AN: Oke... Ini hanya cerita iseng yang sayang kalo ga dipublish... Lagi berusaha ngebalikin sense nulis ala Pheromones... Susah gilak!

Warning : OC, OOC, AU. Fanfic ini hanya main-main (tapi bukan berarti asal). Pretty much PWP. Ketidak akuratan informasi tentang perhotelan.

Pairing: NetherxIndo. USUK. GerIta. GreeceJapan. Spamano. ChinaKorea. PruAusHun. SweFi. DenNor. IceSealand.

Standard Disclaimer Applied

.

.

.

Selamat datang di Asian Hotel, para tamu!

Kami akui, mata anda sungguh jeli! Anda tidak salah memilih brosur di biro travel! Benar, brosur pink dengan motif kembang-kembang emas Bolywood itu adalah brosur hotel kami.

(Sebenarnya kami sendiri bingung kenapa anda justru memilih brosur yang itu)

Hotel kami telah teruji kualitasnya. Kami memiliki fasilitas lengkap, tentunya. Yang paling terkenal adalah France Restaurant yang terletak di lantai teratas, dimana candle light dinner yang romantis telah menjadi tren tersendiri, apalagi di kalangan pasangan yang mau cerai. Atau anda ingin bersantai sejenak melepas penat di Japanese Onsen? Tidak masalah, dari kolam bubuk belerang sampai kolam lumpur Lapindo siap dipilih (yang terakhir diimpor langsung dari Porong).

Atau anda ingin memesan sesuatu? Mulai dari selimut penahan dingin sampai 'selimut' penahan kesepian, tinggal angkat telepon dan serahkan semuanya pada Scandinavian Room Service. Dengan harga bervariasi, tergantung pegawai yang sedang bertugas dan apakah anda menggunakan Esia.

Anda senang, kami puas.

(Pssst, saya sarankan anda memesan room service saat pegawai bernama Finland bertugas. Niscaya anda bisa menghemat sampai setengah uang tip, itupun dengan bonus senyuman ramah sebagai free service. Sebaliknya, jika anda memesan pada hari Rabu, pegawai kami yang bernama Norway –yang bahkan kami akui sendiri sangat matrean– akan memberlakukan PPN 10% belum termasuk ongkos kirim.)

Tidak hanya fasilitas, pegawai kami pun sudah terjamin kualitasnya! Pertama-tama, para bell boy kami akan menyambut anda di pintu depan dengan ram–

"KURANG AJAR KAU! BAJ-piip-! AN-piip-! BAB-piip-!"

...

... Baiklah, salah satu dari bell boy kami memang seperti elpiji; mudah meledak dan menimbulkan korban jiwa.

.

.

TRAPPED BELLBOY

Prologue

.

.

Jika anda mendefinisikan China, sang manager, sebagai seorang ramah dan anda masih waras, pilihannya cuma dua : Anda tamu, atau sang pemilik hotel itu sendiri. Ah, anda bukan karyawan Asian Hotel? Berarti itu wajar, karena di mata masyarakat awam China memang seperti manager hotel pada umumnya : ramah, profesional, dan keibuan. Terutama model rambutnya yang sedikit mengingatkan pada ibu-ibu tukang jamu–tapi jangan mengungkit hal ini kalau belum mau mati, bahkan walaupun itu benar. Beberapa pegawai sudah mengalami akhir yang tragis–. Dia adalah tipe atasan yang memeluk hangat kalau ada pegawai depresi, tapi bisa mendadak tuli kalau ada yang minta naik gaji.

Tapi seperti juga manajer pada umumnya, China cukup saklek pada prinsip perdagangan kuno bahwa tamu-adalah-raja/ratu/kaisar/sultan/presiden/dipertuan agung (tergantung tamu tersebut dari negara mana dan negara itu menganut paham politik apa). Pegawai yang berlaku kasar dengan tamu sama berdosanya dengan berzina di Arab –bedanya pegawai tersebut tidak akan diarak-arak keliling kampung. Apalagi jika si pegawai sampai melukai sang tamu..

Demi Tuhan, mahluk kafir itu akan segera dijebloskan ke neraka jahanam.

"Jadi, aru.", pandangannya menusuk, nadanya berbisa ke arah si pegawai bermasalah . Kalau metafora bisa membunuh, sang bell boy pasti sudah mati dengan tubuh menggelepar dan tubuh-tubuh telah bergelimpangan. "Bisakah anda jelaskan kenapa tamu tadi yang bahkan belum check-in kembali pulang dengan ambulans, aru?"

Yang bersangkutan – bellboy berkode nomor 03 hanya diam saja dan memajukan bibirnya lima senti.

"Tentunya kau punya alasan melakukannya, aru?"

Sang bellboy lebih tertarik dengan tali sepatu si manager.

"Ceritakan saja, aru. Aku ini kan bosmu."

Sang bellboy lebih tertarik dengan kaus kaki si manager—Kaus kakinya Hello Kitty?

"Hei."

Sang bellboy lebih tertarik dengan celana si manager.

Sadar dicuekin, China langsung mengeluarkan senjata terampuhnya. Oh bukan, itu bukan pecut kuda. Senjata terampuh para atasan: "... Atau kupotong gajimu agar kau bicara, aru?"

"Jangan, Pak!".

Bingo.

Indonesia, sang bellboy yang dari tadi melakukan aksi bungkam, langsung buka suara. Potong gaji di jaman krismon begini lebih membunuh daripada ditabrak bemo! "Masa dipotong lagi, pak? Gaji saya habis dong!"

Hati sang pemuda menjadi galau. Gaji sekecil itu masih kena diskon? Gila! Mandor pabrik saja tidak sekejam ini pada buruhnya. Lebih baik sekalian saja dia kerja UKM, membuat tas cantik dari bungkus bekas rinso (dengan ekstrak wangi lemon). Lebih produktif dan berguna bagi bangsa, negara, juga mengurangi sampah lingkungan.

Itulah fakta kehidupan seorang bellboy. Walau memakai seragam merah-emas dan celana yang ketat seksi – oke, terkadang terlalu ketat sehingga memberikan informasi tambahan pada para wanita yang sedang mencari suami, tapi itu urusan lain– , dalamnya sama merana dengan kuli.

"Saya kan korban, Pak!", protesnya tidak terima. "Itu upaya membela diri, harusnya saya dibebaskan dari pidana!"

Benar... Dia kan korban! Laki-laki normal mana yang tak murka kalau pantatnya diremas om-om gay? Dan bukan salahnya memiliki bokong sensitif bak gadis perawan—ditambah gerak cepat mengenai sasaran.

Demi Tuhan, melempar koper itu cuma refleks.

.

.

Kejadian naas ini bermula sejam lalu.

Seperti hari-hari sebelumnya, trio bellboy yang terdiri dari tiga pria single abadi alias Indonesia, Malaysia dan Thailand—Oke, coret Thailand. Dia punya pacar sekarang. Dasar pengkhianat!— bertugas menyambut tamu di depan. Pekerjaan mereka terdiri dari ber-'senyum pedagang', membuka pintu mobil yang datang, mengatakan 'Welcome to Asian Hotel!' dengan hangat mengundang, menurunkan muatan, lalu membawanya ke kamar tamu. Simpel, walau terkadang bisa jadi neraka kalau tamunya artis –sekedar informasi, bagi artis membawa satu lemari pakaian itu wajar. Dan kalau dibilang satu lemari, benar-benar satu lemari. Oh, bahkan walaupun artisnya berasal dari Holywood sekalipun takkan mengurangi derita di punggung para bellboy–. Kalau sedang beruntung kadang-kadang tamu yang loyal akan memberikan tip –dan definisi loyal bervariasi mulai dari 'memang dermawan' sampai 'pamer dompet Prada di depan rekan bisnis', apapun alasannya yang pasti para bellboy akan selalu menyambut momen tersebut dengan suka cita–.

So far so good. Apalagi pekerjaan ini terjamin aman dari marabahaya, perkecualian hotel mereka jadi ajang jihad para teroris. Syukurlah, Asian Hotel tidak terkenal sebagai sarang zina.

Tapi pekerjaan yang seharusnya selalu dijalankan dengan sukacita, riang gembira bak anak gembala, bisa berbalik jadi ajang pelecehan. Yah tahu kan, orang kaya kadang arogan. Seperti di sinetron, minus sang tokoh utama dan pacarnya ternyata kakak-adik dan tidak ada adegan menangis di bawah hujan.

.

Satu mobil masuk—BMW hitam tanpa iringan polisi dengan plat B, menandakan calon tamu dari kalangan menengah ke atas (dan tinggal di Jakarta). Thailand membuka pintu mobil sambil ber-'senyum pedagang', lalu ber-'Welcome to Asian Hotel!' seperti biasa. Walaupun cuma dibalas dengan dengus napas bau dan asap cerutu Havana dari calon tamu mereka, Thailand tetap tersenyum. Itulah ciri bellboy profesional, bau mulut cukup pakai Listerine. Tak membuat gentar.

Dan sang penjahat-asusila-berkedok-tamu pun keluar dari mobil dengan lagak penting. Ditilik dari berbagai bukti yang ada dan pengalamannya melihat tingkah polah para pelanggan (mulai dari sekelas menteri sampai secetek pasangan bulan madu), tamu yang satu ini pastilah pejabat penting suatu perusahaan yang korupsi lebih besar dari gajinya. Paling kesini cuma mau menemui selingkuhan. Atau klien bisnis. Atau selingkuhan merangkap klien bisnis.

"Sekretaris saya mana?"

Malaysia ber-'senyum pedagang'. Mencuri start, siapa tahu dapat tip lebih. "Sepertinya belum datang, Pak. Memang sekretarisnya kemana?"

"Karena saya ga tau makanya saya tanya, bodoh!", si om tua berkata dengan arogan, lalu membuang hisapan cerutunya tepat di wajah Malaysia.

Twitch.

Indonesia dengan kejamnya ingin tertawa di atas penderitaan Malaysia, tapi bersyukurlah dia kakak baik hati dan gemar menghapal UUD. Dia menjawab mewakili adiknya (yang butuh waktu menyembuhkan shock karena menghirup bau mulut om-om– astaga, apakah yang mengalir itu air mata?), "Bagaimana kalau anda check-in dulu, Pak?"

"Tolol, saya cari sekretaris saya, bukan mau check-in!"

Double twitch.

Thailand, menyadari badai yang akan menghadang, langsung mengambil alih situasi. Di antara mereka bertiga, sepertinya hanya Thailand yang dianugerahi kesabaran selayaknya manusia normal."Suite lantai teratas untuk Bapak?", tawarnya dengan senyum sejuta dollar (walau aslinya hanya berharga lima juta rupiah per bulan dengan THR di hari raya).

"Oh, oke. Apa boleh buat.", sang tamu berwajah kodok itu menghisap lagi cerutunya dalam-dalam, dan menghempaskan napas baunya dengan biadab. Dan para relawan Greenpeace pun menangis karena udara terkotori. "Sebenarnya saya tidak mau di hotel jelek begini. Walau memalukan, apa boleh buat. Terpaksa."

Triple twitch.

Satu-satunya yang cukup profesional dan bertahan dengan 'senyum pedagang' cuma Thailand, itupun dengan aura hitam mulai menguar di udara. Kedua rekannya ngeri. Thailand jarang marah, tapi sekalinya marah minimal ada satu meja patah dan dua korban jiwa –oke, sekalinya itu dia marah memang wajar karena menyangkut keselamatan orang banyak. Dulu Indonesia-Malaysia pernah berebut menekan tombol merah seksi bernama fire alarm dan begitu tersadar, ada meja melayang ke arah mereka–.

Untunglah kali ini dapat dilalui tanpa bantingan meja. Thailand buru-buru permisi masuk, meninggalkan kedua rekannya dengan si tamu berwajah kodok – saking miripnya, Indonesia cuma bisa dengar ribbit ribbit ribbit setiap kali dia ngoceh.

Kedua bersaudara langsung sepakat tanpa kata-kata untuk menurunkan barang. Terkadang, satu bencana besar membuatmu klop dengan musuh. Mereka membuka bagasi , dan memucat. Astaga... Kalau artis bisa dimengerti, tapi om-om biasa buat apa butuh tiga koper? Mau ngungsi?

Dibantu supir, mereka menurunkan salah satu koper dengan menerapkan asas gotong-royong.

Lebih berat daripada gajah hamil.

Indonesia melihat mata Malaysia berkaca-kaca. Matanya sendiri juga berkaca-kaca. Cuma si supir yang tetap tegar, sepertinya dia sudah terbiasa memanggul-manggul bawaan majikan kodoknya itu. Pria hebat.

(catatan mental bellboy kode nomor 03 dan 07 : menulis di kotak saran hotel agar ada limit batas angkut bawaan)

Dan mulai dari sini segalanya memburuk. Si om kodok bercerutu Havana sepertinya bosan melihat penderitaan tiga orang yang mengurus bawaannya, sehingga dia memutuskan untuk 'sedikit mengobrol' . Kalau dirimu sudah jadi pria paruh baya, terkadang hasrat untuk 'sedikit mengobrol' di saat bosan memang jadi sulit dikendalikan.

"Hey, kalian berdua.", nadanya heran. "Saudara, ya?"

"Iya, Pak.", Indonesia menjawab manis– semanis yang dibisa kalau kau sedang berusaha menurunkan koper seberat gajah asia yang punya bayi kembar di perut. Meski tidak bisa dibilang mirip banget bagai pinang tidak dibelah, tapi lekuk-lekuk melayu di wajah mereka memang sama kental.

"Kakaknya siapa?"

"Saya, Pak."

"Kok, gagahan adikmu?"

Butuh segenap pengendalian diri Malaysia agar tidak tertawa. Butuh segenap pengendalian diri Indonesia agar tidak adu sundul dengan sang tamu.

"B-Begitu ya, Pak?", suaranya bergetar.

"Iya,", si tamu membenarkan dengan polos, tidak sadar sudah memercik minyak ke api dendam seorang pria sejati yang terlecehkan. "Wajahmu kemayu, soalnya. Jangan-jangan banci?"

Banci.

Banci.

B A N C I.

Oh Tuhan, semoga kodok jahanam ini terjerumus ke dasar neraka dan merasakan azab yang pedih. Amin.

"T-Tentu bukan, Pak.", suaranya makin bergetar. Malaysia, yang sudah cukup hapal aura kakaknya kalau mulai kalap, hanya bisa mencelos. Kakaknya kalau gelap mata suka melakukan hal-hal bodoh –seperti melempar pisau daging pada adiknya sendiri di dapur hotel, yang sayangnya meleset dan menancap di cake pengantin tak berdosa untuk acara nanti malam, tapi itu cerita lain.

"Ah, masa?", si om mendekat, keputusan yang akan disesalinya sejam kemudian. Mendadak nadanya iseng. "Kalau begitu bagian sini kok 'ranum' sekali? Makannya apa, jeng manis?"

Gyut.

Apa itu yang ada di pantatnya?

Oh, tangan si tamu. Oooh.

...

Otak Indonesia langsung korslet.

SEDANG APA TANGAN ITU DI PANTATNYA?

1. Ada nyamuk nempel dan si tamu berbaik hati mengusirnya agar dia tidak kena DBD.

2. Celananya berdebu dan si tamu menepuknya biar bersih.

3. Tangan kotor si tamu meper di celananya dengan tidak sopan.

4. Dia baru saja jadi target bapak-bapak homo.

Indonesia bergetar hebat dari atas sampai bawah. Mimpi apa dia semalam, dilecehkan kodok berkedok manusia? "P-Pak, bisa anda singkirkan tangan anda?"

Si om tidak sadar ajalnya telah mendekat, sehingga dia makin menjadi-jadi dengan suara menggoda, "Sepertinya kamu boleh juga. Semalam sepuluh juta, masih perawan kan?"

Gyut gyut.

Awan mendung pun datang.

"Kalau tambah service, saya naikkan jadi tiga belas juta."

Gyut gyut gyut.

Ctaaaar.

.

Sepersekian detik kemudian, diiringi ratapan horor pak supir dan derak mengerikan tengkorak pecah, sebuah koper melayang tepat ke kepala, dan Malaysia cuma bisa bengong melihat saudaranya menjelma jadi Hulk (dalam seragam bellboy).

"KURANG AJAR KAU! BAJ-piip! AN-piip-! BAB-piip-!"

Bunyi ambulans memeriahkan satu hari di Asian Hotel.

.

.

Selesai bercerita (dalam versi diperhalus, dengan penyensoran pada kata-kata kasar), sang manager hanya terdiam.

"Indonesia... ", China bergumam pelan. "Pasal satu ayat satu peraturan pegawai Asian Hotel, aru?"

"... Jiwa-raga kami adalah milik sang tamu."

"Pasal satu ayat dua?"

"...Tidak ada pengecualian."

"Kalau begitu mengerti kan, aru.", si manager tersenyum sebelum memberikan pidana mati : "POTONG GAJI."

"T-TAPI PAK?"

"Lain kali kalau ada yang begitu terima saja, aru,". China menepuk pundaknya dengan sikap kebapakan. "Sakit sedikit, tapi kalau sudah digoyang rasanya asoy, kok. Seniormu juga awalnya begitu. Sok jual mahal tapi sekarang pada doyan."

Indonesia terdiam.

.

.

Prologue end!

Have a nice day!

.

.

.

AN: Nah... Haruskah saya lanjutin? :)) Masih bingung mau dilanjutin atau gak... Soalnya saia bikinnya main-main sih. Kira-kira gimana?