Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Terima kasih sudah RnR/alert/fave, baik itu fic/author. :D
Err, maaf banget karena baru bisa update sekarang. Tapi, berhubung karena sekarang sudah update, untuk pembaca setia yang rajin menagih fic ini update, silakan bayar hutangnya via review/feedback. *senyum penuh kelicikan*
.
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: Alternate Reality, POV changing, out of character, a little typo(s) and mary-sue.
.
Bold+italic: Naruto/Hinata'sPOV
.
Have a nice read. ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Engkau di sana
Aku di sini
Saling ingin menyebrang
Kendati sekarang mustahil
Mungkin saja di lain waktu
Kita akan mendapatkan posisi yang diinginkan…
…pun memiliki hati seseorang yang dicinta
.
#~**~#
Believe
.
Chapter 12
.
By: Light of Leviathan
#~**~#
.
Petang mulai menjelang, lelah kian membayang di setiap langkah kedua pasang muda-mudi yang telah menunaikan tugas di desa Bintang—Hoshigakure—sesuai yang diperintahkan oleh pimpinan tim dadakan mereka kali itu; Shikamaru Nara.
Naruto mulai lelah karena seharian ini dia asyik berbicara sendiri. Bukan maksudnya ia menjadi orang gila. Tapi ia berusaha mengajak berbicara teman-temannya, namun teman-teman setimnya bahkan Hinata tak mengacuhkannya. Dan bukannya ia bodoh karena tidak peka pada atmosfir kelam nan suram yang melingkupi mereka berempat, hanya saja Naruto berusaha memperbaiki keadaan—walaupun ia sendiri tidak mengerti hal apa yang harus diperbaikinya.
Menurut perhitungannya yang tidak lagi bodoh-bodoh amat, butuh waktu satu-dua hari lagi perjalanan non-stop hingga sampai di Konoha, tak termasuk waktu istirahat, tidak terhitung bahaya atau halang-rintang yang menghadang mereka.
Naruto melirik Sasuke yang berlari melompat-lompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya dengan kecepatan yang sama dengannya. Seperti biasa, keturunan terakhir Uchiha itu berekspresi datar. Dan bertingkah menyebalkan seperti biasanya—setidaknya itu menurut Naruto.
Lalu Naruto menoleh ke belakang sekilas, menemukan Sakura yang kelihatan lelah dan mengekor di belakang Sasuke. Walaupun Sakura tetap tersenyum dan tertawa, tak lupa memarahinya seperti yang selalu gadis cantik itu lakukan, rasanya ada yang mengganjal. Beberapa kali Naruto menangkap basah raut murung mencerminkan airmukanya yang keruh.
Dan yang paling ia khawatirkan adalah Hinata. Oh, jangan berpikiran macam-macam. Naruto tentu saja khawatir melihat Hinata yang pucat dan lunglai. Seharian ini ia sudah berkali-kali menanyakan kondisi gadis itu, namun Hinata selalu mengelak berkata jujur—itu menurut firasatnya.
Lihat saja seperti sekarang!
Matanya yang terbuka-terpejam, napasnya yang tersengal-sengal seolah mereka sedang berlari dengan kecepatan tinggi, wajah yang memerah seperti saat Naruto berdekatan dengannya, hawa panas yang menguar darinya, dan akhirnya Hinata gagal berpijak pada dahan berikutnya. Sepasang kakinya tidak lagi kuat menopang tubuhnya untuk sekedar berdiri.
Gadis itu jatuh. Tertarik gravitasi bumi.
"Hinata!"
Berkat kesigapan Naruto, Hinata tidak perlu terjatuh menghantam tanah yang berpermukaan hijaunya rerumputan. Naruto berhasil mengamankan Hinata dalam pelukannya.
Baik Sakura maupun Sasuke terkejut, keduanya berhenti melangkah, menoleh pada Naruto yang menggendong Hinata dengan panik.
"Sa-Sakura chan! Hinata… Hinata kenapa?"
Sasuke dan Sakura bergegas menghampiri Naruto. Refleks Sakura bertindak sebagai ninja medis, aliran chakra hijau mengalir dari tangannya pada Hinata.
Dahi yang tertutupi rambut merah merah muda itu mengernyit, ia merasakan aliran chakra Hinata tidak normal. Bukan aliran chakra-nya terhenti—jika terjadi seperti itu artinya mati—justru sebaliknya, mengalir deras dan bekerja aktif—entah kepada apa dan Sakura tak dapat menebaknya—hingga membuat Hinata yang memang kondisinya sedang tidak baik, jatuh sakit seperti ini. Atau mungkin hanya perasaannya saja.
"Hinata kelelahan dan banyak pikiran," Sakura memulai diagnosanya, "Ia demam dan butuh istirahat. Tapi, aliran chakra-nya tidak normal."
Sasuke memutar kedua bola matanya. "Tentu saja orang sakit aliran chakra-nya tidak normal."
"Tapi—"
"Sudah, sudah! Yang penting sekarang juga kita harus membangun tenda darurat yang lumayan aman dan dekat dengan sumber air!" Naruto menengahi.
"Aku akan mencari tempatnya. Sakura, kau buat ramuan obat saja untuk Hinata chan," instruksi Sasuke, tetap berkepala dingin.
Sakura mengangguk. Lalu ia kembali memandang pada Naruto. "Kau bawa Hinata, Naruto. Jangan sampai terjatuh. Sini biar kubantu!"
Dibantu oleh Sakura, Naruto memindahkan posisi Hinata agar bersandar pada punggungnya, kepala gadis itu terkulai di pundak Naruto, sementara kedua lengannya dilingkarkan di sekeliling leher pemuda berkulit tan itu. Sementara itu, Sakura melapisi Naruto dan Hinata dengan selembar kain yang agak panjang—entah darimana gadis itu mendapatkannya—lalu melilitkan seutas tali pada Naruto dan Hinata. Supaya Hinata tidak semudah itu terjatuh dari punggung Naruto.
Dan Sasuke membawakan tas punggung Naruto serta menenteng tas Hinata. Ketiga remaja yang tergabung di tim tujuh itu bekerja dalam bisu, hingga pekerjaan mereka tuntas.
Pekerjaan yang sebenarnya tergolong ringan itu makan waktu hingga malam menyelebunyi hutan tempat mereka berlindung.
Naruto menidurkan Hinata di dalam tenda, mengganjal kepala gadis itu dengan tasnya sendiri. Lalu membiarkan Sakura menemaninya dan mengobatinya.
"Sakura chan, aku tinggal dulu, ya. Aku mau membantu Sasuke Teme mencari air dan kayu." Naruto bangkit berdiri dan keluar dari tenda.
"Iya," jawab Sakura pendek. Ia menyiapkan sebaskom berisi air dingin dari sungai yang sebelumnya dibawakan Sasuke. Lalu mencari-cari kain untuk dibasahkan ke dalam air dingin itu tapi tak menemukannya. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah saputangan hitam menyembul di balik saku jaket Hinata.
"Maaf, Hinata," gumam Sakura. Ia memakai saputangan yang lembab itu untuk mengompres Hinata.
Menyatukan kedua telapak tangannya, aliran chakra hijau mengalir melaluinya. Sakura berusaha mendeteksi penyebab aliran chakra pasiennya ini tidak terkendali derasnya.
"Ukh…"
Sakura mendesah lega mendengar erangan pelan Hinata. Senyum perlahan terkembang di wajah lelahnya. Ia membantu Hinata untuk duduk dan memberikan segelas air putih, meminta gadis di hadapannya untuk meneguknya hingga tak bersisa.
"Do-do-domo a-r-rigatou, Sakura," kata Hinata susah payah.
"Kau harus banyak istirahat, Hinata. Tidak baik terlalu memforsir diri," ujar Sakura dan membenarkan letak duduknya menjadi posisi formal.
Hinata mengangguk pelan. Ia kembali merebahkan diri berbantalkan tas Naruto—tentunya Hinata tidak mengetahui tas yang menjadi mengganjal kepalanya adalah milik Naruto, merapatkan jaketnya dan memejamkan mata.
"Hinata…." Panggil Sakura, "boleh aku bertanya sesuatu?"
Tirai kelopak mata yang menyembunyikan iris sewarna lavender itu terangkat sedikit, balas menatap lemah pada gadis refleksi musim semi yang tertekan karena sesuatu.
"Silakan, Sakura."
"A-apa kau… menyukai Sasuke kun?" tanya Sakura, sama sekali tidak menyembunyikan kekhawatirannya.
Merasakan kepalanya seakan dihantam palu godam, dan pandangannya berkunang, Hinata menggeleng-geleng kecil—berusaha tidak menghiraukannya. "Te-tentu saja, Sakura."
Hancur.
"Ta-tapi bukannya kau mencintai—"
Hinata yang baru menyadari jawabannya disalahartikan Sakura buru-buru menambahkan, "Aku menyukai Sasuke kun… aku menyayanginya seperti kakak sendiri."
Sakura bungkam. Hening menggantung di antara mereka. Hanya suara gemericik aliran di hilir sungai yang mengisi kesunyian.
"Bagaimana kalau ternyata Sasuke kun mencintaimu dan ia tahu bahwa perasaanmu terhadapnya sesungguhnya kosong? Apa kau tidak tahu jika ia bisa saja terluka?" nada suara Sakura perlahan meninggi.
"Apa pun yang terjadi, bagaimanapun perasaanku, kami tetap akan menikah," jawab Hinata sendu.
"Mengapa kau tak menolaknya? Aku tahu kau berani untuk itu. Dan… aku tahu resiko jika kau menolaknya." Sakura mendesah kecewa. "Aku tidak bermaksud menyinggung, tapi… kau menyakiti banyak hati. Termasuk dirimu sendiri."
"Aku mengerti," ucap gadis yang merupakan adik sepupu Neji itu, "justru mungkin akan lebih banyak derita dan kesakitan jika aku justru menolak." Hinata menundukkan kepala dalam-dalam.
"Boleh aku meminta sesuatu?"
"Boleh, Sakura san."
"Aku minta maaf—aku tahu permintaan ini sangat egois. Walaupun kau punya status apa pun dengan Sasuke kun, tapi… tolong jauhi dia—"
Hinata hampir saja menganggukkan kepala lagi, ketika Sakura melanjutkan, "—dan tolong jauhi Naruto."
Keterkejutan menerpanya. Sampai-sampai Hinata berusaha duduk berhadapan dengan Sakura—yang segera membantu pasiennya untuk duduk.
Sorot mata Hinata bertanya mengapa. Mengapa ia harus menjauhi Naruto? Tanpa perlu ia menyuarakannya, Sakura kembali angkat bicara.
"Kau juga menyakitinya. Kau tahu itu?" tanya Sakura pelan.
Hinata termanggu. Mata lavendernya yang berkaca-kaca menyorot sedih akan kekecewaan. Ia menyakiti Naruto? Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menyakiti seseorang—siapa pun itu—yang dicintainya.
"Be-benarkah? Me-mengapa?" tanya Hinata, lebih kepada dirinya sendiri.
Sakura mendesah. Sebelah tangannya terangkat, menyisir asal rambut merah mudanya. "Jangan katakan kau tidak menyadarinya."
Hinata dan Sakura bertatapan, bertukar pandangan, menyadari bahwa mereka terluka karena hal yang sama. Sama-sama bersedih.
"To-tolong… jangan, Sakura san," pinta Hinata lemah.
Diam-diam gadis refleksi musim semi itu terkesiap—namun ia dapat menguasai diri dari keterkejutan dengan baik. Kecerdasannya membuatnya dengan kilat menyusun suatu rencana sederhana, bertujuan untuk kebaikan Hinata.
Sakura hanya ingin mengetahui kejujuran terdalam Hinata.
"Kenapa? Ada apa dengan Naruto? Kau sudah punya Sasuke kun." Sakura tertawa dibuat-buat. Kunoichi itu membuang pandang.
Hinata terdiam. Perkataan Sakura memang ada benarnya. Gadis itu berhasil memojokkannya. Dan Hinata tidak tahu mengapa Sakura melakukannya.
"A-aku…tidak ingin berjauhan dengan teman—" Hinata mencengkeram tepi lengan jaketnya erat-erat. "—yang seperti Naruto kun. Di-dia sangat baik."
Teman? Gah. Kebohongan yang sangat 'manis'. Bocah polos saja tahu kau berbohong, Hinata. Batin Sakura gemas.
"Bu-bukankah aku sudah pernah mengatakan—" Sakura mengepalkan kedua tangannya di atas lutut dari kaki yang terlipat. "—jangan plin-plan seperti ini, Hinata?"
Hinata menggigit bibir bawahnya dalam-dalam. Pandangannya kian lama makin diburamkan airmata. Sesak, ya, hati ini rasanya amat sesak.
"Jahatkah aku mengatakan bahwa kau serakah?" tanya Sakura, suaranya bergetar hebat. "Siapa kau, Hinata?"
Tiada respon.
"Siapa kau hingga membuat seseorang yang paling kucintai dan sahabat yang paling kusayangi jadi sangat perhatian padamu?" Sakura membiarkan dirinya menangis—menunjukkan sisi terapuh dalam dirinya. Airmata mengalir deras tak tertahankan dari mata hijaunya. "Mereka tidak lagi peduli padaku! AKU CEMBURU PADAMU! Tidakkah kau menyadarinya? Dan sekarang aku hanya meminta—aku tahu kau akan menjadi istri Sasuke kun—setidaknya tolong jauhi Naruto, kau menolaknya! Kenapa? KENAPA?" teriak Sakura sedih.
"Aku tidak bisa, Sakura san…" bisik Hinata dengan suara serak. "Jangan berpikir bahwa berdekatan dengan seseorang yang tidak kita cintai itu mudah—apalagi sampai ke jenjang pernikahan. Dan siapa yang tidak sedih—setelah sekian lama menunggu untuk berdekatan dengan seseorang yang dicinta, ketika kesempatan itu datang, harus musnah karena kami harus menjaga jarak? Aku harus menjauhinya… dia yang kucinta, Sakura san…"
Sakura mengangkat kepalanya, melihat buliran bening berjatuhan dari sepasang mata beriris lavender, bertetapan ketika mata itu bertemu pandang dengannya. Kedua gadis kembang desa itu sama-sama berurai airmata.
"AKU MENCINTAI SASUKE KUN!" isak Sakura kencang, hanya perasaan itulah yang sedari dulu berputar-putar terpendam di hatinya. "Tidak, Hinata… mengapa mesti kau? Aku menanti sejak kecil—dilamar Sasuke kun—karena itu impianku!"
"A-aku—"
"—sekarang kau justru merebut mimpiku, menjauhkan Sasuke kun dariku, bahkan mendapat simpati dari Sai, dan menyita perhatian Naruto! Apa maumu, Hinata? Aku akan memberikannya asal bisa bertukar posisi denganmu! APA?"
"—a-aku ti-tidak—"
"—Katakan saja—"
"AKU MENCINTAI NARUTO KUN!" jerit Hinata pilu. Isak tangis akhirnya pecah. Disekanya wajahnya yang bersimbah airmata, berusaha meredakan tangisannya.
Menahan tangisnya, meski terbata-bata Hinata tidak kuasa menahan sesak di dadanya. Ia menceritakan alasan terkuatnya pada Sakura, mengisahulangkan semua peristiwa yang dialaminya.
Sakura—yang seumur-umur tidak pernah diteriaki Hinata—terperangah tak percaya. Rencananya berhasil, asumsinya tak salah. Namun sesuatu bagai belati berkarat menikam hatinya, menoreh luka seakan dicucurkan cuka. Perih. Ternyata, Hinata benar-benar mencintai Naruto… Sakura telah mengetahuinya usai Hinata menceritakan semuanya.
Jeda sejenak, suaranya ditelan kesunyian.
"Kami Sama… apa yang telah kulakukan?" bisik Sakura sedih. "A-aku—astaga… Hinata… sungguh, maaf…" racaunya tak jelas.
Hinata tersentak ketika merasakan genggaman erat di kedua tangannya, gadis itu mendongak. Menerima seulas senyum hangat—kendati terlihat sendu—dari Sakura. Hinata balas tersenyum lemah. Dan kedua gadis itu berpelukan, tertawa kecil mengasihani diri sendiri, berbagi airmata bersama.
Selesai sudah perang dingin yang sempat berlangsung.
"Pe-perkataan Sakura san di rumah sa-sakit wa-waktu i-i-itu benar," kata Hinata, setelah tawa yang bercampur isak tangis mereda. "…kau menyadari aku menyayangi Naruto kun."
Sakura terkikik—susah payah di sela tangisnya yang tak kunjung usai. "Ka-Katsuyu Sama—hewah panggilan Tsunade Shishou—yang mengatakan itu padaku. La-lalu saat aku mengobatimu, kau tersadar dan aku melihat kau lega sekali mendengar bahwa Naruto baik-baik saja. Tiba-tiba aku merasa bodoh sekali dan tidak peka seperti Naruto karena tidak menyadari kau yang mencintai si bodoh itu."
Kedua gadis yang saling berbanding terbalik itu saling melepaskan pelukan, menyeka airmata masing-masing, dan kembali tertawa kecil. Aneh. Tentu saja, mereka sedih perihal cinta yang seperti bercermin itu. Tetapi pertikaian tak bernama yang baru saja usai, serta persahabatan yang baru saja terjalin, bagai meringankan segalanya. Membuatnya segalanya terlihat lebih mudah.
Masing saling bergenggaman tangan, sepasang sahabat itu berbagi cerita seakan mereka teman lama yang berjumpa kembali. Menukar waktu yang terlewat sia-sia akibat emosi mereka yang labil sesaat.
"Maafkan aku, Hinata…" sesal Sakura. "Andai kau mau bercerita alasanmu sebenarnya menerima Sasuke kun, pasti tidak akan begini jadinya. Ah, entah mengapa aku jadi merasakan dilema, antara bahagia karena Sasuke kun telah kembali atau—"
"—Tidak apa. Maafkan aku juga yang membuatmu cemburu. Sungguh aku tidak bermaksud begitu, Sakura san." Jeda sejenak, Hinata kembali melanjutkan, "Bo-boleh aku minta sesuatu?"
"Tentu saja. Asal kau tidak minta dibukakan masker Kakashi Sensei saja," gurau Sakura. Seketika kedua gadis itu terkikik bersamaan.
"Tolong rahasiakan pembicaraan kita dari siapa pun. Hanya antara kita saja," pinta Hinata, penuh harap.
Sakura menimbang-nimbang sesaat. "Bagaimana kalau aku kelepasan bicara?"
"Tidak akan."
"Kau yakin sekali, Hinata."
"Aku percaya Sakura san."
Seperti ada sesuatu yang menghangatkannya mendengar perkataan Hinata, Sakura mengangguk. "Tentu. Aku juga percaya kau tidak akan menceritakannya pada siapa pun."
"Terima kasih," ucap Hinata tulus.
"Terima kasih kembali." Sakura tersenyum lebar. "Ah, ya. Kita impas!" cetusnya gembira.
Hinata ikut tersenyum senang sekaligus lega. Sakura memeluk Hinata gemas, dan mereka tetawa lagi. Belum pernah putri ningrat keturunan Hyuuga itu tertawa seperti ini, ketika bersama Sakura, temannya.
"Tenang saja, Hinata. Kita akan saling melindungi dari kedua cowok menyebalkan yang menyiksa kita—walau tidak langsung—dan menggantung cinta kita!" seru Sakura berapi-api tatkala mereka melepas pelukan masing-masing.
Hinata tidak membantah, hanya tersenyum geli disertai anggukkan.
Benang kepercayaan antara sahabat, antara sesama wanita yang digantungkan cintanya, terjalin. Baru permulaan, namun tak tersanggahkan.
.
#~**~#
.
Baik Naruto maupun Sasuke merasakan atmosfer benar-benar telah berubah dari Sakura—yang semula menebarkan aura masa depan suram—dan Hinata—yang terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Itu sisi positifnya.
"Kau sudah sembuh, Hinata?" tanya Naruto, mendekati Hinata yang sedang duduk diam di api unggun dan menyantap makanannya.
Sakura cepat-cepat menghampiri Hinata. "Memang kau tidak lihat dia baik-baik saja, Baka Naruto?" tanyanya ketus, tapi matanya mengedip nakal pada Hinata.
"Astaga… responmu tak perlu sekejam itu padaku, Sakura chan!" ucap Naruto dengan ekspresi memelas.
Hinata mengulum senyumnya. "Sakura san mengobatiku dengan baik, Naruto kun."
"Dengar kata Hinata, 'kan? Sekarang kau bisa pergi!" ucap Sakura, ia mengibas-ibaskan tangan dengan gaya mengusir. "Hinata tidak butuh gangguanmu! Kondisinya belum pulih sepenuhnya!"
"Lho, tadi katamu Hinata baik-baik saja, Sakura chan—"
Sakura mendorong-dorong Naruto menjauh dari Hinata. "—tidak tahu mengapa penyakitnya bisa tambah parah kalau ada kau, Naruto. Kau tidak mau Hinata tambah sakit, 'kan?"
"Tentu saja tidak, Sakura chan. Tapi—"
"—oh, tolonglah! Aku perlu bicara ANTAR WANITA dengan Hinata. Kau hanya mengganggu saja," ujar Sakura tajam.
Menciut di bawah tatapan galak teman setimnya, Naruto menatap memelas pada Hinata—meminta bantuan, sementara itu yang ditatap menjejalkan kepalan tangannya ke depan wajahnya—guna menahan tawa. Hinata menggeleng pada Naruto dengan seutas senyum meminta maaf.
"Gomen, Naruto kun."
Naruto terbelalak. Bisa-bisanya Hinata menyetujui Sakura… ada apa di antara kedua gadis ini?
"Sudah puas?" tanya Sakura, raut kemenangan menghias wajahnya. Naruto yang merasa kalah, lekas undur diri dari hadapan kedua gadis tersebut.
Naruto bersumpah, ia mendengar Sakura tertawa bersama Hinata—biarpun terdengar samar-samar.
"Ada apa, sih, dengan mereka berdua?" gerutu Naruto kesal, menghempaskan dirinya di sebelah Sasuke yang tak lepas mengawasi kedua gadis yang tiba-tiba saja berlaku misterius.
Tak acuh pada Naruto, Sasuke beranjak dari kayu gelondongan yang semula ditempatinya, meninggalkan temannya sibuk menggerutu. Ia mendudukkan diri di samping Hinata.
"Daijobou ka, Hinata chan?" tanya Sasuke pada calon istrinya.
Hinata mengerling Sakura, anggukkan tak kentara temannya itu tertangkap sepasang mata lavender miliknya. "Daijobou desu, Sasuke kun," jawabnya pelan.
Sakura mendudukkan diri di sela Hinata dan Sasuke dengan wajah tanpa dosa, Hinata menahan diri untuk tidak tersenyum geli. "Maaf, Sasuke kun," kata Sakura manis. "Bisakah kau tinggalkan kami berdua? Kami butuh bicara."
Sasuke baru saja mau membuka mulut menyampaikan protesnya, ketika Hinata menimpali perkataan Sakura, "Onegaishimasu, Sasuke kun."
Tak kuasa menolak, Sasuke pun berlalu tanpa mengatakan apa pun. Diikuti pandangan Sakura dan Hinata—disertai kikikkan geli keduanya.
Naruto menegakkan posisi duduknya tatkala Sasuke kembali duduk di sebelahnya, melanjutkan makan malamnya yang sempat tertunda. "Oi, kau diusir juga, Teme?"
"Mungkin."
Naruto mengerang kencang-kencang. Sasuke saja tidak berhasil mendekati Sakura dan Hinata, bagaimana dirinya? Sepasang mata birunya mendelik pada dua orang gadis yang duduk jauh di hadapannya, di seberang api unggun.
"Ada sesuatu yang terjadi, selagi kita tidak ada dekat-dekat mereka," gumam Naruto.
Sasuke yang mendengarnya, bertopang dagu. "Mungkin mereka berkonspirasi." Pemuda tampan itu mendengus menyamarkan tawanya melihat Naruto melongo tak mengerti di sebelahnya.
Lain kali, tolong ingatkan Sasuke agar berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti Naruto.
Pemuda berambut pirang itu tersenyum kecil. Senang rasanya melihat Sakura dan Hinata gembira seperti sekarang ini… siapa sangka bahwa di waktu lalu mereka sempat tak akur?
Ya, kendati sepertinya kedua gadis itu menjaga jarak dengannya—mungkin dengan Sasuke juga, tapi semua ini jauh lebih baik daripada kedua gadis itu yang bermusuhan. Yeah, harus diakui cewek-cewek bermusuhan itu jauh lebih ganas daripada cowok berantem.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan!" ajak Sakura, gadis refleksi musim semi itu berdiri diikuti Hinata.
Naruto dan Sasuke ikut berdiri, berpandangan bingung.
"Eh, bagaimana dengan Hinata?" tanya Naruto, mata birunya mengerling gadis yang disebutkannya. Masih terlihat pucat, tapi memang sudah lebih baik.
"A-aku baik-baik saja," jawab Hinata, berusaha meyakinkan teman-temannya. "Lebih baik kita berkemas sekarang juga."
"Lebih baik cepat sampai ke Konoha," kata Sasuke. Ia teringat janji untuk bertemu dengan Uchiha Madara.
Dengan demikian, mereka memutuskan untuk tak jadi bermalam di hutan. Melainkan melanjutkan perjalanan menuju desa Konoha meskipun makan waktu satu hari penuh.
.
#~**~#
.
Satu kali 24 jam yang melewati kemarin, tim lima berhasil mencapai Konoha dalam kurun waktu yang tak sesuai perkiraan; lebih cepat dari dugaan masing-masing. Usai melaporkan hasil misi pada Shikamaru dan Hokage yang nyaris menghabiskan tiga perempat hari, di suatu senja yang indah, kini mereka berkumpul kembali.
Tak ada yang tak merasa heran melihat Sakura dan Hinata bercengkerama akrab satu sama lain—terakhir kali mereka lihat keduanya seakan saling menjauh. Namun mereka dapat menepis dan menutupi kejanggalan itu dengan baik, termasuk kejadian ganjil di mana Sakura menarik Hinata menjauh dari rekan-rekan setimtujuhnya.
Para remaja itu berkumpul hanya untuk membahas misi terakhir yang dilaksanakan bersama-sama. Setelah perbincangan yang lumayan hangat, ninja-ninja asal Konoha tersebut membubarkan diri. Menuju tempat ringgal masing-masing, sesudah menekankan ancaman untuk Sasuke agar tidak macam-macam pada Hinata—mengingat keduanya tinggal serumah.
Seorang pemuda yang memiliki cita-cita menjadi Hokage membisu, mata birunya mengekori gadis lain yang berjalan di sisi sahabatnya. Bukan, ia tidak memandang sahabatnya, melainkan gadis itu. Gadis yang menarik perhatiannya, yang akhir-akhir ini membuatnya menderita detak jantung di luar batas normal.
Entah mengapa, mata birunya menyorotkan rasa kehilangan, seolah pemuda tersebut menelan kekecewaan mendalam. Seuntai firasat buruk singgah begitu kilat namun secara berkala memenuhi hatinya.
Secuil ketidakrelaan melandanya. Enggan rasanya untuk meninggalkan Hinata malam ini, sendirian di klan Uchiha. Tidak, bukannya ia tidak mempercayai Sasuke, hanya saja…
"Ada apa, Naruto?"
Pertanyaan gadis manis berambut pink itu mengusik lamunannya. Fokus pandangnya teralih pada temannya, dilihatnya sepasang mata hijau melayangkan pandangan tanya padanya.
"Untung saja kau tidak punya sharingan, Naruto," ucap temannya yang satu lagi; Sai.
Dengan berat hati, dialihkannya pandangan pada Sai. "Dan memangnya kenapa kalau aku memiliki sharingan?"
"Kukira kau pasti sedang berada dalam mode mangekyou sharingan, lalu menyebutkan jurus "Amaterasu", mengobarkan api hitam itu pada Hinata san." Sai tersenyum. Sungguh, hal yang paling dibencinya dari Sai adalah senyum atau seringainya yang menyebalkan. "Kau terlalu serius memandanginya. Katanya tadi ingin cepat pulang, makan ramen terus tidur."
"Tch." Naruto berdecak. "Sepertinya kau benar-benar sudah mengantuk, tertidur sambil berjalan, menceritakan mimpi tentang aku yang memelototi Hinata, membakarnya dengan Amaterasu karena tiba-tiba aku memiliki mangekyou sharingan. Haha, lucu sekali, Sai," balas Naruto, sedikit sinis.
"Hai', hai'~" Sakura melerai kedua temannya, tepatnya menjauhkan Naruto yang menghujamkan tatapan sengit pada Sai—yang membalasnya dengan senyum anehnya. "Kita sama-sama sudah capek. Butuh istirahat. Lebih baik cepat pulang, mandi air hangat, makan lalu tidur."
"Oke, Sakura chan." Naruto nyengir lebar.
"Oi, jangan mendadak mengubah ekspresi begitu," ujar Sai, "aku jadi takut."
Naruto mencibir. Ditutupnya kedua daun telinganya dengan sepasang telapak tangan berkulit tan miliknya. "Tidak dengar apa pun yang dikatakan Sai no Baka. Tidak dengar."
Sakura terkikik geli. Kini Sai tertawa kecil. Keduanya sama-sama tergelak melihat Naruto yang menggerutu sambil menutup telinga, berlalu meninggalkan keduanya tanpa basa-basi.
Mungkin, hanya perasaannya saja. Toh, Sasuke dapat menjaga Hinata dengan baik, bukan?
.
#~**~#
.
Hinata berjalan santai menuju kamar Sasuke, hendak memberitahukan pemuda itu bahwa air mandinya telah siap. Sampai akhirnya, langkahnya terhenti ketika sedikit konversasi merangsek pada gendang telinganya.
Suara itu… suara yang teredam di balik topeng. Hinata merapat pada dinding. Disembunyikan aura chakra-nya. Cepat atau lambat mungkin akan dapat terdeteksi—tak mungkin seseorang sehebat Madara Uchiha tidak menyadarinya, tapi ia bisa sedikit mengulur waktu.
"Kita harus secepatnya menginvasi Konoha terlebih dahulu. Lalu menghimpun bala bantuan untuk melaksanakan proyek Tsuki no Me (*), sebelum si Pewaris muncul. Kalau bisa, kita bunuh Pewaris tersebut."
Oke, sekarang alur pembicaraannya mulai tidak dimengerti oleh Hinata.
"Jika kau sudah lupa, biar kuingatkan. Kita tidak tahu siapa pewaris yang dimaksud. Bagaimana bisa membunuhnya jika kita tahu posisinya berada di mana?"
Pertanyaan yang sesuai nalar, benar-benar seperti Sasuke si Jenius dari klan Uchiha.
"Fenomena kemarin, Sasuke. Gejala alam yang menunjukkan bahwa dia telah bangkit."
"Kenapa tidak mengajak dia menjadi sekutu kita, Madara?"
"Berpikirlah logis, Sasuke! Kita tidak tahu dia ada di mana, atau dia itu tepatnya siapa. Mungkin memang benar; dia tidak berada di Konoha. Kita hanya buang-buang waktu di sini."
Siapa pun dia, si pewaris yang disebut-sebut, orang itu jelas dalam bahaya! Pikir Hinata.
"Ah, satu lagi. Kita tidak bisa terus menunggu. Kau harus memiliki keturunan darinya, mengambil kekuatan matanya, dan pulih secepat mungkin, Sasuke."
"Hn." Itu dia respon Sasuke yang biasanya.
Segala asumsi dan prasangka berputar di benaknya. Diakah yang dibicarakan? Tu-tunggu, apa Madara baru saja menyuruh Sasuke untuk—secara tidak langsung—memperkosanya? Hih, mengingat dirinya menolak dinikahkan cepat-cepat.
"Karena gadis Hyuuga itu mungkin saja akan menyadari rencana kita, tidak baik jika dia berada di dekat kita. Secepatnya, bungkamlah dia, Sasuke!"
"Hn."
"Lusa. Operasi invasi Konoha dimulai. Mumpung dunia ninja sedang lunak dan lengah terhadap kita."
"Hn."
Lalu suara-suara percakapan lenyap menjadi berpamitan, sepertinya Madara ingin memastikan invasi pihak mereka terhadap Konoha kali ini akan berhasil ketimbang yang dilakukan Nagato.
Hinata tidak lagi berusaha mencuri dengar. Yang ada di benaknya, sekarang juga ia harus memberitahukan rencana licik Madara pada Konoha, pada dunia ninja. Sebelum semuanya terlambat. Peduli setan dengan sekujur tubuhnya yang seakan menjerit karena diforsir olehnya, masih tersisa sedikit rasa sakit pasca perjalanan mencari tahu tentang fenomena waktu itu. Dan saat ini juga, dia harus keluar dari kompleks klan Uchiha, apa pun yang terjadi dan bagaimana pun caranya.
'Aku tidak percaya… bagaimana bisa, Sasuke kun…?' batinnya menyuarakan tanya.
Gadis yang identik dengan warna ungu itu berhenti mengendap-endap, lekas berlari menuju kamarnya, mengemasi barang-barangnya di keremangan malam. Tidak berani menyalakan lampu, takut jika Sasuke atau Madara sampai menyadari ia ternyata telah mengetahui rencana mereka.
Suara pintu dibuka, lalu menutup. Hinata mematung. Dengan gerakan patah-patah karena takut, dialihkannya tatapan pada seseorang yang telah memasuki kamarnya.
Hanya ada mereka berdua.
Hinata jatuh terduduk, masih tersengal-sengal. Matanya tak berkedip memandang sosok regal di kegelapan malam.
"Apa yang kaulakukan, Hinata chan? Mencoba kabur, eh?"
.
To be continued
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
(*) Tsuki no Me: proyek Uchiha Madara untuk membuat bulan menjadi serupa mata sharingan. Sehingga dunia tunduk di bawah kuasa Uchiha. Silakan cek manga Naruto aslinya.
Mungkin nanti akan ada modifikasi dari saya mengenai Tsuki no Me. Trims untuk Mbah Kishi. X)
Well, nggak dua chapter, tapi lumayan panjang, bukan? Dan ada banyak hints untuk chapters berikutnya. #nyengir
Saya berusaha supaya fic ini berjalan seperti alur manga Naruto, kisah percintaan dibarengi aksi ninja. Yah, mudah-mudahan nggak terlalu buruk apalagi membosankan. Pun bila ada kekeliruan lain, dengan senang hati silakan koreksi saya. ^.^a
.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca dan meninggalkan 'jejak'. Kritik dan sarannya selalu dinanti. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan (LoL)