarah.

'Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti Naruto-kun lagi!'

Kau terdiam.

Mengapa justru dia yang begitu ingin melindungimu? Padahal tak sekalipun Kau pernah melindunginya… Seharusnya, Kau kan, yang melindunginya?

Hinata menang, dengan tekad kuat. Alasannya sederhana, hanya karena Kau.

Penjahat tersebut termakan senjata andalannya sendiri, sementara Hinata segera berlari mencari dirimu yang dahulu tidak mampu melindunginya.

Kau tersenyum kecil, mengikuti langkah Hinata yang tergesa dan begitu panik mencarimu di antara pasir besi hisap.

"Naruto-kun!" Hinata mengulurkan tangan, tangannya bersambut dengan tanganmu yang dulu begitu kecil dan lemah.

"Hinata… D-dia mana?" tanyamu, berusaha mengatur napas yang terengah-engah.

"Sudah aman. Tenang saja… Naruto-kun terluka tidak?" tanyanya dengan wajah khawatir.

Kau ingat, waktu itu Kau ingin tersenyum menenangkan, namun sudut hatimu yang lain seakan berontak. Mengingatkan bahwa senyummu yang menenangkan, teruntuk tim tujuh semata.

"Tidak. Tenang saja," jawab figur kecilmu dengan wajah tenang. "Kau harus istirahat dan mengobati luka-lukamu, Hinata. Misi ini biar aku yang selesaikan…"

"Ta-tapi—"

"Tolong, Hinata…"

"B-baiklah," Hinata mengalah. "Hati-hati yah, Naruto-kun…"

"Pasti!"

Kau belum ingin pergi dari keping kenangan ini, ketika Kau kembali dihanyutkan di cahaya yang terang benderang, namun, perlahan-lahan menjadi surut, hanya terang yang remang menjadi sumber pencahayaan. Kau menyadari, bahwa Kau kini berdiri di atas sebuah air terjun. Tepat di atas air terjun, Kau melayang tipis di atas arus air sungai yang deras. Sementara bulan bersinar keperakkan di tahta langit malam yang bersih tanpa bintang.

Ketika Kau menundukkan kepalamu, Kau menyadari, bahwa seseorang di bawah sana, tanpa busana, yang membuat dirimu waktu kecil terpesona, ternyata… Hinata. Menari indah, dilindungi air yang berkilau tertimpa sinar rembulan.

Ternyata, sosok gadis cantik yang membuatmu sangat terpesona… Adalah Hinata.

Benar-benar Hinata.

Kau benar-benar tidak ingin pergi dari kenangan ini. Tapi apa daya? Kau tidak mampu untuk sekedar melarikandiri dari cahaya itu lagi. Cahaya yang lagi-lagi menarikmu kuat, ke masa lampau berikutnya.

Kau berpikir, bahwa Kau akan berada sama seperti pada kenangan sebelumnya… Menapaki satu demi satu keping kenangan menuju ke jalan kepastian. Nyatanya sekali ini tidak. Cahaya itu menyelimutimu, membawa menembus dimensi ruang dan waktu. Yang sudah lalu. Yang semakin maju…

Kini Kau melihat Hinata yang berjuang lagi, mengalahkan musuh dengan segala kekuatannya, Kau ingin membantunya, namun Shino menahanmu dan hanya berkata, "Percayakan semua pada Hinata.".

Dan ketika musuhnya musnah, Hinata nyaris jatuh terkulai lemas. Tepat sebelum ia menghantam tanah, Kau segera menangkapnya ke dalam pelukanmu. Memanggil-manggilnya…

Kau yang telah dewasa, kini mampu melihat rona bagai senja menyapu wajah jelita keturunan Hyuuga tersebut.

Dan lagi-lagi, ia bersuara lirih… Seperti waktu itu, penuh kebahagiaan.

'Naruto-kun…'

Pada akhirnya, kesadaran sang gadis menghilang seolah dihembuskan angin. Waktu itu, Kau hanya mampu mengucapkan namanya lagi dengan panik.

Tapi Kau yang saat ini tidak lagi urakan seperti dulu, tersenyum lega melihatnya. Lega melihat dirimu waktu kecil yang menopang gadis kecilmu.

Cahaya kembali menyeruakkanmu ke satu kenangan, memasuki usiamu yang sekarang. Kau melayang di atas sang gadis—yang telah tumbuh dewasa, gadis yang kini telah menjelma menjadi gadis yang manis, semakin berparas jelita.

Tapi ia tetap pemalu. Semenjak Kau dibawa sang cahaya, baru sekali ini Kau bisa tekekeh geli. Melihat gadismu bersembunyi di balik sebuah tiang, melihatmu waktu itu baru kembali setelah berlatih dengan Jiraiya—Ero-Sannin yang Kau sayangi layaknya ayah sendiri.

Kau menghampirinya dengan senyum riang, bermaksud menyapanya yang berlanjut pada obrolan ringan… Tapi wajahnya yang merah padam, mengantarkan kesadaran gadismu untuk pergi. Kau hanya bisa kembali menopangnya dengan pandangan bingung.

Kini Kau mengerti tatapan Shino dan Kiba waktu itu. Tatapan mereka seakan menyuarakan, "Kau tidak peka sekali sih, Naruto!".

Sang cahaya menarikmu ringan dan lembut, menuju ke kenangan berikutnya. Seolah cahaya sudah menyadari kalau hatimu mulai tenang. Mulai menangkap maksud di balik semua ini.

Kau tersenyum, ketika melihat dirimu, Hinata, teman-teman, Kuchiyose gurumu—Pakkun dan kawan-kawannya, ditugaskan untuk mengejar Sasuke. Kau begitu semangat dan penuh tekad.

Namun, kali itu kau tidak sadar juga. Kalau Hinata tersenyum sedemikian lembut melihatmu yang seperti itu.

"Kita satu tim, Hinata! Mohon kerjasamanya yah…" Ucapmu riang.

"I-iya…" Hinata mengangguk, lalu menundukkan wajahnya.

Kali ini pula Kau menyadari, kalau semburat merah menyapu wajah cantiknya. Membuatnya terlihat manis.

Sekali lagi, cahaya yang menyelimutimu, bersinar menyilaukan. Membawamu menembus waktu yang tidak jauh dari ingatan lalu yang sebelumnya. Hanya beberapa saat setelahnya.

Pada saat itu, ada Tobi-yang saat ini Kau ketahui kalau dia adalah Uchiha Madara, membuatmu tenggelam sesaat dalam air.

Pertama kalinya juga, Kau mendengar suara hati Hinata yang begitu terdengar takut, khawatir, cemas, teruntuk dirimu seorang.

Ketika Kau menyeruak dari dalam air dengan keadaan basah, Kau tidak menyadari, bahwa ada yang mengkhawatirkanmu sedalam itu. Kau hanya menatap tajam pada seorang autis yang tidak jelas sifatnya—Tobi alias Uchiha Madara.

'Naruto-kun… Yokatta ne.'

Inilah suara hati Hinata, setiap kata dan desahan dialiri kelegaan serta penuh rasa syukur. Padahal, tenggelam adalah sesuatu hal yang ringan untuk shinobi sepertimu.

Ketika cahaya melayangkanmu kembali ke keping kenangan berikutnya, Kau kira, hanya kenangan sederhana yang berarti. Sesuatu yang sebelumnya tidak Kau ketahui-perasaan dan kata hati Hinata, sekarang Kau selidiki.

Pada akhirnya, inilah kenangan akhirmu dengannya, sebelum Kau dan dia merenggangkan jarak di antara kalian.

Karena kenangan ini, adalah puzzle terakhir, sebelum lukisan makna selesai.

Tidak ada suara hati Hinata lagi…

Yang ada hanya suara Hinata yang lembut namun tegas. Kejujuran, yang sebelumnya tidak pernah diungkapkannya.

Karena kenangan yang satu ini, ingin selalu Kau ingat. Bahkan ketika Kau menjadi mata ketiga, di antara Kau sendiri dan gadismu, mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir tipis sang gadis… Kau tersenyum lembut. Senyum yang pertama setelah rangkaian peristiwa tidak terlupakan yang datang bertubi-tubi—namun bukan peristiwa antara Kau dan gadismu.

Kau masih merasakan kehangatan yang bersumber dari kebahagiaan. Mendengar suaranya, dan mata khasnya yang menatap lurus terhadap matamu.

Kau mempercayai setiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Mungkin, di antara sekian banyak kenangan, yang bagimu terasa indah di kesunyian, hanya bagian inilah, yang membuatmu menyadari keberadaannya…

…Menyadari keberadaannya, yang selalu mencurahkan setiap rasa padamu, yang selalu mengingatmu.

Karena Kau adalah orang yang dicintainya setulus hati tanpa pamrih.

.

#~**~#

Maafkan aku, yang dulu tak menyadari perhatianmu. Tak membalas airmatamu. Tak menghiraukan keberadaanmu.

Jangan Kau pedulikan kata-kata dunia…

Sayang.

Karena sebenarnya, mereka tidak tahu sedikitpun tentang hatiku.

Aku baru menyadari…

Jika aku bersedih bahkan tanpa kata, ada Kau yang menangis untukku.

Aku hanya asal menyemangatimu… Namun ada Kau yang benar-benar berjuang untukku.

Aku tersenyum riang penuh semangat… Pasti ada Kau yang tersenyum lembut memandangku.

Aku dalam bahaya yang tak seberapa… Tapi ada Kau begitu mengkhawatirkanku.

Ketika kali ini, aku benar-benar ditekan. Dan tak ada satu pun yang turun menolongku. Kau datang, dan aku melarangmu. Ketahuilah sesungguhnya aku benar-benar khawatir dan takut terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan padamu.

Namun Kau tak menghiraukannya.

Biarpun bantuanmu tak seberapa, namun jika tak ada Kau… Mungkin nyawaku sudah melayang.

Biarpun Kau lebih banyak berkata ketimbang bertindak… Kini aku mengerti, betapa sulitnya Kau mengungkapkan isi hatimu. Terlebih kepadaku.

Tapi perkataanmu kali ini, menyadarkanku akan keberadaan seseorang.

Yang sangat mencintaiku, rela berkorban untukku…

Tapi tidak pernah mencoba memilikiku.

"Terlambatkah aku jika baru menyadari keberadaanmu sekarang?"

#~**~#

To be continued

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Warning ditambah ah:

Kebanyakkan kata-kata gaje diulang. Lebay. Nyebelin. Sha la la gak mutu. Maaf fict ini banyak kekurangannya. Karena… UNBETA-ED. Unedit pula… *ngasih tongkat besbol* Silahkan untuk yang ingin mukul Light karena keabalannya.

Light jalan-jalan ke suatu 'tempat', di sana ada yang bilang kalau Hinata nyebelin terutama di chapter 437. Nolongin Naruto, tapi malah KEBANYAKKAN BACOT. Aha… Bahkan, jika Naruto memang benar-benar TIDAK mencintai Hinata, tapi Light yakin, Naruto akan sangat menghargai perasaan Hinata.

#~**~#

Jika ada seseorang NHL yang mempunyai account, adakah yang ingin menjadi Active Staff di FFi khusus untuk community event and challenge NH? Kalau ada, tolong PM Light. Terima kasih.

#~**~#

Terima kasih waktunya untuk menyempatkan membaca! Kritik dan sarannya ditunggu selalu!

Sweet smile,

Light-Sapphire-Chan

.

#~**~#

Adakah yang menyadari jika banyak berkata terkadang adalah untuk membuat seseorang percaya? Percaya pada apa? Pada kejujurannya…