Srek. Srek. Srek…
Gemerisik serat-serat kuas blush on yang terasa menggelitik di pipinya seakan menjadi sesuatu yang separo-nyata dia rasakan, di tengah kehampaan ganjil yang tiba-tiba terasa menyesakkan di dadanya. Tubuh tegapnya tidak bergeming dari posisinya sejak bermenit-menit yang lalu, begitupula kedua matanya yang telah sempurna terbingkai dalam wajah ayu berpulaskan warna natural pun tampak jarang mengerjap. Sedari tadi dia terdiam, menatap lurus ke depan. Menerawang jauh dalam kekosongan semu yang terasa menyeruak di depannya.
Sebagian dirinya telah tenggelam dalam kehampaan yang seharusnya tidak pantas ia rasakan, baik di dalam hatinya ataupun di dalam pikirannya. Dia kesulitan untuk memfokuskan diri dalam menamai apa sebenarnya perasaan itu, dan perasaan sadarnya menjadi terdistorsi karenanya. Mengakibatkan perasaan bawah-sadarnya mengambil alih tanpa sempat ia cegah.
"Aku tak siap dengan pernikahan ini."
Gumaman lirih yang secara tiba-tiba terlontar dari bibirnya yang sedari tadi menutup rapat, secara otomatis menghentikan pulasan kuas blush on yang menyapukan rona kemerahan di pipinya. Kernyitan di dahi sang perias tampak mengiringi terhentinya gerakan cekatan tangan rampingnya yang sedang menggenggam kuas besar dalam posisi yang nampak kaku di atas permukaan pipi wanita yang sedang diriasnya.
"Aku tak tahu apa maksudmu, Nami. Apa kau takut?" sang perias―seorang perempuan yang rambut biru panjangnya diikat model ekor kuda―menyuarakan pertanyaan dan pernyataan jujurnya itu setelah pulih dari keterkejutan sesaatnya, namun tetap saja―karena desakan waktu yang kian menipis untuk melakukan 'tugasnya', perempuan itu melanjutkan aktivitasnya merias wajah Nami kembali. Dia tak punya spekulasi lain tentang perkataan yang tiba-tiba dilontarkan oleh wanita berambut oranye tersebut.
Mengerjapkan matanya sejenak karena 'tersadarkan' oleh gerakan mendadak dan kebingungan sesaat sahabatnya tadi, akhirnya Nami menggeleng pelan, "Tidak, tak apa-apa. Mungkin aku hanya merasa gugup…" katanya sembari menggariskan senyum yang teramat tipis di sudut bibirnya, "Sepertinya benar katamu, Vivi, kalau aku memang... Takut."
"Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Ini 'kan hari bahagiamu…" ujar Vivi sembari menepukkan tangannya dengan lembut ke bahu Nami. Perempuan yang mengajukan diri menjadi penata rias sementara itu pun tersenyum bermaksud menenangkan perasaan Nami.
Klik. Terdengar suara kotak blush on yang ditutup, "Selesai… Kau boleh berdiri sekarang!"
Sebuah arahan lembut dari Vivi mau tak mau perlahan menggerakkan tubuh Nami yang sudah lama terduduk di dalam ruangan besar berlabelkan 'Ruang Rias Pengantin' tersebut. Dia merasa semakin tidak nyaman, semua pakaian dan aksesoris yang dikenakannya kini terasa terlalu merepotkan dan membatasi lingkup gerakannya. Gerakan jemarinya juga terbatasi oleh sarung tangan tipis sebatas siku sehingga gadis itu sedikit merasa rikuh ketika Vivi menggenggam tangannya untuk membantunya berdiri.
"Coba balikkan tubuhmu!" Arahan Vivi terdengar lagi sembari beriringan dengan suara decitan kursi kayu yang tadi diduduki Nami, yang telah tergeser jauh ke samping olehnya. Nami menarik nafas dalam sebelum akhirnya dia membalikkan tubuhnya perlahan dengan mata terpejam. Setelah beberapa detik berlalu untuk memantapkan hati, matanya mulai membuka menampakkan bola mata onyx nya yang tadi bersembunyi.
Hening sesaat, hingga akhirnya Vivi mulai membuka suara kembali, "Lihatlah. Itu adalah pantulan dirimu... Sempurna." kata sang gadis berambut biru tersebut sambil menunjuk cermin yang ada satu setengah meter di hadapan Nami.
Menatap refleksi dirinya sendiri, yang memang benar nampak 'sempurna' kelihatannya, Nami tidak bisa berkata-kata. Benar kata Vivi, mau tak mau dia harus mengakui. Kini dia adalah mempelai wanita yang akan menikah pada hari ini.
Bountyvocca Present
for Hitorijanai Infantrum Challenge
Retention: Return
Part 2: Retrace
Disclaimer: Eiichiro Oda
Warning: Ori AU, contains lots of Flashback, maybe OOC, half of 'Retention' story
Tikaman rasa sakit yang secara tiba-tiba menjalar di kepalanya membuat wanita itu menarik dirinya dari aliran masa lalu yang sedang diselaminya kembali, menghentikan aktivitasnya yang mencoba mengingat masa lalu sedari tadi. Perlahan, ia memegang kepalanya sejenak dengan tangan kirinya sembari menggenggam kuat buku diary yang ada dalam telapak tangan kanannya, menyalurkan sebuah gerakan memijat yang lembut di bagian kepalanya yang terasa berdenyut-denyut menyakitkan. Wanita berambut oranye berkulit pucat tersebut agaknya mencoba menepis rasa sakit dan pusing yang menjalar tiba-tiba dalam kepalanya itu. Perlahan dia menggelengkan kepalanya pelan, dan beberapa tetes peluh pun merambat di dahinya.
Matanya yang tadi secara refleks terpejam pun terbuka kembali. Dia mengusap matanya untuk tetap terjaga dalam penglihatannya, "Aneh, ada apa denganku?" ujar Nami lirih.
Dia mencoba menenangkan dirinya, mencoba merilekskan tubuhnya yang sedikit tegang karena sedari tadi tak bergeming dari posisi duduknya yang sedikit menunduk dengan perlahan-lahan mengatur nafasnya dan menggerak-gerakkan tubuhnya sedikit. Upayanya berhasil. Beberapa saat kemudian rasa sakit di kepala wanita itu perlahan memudar, kemudian sambil menghembuskan nafas lega, dia alihkan kembali pandangannya pada buku kecil di genggamannya.
Tertegun sejenak, Nami menyapukan pandangannya pada lembaran kertas berikutnya. Sedikit mengernyitkan dahi, wanita itu hampir-hampir tak bisa membaca tulisan dalam halaman tersebut. Tinta yang menggoreskan untaian-untaian kalimat di sana telah banyak memudar, dengan lingkaran noda menyerupai warna kertas―namun lebih kecokelatan―yang semakin kentara di mana-mana. Pinggiran lembaran halaman tersebut juga penuh robekan-robekan kecil dan koyakan-koyakan yang lebih 'parah' dari halaman-halaman sebelumnya yang telah ia baca.
Tapi rupanya memaksa diri untuk sedikit memperbesar pupilnya untuk lebih fokus membaca kata demi kata yang teruntai dalam lembaran itu membuahkan hasil, perlahan tulisan itu terbaca walau samar-samar. "Aku ingin tahu, bagaimana Kaktus Bodoh itu menggambarkan kebahagiaan pernikahan kami." ujar Nami sembari tersenyum. Merengkuh masa lalu kembali.
Flashback
Gemuruh suara bising yang datang dari arah deretan tamu undangan yang telah duduk rapi mewarnai acara pernikahan di Gereja pagi hari itu. Beberapa dari mereka mengenakan Irotomesode, Furisode, dan Homongi―pakaian formal adat Jepang dalam acara sakral tersebut. Mereka sedang sibuk membicarakan hal-hal 'tak penting' seperti 'Tampan ya mempelai pria-nya…' atau 'Kira-kira secantik apa ya mempelai wanita nanti…?' sementara menunggu prosesi pernikahan dimulai. Namun, jelas di atas semua dengung pembicaraan itu mereka menanti kedatangan mempelai wanita.
Tapi agaknya penantian pemuda itu berbeda dari apa yang semua tamu undangan rasakan. Berdiri tegak di depan sebuah altar, dia terdiam dalam sikap yang khidmat, berusaha sebisa mungkin meredam perasaan gugup yang sedang ia rasakan—tak menghiraukan bising di belakangnya. Perasaan gugup dan berdebar itu makin membuncah dalam hatinya seiring waktu yang berjalan. Di hadapannya kini, di seberang sisi altar di depannya, seorang Romo sedang tersenyum kepadanya seakan mengerti kegugupan yang ada di hatinya. Pemuda rambut hijau tersebut mendesah dalam hati, ia yakin kegugupannya saat ini tidak sesimpel yang dipikirkan oleh sang Romo tersebut.
Semua yang ia pikirkan kini membuatnya tak nyaman. Padahal rancangan jas pengantin yang ia kenakan kini sudah disesuaikan dengan postur tubuhnya yang tinggi dan tegap supaya ia nyaman dalam bergerak seharian nanti. Setelan tuxedo hitam menawan yang membalut kemeja putih berhiaskan dasi panjang yang senada dengan warna tuxedo membuat postur tubuh dan kegagahannya sebagai mempelai pria nampak sempurna. Jelas saja, perancang jas pengantinnya mengatakan bahwa warna hitam akan memberikan efek khusus dalam penampilannya kali ini. Sesuai keinginannya yang ingin terlihat sederhana, tak ada aksesoris tambahan yang menghias hitamnya tuxedo itu, semisal bunga atau sapu tangan di dada—saran lain si perancang busana yang tepat, seakan seharusnya menolak ketidaknyamanan yang ada di hati sang pemuda.
Namun tetap saja, walaupun kenyamanan tubuhnya telah sungguh-sungguh terjamin, pemuda itu tetap tak mengerti mengapa perasaannya sedari tadi tak bisa menjadi senyaman yang dirasakan raganya.
"Mempelai wanita tiba…"
Suara moderator langsung menggema di telinganya, sedikit berhasil memecah perasaan tak mengenakkan yang sedari tadi melilitinya. Pemuda yang tetap memakai tiga tindik anting di telinga kirinya tersebut membalikkan tubuhnya menatap pintu kayu besar Gereja yang mulai terbuka. Seluruh tamu undangan pun menengokkan kepala mereka tanpa dikomando, menatap sosok yang berdiri di ambang pintu dalam keheningan, kekaguman, dan kekhidmatan.
Cahaya matahari mulai menyeruak seolah mendramatisir sosok yang samar-samar tampak di sana. Memaksa pemuda itu tetap terdiam, secara tiba-tiba membuat tak ada perasaan apapun lagi yang terlintas di pikirannya.
Akhirnya wajah itu, mata itu, siluet tubuh itu terlihat jelas. Sesosok wanita 'Kecil'-nya waktu dulu kini berdiri di sana dengan balutan gaun pengantin tipe Mermaid putih gading dengan model sederhana sembari membawa bucket bunga kertas. Untuk sesaat pemuda itu teringat ucapan lembut gadis tersebut saat ia bertanya mengapa ia memilih bunga kertas sebagai bunga yang ia genggam dalam prosesi sakral mereka, 'Warna dan kreasi bunga kertas lebih beranekaragam. Lagipula... Bunga kertas akan lebih lama hidup dari bunga sesungguhnya. Begitu pula dengan doaku pada kehidupan kita setelah menikah nanti...'
Wanita itu mulai melangkah, diiringi suara decakan kagum tamu undangan. Rambut oranyenya ditata dengan gaya updo—tata sanggul atas—berhiakan aksesoris Cage Veil—cadar berbentuk sarang burung yang menutupi sampai area mata—memberi kesan elegan dan sophiscated pada perempuan itu.
Rias wajah nya yang natural cukup membuat pancaran kecantikan sang gadis menguar kuat. Bibir mungil tipisnya yang telah diberi oat bran dan madu menambah kesempurnaan warna merah mudanya. Tidak bisa mengkoordinasi tubuhnya untuk melakukan hal lain, Zoro hanya terus menatapnya mendekat.
Langkah demi langkah diarungi Nami dengan degupan jantung yang makin cepat. Ia belum berani mengangkat wajahnya menatap pemuda yang menanti dirinya di ujung jalan yang ia lalui itu. Ia menarik nafas dalam, dan mendapati harum aroma chamomile yang sedikit menenangkan batinnya. Sedikit perasaan lega perlahan merambatinya, karena jauh-jauh hari perempuan itu memang telah menginstruksikan kepada wedding planner-nya untuk meletakkan beberapa bunga aromaterapi di sudut ruangan. Selain chamomile yang membuat suasana rileks, dia juga meminta disiapkan geranium sebagai penyeimbang emosi―walau ia harus mengakui kenyataan yang terjadi sekarang bahwa agaknya peletakan bunga aromaterapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada batinnya…
Dia telah sampai di depan undakan pendek yang akan mengantarnya ke bawah lengkungan penuh bunga tempat Zoro berdiri menunggunya sekarang, dan dia pun mulai menaiki tiga anak tangga menuju ke meja altar berada dan berdiri di samping pemuda itu.
Perempuan itu tahu Zoro sedang menghadapkan tubuhnya melihat ke arahnya kini. Rasanya seperti ada sesuatu yang salah dalam keadaan ini—berdiam diri tanpa bertengkar—membuat Nami berusaha menyembunyikan kegugupannya. Walau jelas saja alasan kegugupannya mungkin tak akan jadi sesederhana itu. Namun, akhirnya Nami menghadapkan tubuhnya ke samping kanan sebelum ia mendongakkan wajahnya sedikit ke atas menatap wajah datar pemuda itu. Bola mata onyx nya bertemu dengan bola mata onyx sang pemuda berambut hijau yang kini berada tepat di hadapannya. Menatap kedalaman mata itu, akhirnya dia menyadari bahwa dia harus mengatakannya kepada pemuda itu…
"Apakah…" Dengan lirih Nami membuka suara, secara tiba-tiba merasakan kelu di lidahnya serta getar tak nyaman di bibirnya, membuat perkataan yang sudah cukup rapi tersusun dalam hatinya menjadi sukar dilontarkan. Namun, Zoro menahan tatapannya lekat-lekat kepadanya, seperti menunggu, meletakkan seluruh perhatiannya kepada perkataannya. Entah pemuda itu memperkirakan apa ucapannya atau tidak...
Menelan ludah, memantapkan hatinya lagi entah untuk yang kesekian kali hari itu, Nami perlahan berucap, "Apakah kau yakin dengan—"
BRAAAAAK.
"RORONOA!" tiba-tiba suara debuman pintu yang dibuka dengan keras, diikuti teriakan berat yang berpadu dengan kepanikan itu menginterupsi jalannya acara pernikahan tersebut. Di sana, di ambang pintu megah itu terlihat laki-laki bertubuh besar dengan rambut dan jenggot yang menyatu lebat sedang tersengal-sengal mengatur nafasnya. Zoro dan Nami mengenalnya dengan jelas sebagai Haguar D Sauro, pengawal pribadi Robin.
"Roronoa…" kata Sauro masih di tengah usahahanya mengatur nafasnya, "Putri Robin… Beliau… Beliau diculik oleh para pekerja bawahan ayahnya!"
Seruan Sauro yang terdengar lantang dan panik menggema di seluruh area Gereja itu, memecah hening keterkejutan orang-orang di dalamnya menjadi gumaman kebingungan bercampur kepanikan.
Sedangkan Zoro dan Nami secara refleks membelalakkan mata dengan terkejut mendengar pernyataan Paman Sauro itu. Para anggota kelompok Straw Hat Pirates lain yang sedang duduk di deretan terdepan bangku tamu undangan pun satu per satu berdiri menatap tak percaya dengan perkataan Paman Sauro, "Apa maksudmu, Paman?" seruan Luffy langsung menggelegar di Gereja tersebut, mengalahkan dengung yang menyeruak.
"Ayah Tuan Putri memutuskan Putri Robin harus menjalankan tradisi keluarga!"
Cukup. Semua anggota kelompok Straw Hat Pirates tahu betul arti dari kalimat yang baru saja diucapkan Paman Sauro. Tekanan rasa takut dan kekhawatiran mulai bergolak di hati Nami, membuatnya merasakan sesak yang semakin besar dalam rongga dadanya. Luffy menatap kedua mempelai itu kemudian, ada pancaran ekspresi yang tak terjelaskan pada wajahnya.
Zoro tak banyak memecah sikap diamnya sejak tadi, pemuda itu hanya memejamkan matanya sembari menghela nafas dalam. Dia tak bisa memungkiri, ini adalah salah satu faktor terbesar yang menimbulkan kegelisahan di hatinya sedari tadi. Dia tahu penculikan ini akan terjadi cepat atau lambat. Dia tahu, dia sudah tahu, dia adalah orang yang paling mengenal seorang Nico Robin lebih dari siapapun. Dia juga tahu, Nami juga sadar akan hal ini...
Luffy dan kelompok Straw Hats yang lain masih berdiri menatap Zoro dan Nami di depan altar, seakan menunggu dan meminta kepastian, walau tak ada yang bisa menjawab dengan pasti tentang apa. Zoro menyadari tatapan Luffy yang mantap kepadanya―ya, bahkan saat dia sedang memejamkan matanya seperti sekarang, dia tahu―yang seakan mengatakan bahwa pemuda bertopi jerami itu menyerahkan kepadanya apa tindakan yang akan dia lakukan sekarang, membuat dirinya sesaat merasa rikuh, walau jelas seharusnya ia tidak perlu merasa begitu saat ia akhirnya tahu apa yang sekarang terjadi. Mau tak mau, ia harus...
Dengan cepat ia membuka matanya, tapi sosok Nami adalah hal pertama yang terpantul di retinanya. Nami menunduk, entah kenapa terkesan rapuh walau tubuhnya masih bertahan pada posisinya yang sedang berhadapan dengannya, hanya Tuhan yang tahu seperti apa tatapan matanya yang tengah tersembunyi itu. Tapi, sekali lagi, dia harus...
"Nami..." pemuda berambut hijau itu mulai membuka pembicaraan. Bahkan walaupun dia sudah yakin pada apa yang akan dilakukannya setelah ini, dia tidak bisa langsung dengan lancar mengutarakannya kepada sosok di hadapannya itu, kekalutan mendesir dalam keyakinan hatinya sekarang. Dia tidak tahu, tidak mempunyai bayangan apapun atas apa yang akan mungkin menjadi reaksi Nami tentang hal yang akan dikatakannya...
Tapi Nami tahu.
Nami tahu apa yang akan diucapkan pemuda ini, Nami tahu. Kegelisahannya selama ini benar, kegelisahan akan dirinya sebagai pihak yang telah salah masuk ke dalam hubungan seorang Roronoa Zoro dan Nico Robin. Pemuda itu, pemuda itu akan membatalkan pernikahan i—
"Tunggu aku di sini!"
Perkataan singkat dan tegas Zoro membuat dirinya merasa untuk sesaat seperti terombang-ambing di antara kenyataan dan ilusi. Apakah yang dipikirkannya itu ilusi, apakah yang dia dengar barusan itu kenyataan...
Sesaat ia merasakan dirinya goyah, teraduk-aduk dalam kumparan emosi yang membelitinya, dia merasakan dirinya hampir limbung, karena ucapan Zoro itu mendadak membuat emosinya menjadi semakin rumit untuk dinamai. Gemetar merambatinya sesaat ketika ia memaksa wajahnya untuk mendongak menatap Zoro.
Nami membelalakan matanya yang tanpa sadar telah terlapisi kilau air menatap sosok pemuda di depannya, seperti berusaha memastikan apa yang baru saja dikatakan si pemuda berambut hijau kepadanya.
Ia tahu, ia tetap saja masih menyadari sakitnya ditinggalkan saat pemuda tersebut baru saja menyatakan keinginan untuk bersama mengucapkan ikrar suci waktu itu. Ia yakin itu bukan ilusi, itu kenyataan yang dilontarkan dengan lantang oleh pemuda itu untuk membimbangkan hati kecilnya. Sampai detik ini pun Nami masih ragu, apa benar dia yang ada dalam hati pemuda ini?
"Aku akan kembali, aku janji padamu...!"
Zoro kembali mengucapkannya, kali ini dengan menambahkan janjinya sendiri pada ucapan itu. Seperti berusaha meyakinkan Nami, bahwa dia tidak mendengarkan halusinasi sejak tadi. Tidak banyak lagi yang bisa Zoro ucapkan kepadanya, hanya satu hal itu yang benar-benar harus ia pastikan.
Inilah saat-saat di mana kata-kata terasa tidak cukup, saat Zoro perlahan mendaratkan kecupan singkat di dahi Nami sejenak―walau tidak secara langsung menunjukkan arti lain selain kesungguhannya memohon Nami menunggu.
Dan selepas kecupan itu, akhirnya si pemuda hijau menuruni undakan kecil yang memisahkannya dengan permukaan mengkilap keramik Gereja dan langsung merubah langkahnya menjadi larian untuk meninggalkan Gereja itu, hampir-hampir tanpa menoleh kembali.
"Nami, kami berjanji akan kembali secepat mungkin!" seru Luffy sambil melangkah keluar dari deretan bangku tamu undangan disusul yang lain. Akhirnya mereka berdelapan pun pergi meninggalkan Gereja dengan tergesa-gesa diantar oleh Sauro. Menyisakan Nami yang terdiam menatap kepergian mereka dan para tamu undangan lain yang menyerukan kebingungan mereka.
"Anakku..." suara Romo itu terdengar sayup-sayup di telinga Nami yang menatap nanar pintu Gereja yang terbuka lebar.
"Dia bilang aku harus menunggu. Aku harus menunggunya walau aku tak tahu siapa yang ada di hatinya sebenarnya kan, Bapa?" ujar Nami sembari mencoba menahan genangan air yang ada di pelupuk matanya. Ia membalikkan badannya menatap Romo tersebut, mendapati beliau sedang tersenyum lembut padanya, "Percayalah pada hatimu, Nak..."
Nami mencoba tersenyum, dalam hati juga berharap kalau saja semuanya bisa menjadi semudah itu. Dia memejamkan matanya dan menunduk sejenak. Dia ingin berdoa, dia tak boleh egois di saat seperti ini. Tak peduli siapa yang dicintai Zoro sesungguhnya, yang ia inginkan sekarang adalah keselamatan Robin. Walau mungkin bukanlah ia yang akan terpilih, ia tetap ingin menunggu, setidaknya itulah yang dikatakan hatinya. Tanpa sadar setetes air mata itu jatuh mengalir dari hulu kelopak matanya yang terpejam.
'Akhirnya aku kembali ditinggalkan... dan harus menunggunya...'
Senja tiba. Derasnya hujan masih terdengar dari dalam gedung. Di sana, seorang gadis masih setia menunggu, berdiri di depan altar, menundukkan kepalanya sambil tetap menggenggam erat bucket bunga kertas di tangannya. Beberapa orang terdekatnya sudah lelah membujuk sang gadis untuk duduk dan beristirahat sejenak. Percuma, karena gadis itu tetap tak bergeming, seperti apapun bujukan yang mereka katakan. Vivi pun sudah menghela nafas lelah dengan tindakan yang diambil oleh gadis berambut oranye tersebut. Dia mulai menyerah dengan apa yang harus ia perbuat sekarang. Kata-kata Nami yang terlontar lirih dan datar kepadanya beberapa detik yang lalu membuat sang gadis meneteskan air matanya, "Kau lihat hujan di luar sana, Vivi? Kata orang, cuaca itu adalah pertanda keberuntungan pada pasangan yang akan menikah pada saat itu..."
Vivi pun kembali mendudukkan dirinya di tempatnya semula, di antara para tamu undangan yang lainnya. Tak ada yang meninggalkan acara ini, mereka tetap pada tempat mereka. Penghormatan mereka yang tinggi terhadap kedua calon mempelai menguatkan diri mereka untuk menunggu selayaknya mempelai wanita. Mereka percaya, sang mempelai pria pasti kembali...
Tap. Tap.
Suara langkah kaki mulai terdengar samar di luar beriringan dengan suara derasnya hantaman hujan, memaksa para tamu undangan serempak melihat ke arah pintu, "ZORO!"
Sebuah teriakan penuh keterkejutan mulai menjalar dalam bisingnya tamu undangan ketika semua mendapati munculnya sosok pemuda dengan nama tersebut berjalan tertatih di sepanjang ruangan besar itu dengan disangga oleh seorang pemuda berambut pirang.
Mendengar interupsi ramai yang mengusik doanya, perlahan Nami membalikkan badannya...
.
.
.
Ternyata benar. Dia menepati janjinya...
Dia kembali... Pemuda itu kembali...
Nami terdiam. Kebekuan langsung menjalarinya dengan sensasi kejut dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Dia mematung dengan pandangan nanar yang mengekspresikan sejuta perasaannya. Tak ada satupun untaian program kerja yang diberikan oleh signal dalam otaknya sekarang. Dia hanya terdiam, saat sosok pemuda itu berjalan tertatih ke arahnya... dengan darah yang begitu banyak menghias tubuhnya.
.
.
Demi Tuhan... Tolong katakan kepadanya bahwa semua ini hanya mimpi. Tolong, jelaskan kepadanya, apakah yang ia saksikan ini nyata? Tolong jelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi...
.
.
Tak ada gunanya, chamomile dan geranium sudah tak sanggup lagi mengatur gejolak emosinya yang luar biasa sekarang.
.
Setelah melepaskan diri dari sanggaan kokoh Sanji, pemuda itu mulai memaksakan dirinya untuk berjalan menuju ke depan altar dengan segenap kemampuannya yang tersisa.
"Zoro!"
"Roronoa!"
Para tamu undangan mulai berdiri dari tempat duduknya. Mereka ingin segera beranjak membantu, menolong sang mempelai pria yang tiba-tiba datang dengan darah merah anyir yang terus keluar dari sisi sebelah kanan perutnya. Mau tak mau kedatangan mengejutkan sang mempelai pria pun menimbulkan pikiran sesaat, 'Apa saja yang dilakukan pemuda ini di luar sana?'
"Ber...hen...ti! Uhuk..."
Dengan lirih Zoro menyuarakan perintahnya yang tersendat akibat gumpalan darah yang keluar dari mulutnya. Beberapa tamu undangan wanita telah terlanjur menitikkan air mata melihat situasi tersebut. Entah dengan Nami, dia masih terbujur mematung menatap lurus kekosongan yang jauh, entah kemana realitanya sekarang. Dia tak bergerak sama sekali, dia tak merespon apapun yang ia lihat.
Zoro masih melanjutkan langkahnya yang mulai terasa berat. Sakit terus menghujam setiap kali ia melangkahkan kakinya maju, mendekati tujuannya, memenuhi janjinya kepada wanita yang ternyata masih menunggunya di sana. Biarlah, dia akan menghalau rasa perih yang semakin menjadi di tubuhnya, karena apapun yang terjadi, dia akan kembali...
"Baca..kan, Ba—Uhuk—pa!" ucapnya dengan suara yang bergetar.
BRAAAAK. Sebuah debrakan benda keras terdengar menggelegar dari arah luar ruangan. Namun, tak ada satupun perhatian yang teralih, semua yang terjadi di sini membuat pikiran setiap orang hanya ingin membisu.
Sang Romo terdiam sesaat, menatap tubuh sang gadis yang mulai bergetar dalam kekakuannya, sembari menyadari ketidakberdayaannya kepada dua insan yang seharusnya ia persatukan ini dalam kebahagiaan. Tak ada... yang bisa Romo tersebut lakukan di tengah semua hal yang terjadi sekarang. Sang Romo pun menarik nafasnya dalam sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya yang berat, "Roronoa Zoro,"
Zoro masih berjalan tertatih menuju altar sembari menahan dan menyangga luka lebar pada perutnya. Untuk sesaat matanya kembali terpejam, dan sebuah senyum tipis secara ganjil tergurat di wajahnya yang tampak berkerut menahan kesakitan. Dia menyadari, bahwa akhirnya dia berhasil kembali kepada Nami, tidak meninggalkan Nami...
"Do you take Nami as your wife? Will you swear before God to be a good husband and forever love your wife, to honor, comfort and to help... Without change?"
Perlahan untaian kalimat pengikat pertama dari sang Romo mengantar Zoro menaiki anak tangga pertama menuju ke depan altar. Sebuah cairan bening mulai mengalir dari pelupuk mata Nami yang masih membuka lebar. Tak menyangka, tetes demi tetes air mata itu dapat begitu saja tumpah dalam peringatan sakral ini. Zoro menapakkan kaki kembali menaiki anak tangga kedua sebelum akhirnya ia memuntahkan gumpalan darah yang mengotori lantai gereja.
.
.
Bunga kertas penuh harap dan asa yang Nami genggam terjatuh cepat.
.
Akhirnya langkah Zoro menapaki anak tangga ketiga, ia berhenti sejenak. Menunjukkan sebuah senyuman penuh arti yang dibingkai dengan darah yang terus keluar dalam mulutnya. Tangannya yang tadinya menggenggam erat bagian perut sebelah kanannya kini mulai terangkat perlahan ke depan. Seperti hendak meyakinkan Nami akan kehadirannya di sampingnya itu sebagai kenyataan, hendak menjangkaunya...
"In sickness or in health, for richer for poorer, until death do you part, unholding your integrity..."
Zoro kini berhasil berdiri berhadapan dengan gadis oranye itu.
Sebuah senyum masih dipertahankan sang pemuda. Dia menatap Nami yang terus meneteskan air mata dengan pandangan hampa ke depan dalam kekosongan.
Tangan Zoro masih tetap terulur mencoba mengusap air mata tersebut. Tak menyadari kalau air mata itu akan tergantikan dengan gumpalan dan cairan darah yang melumuri tangannya. Nami masih terdiam.
"...Do you swear?" akhirnya kalimat terakhir dari sang Romo terlontarkan.
Zoro tersenyum, dan senyum itupun semakin mengembang, senyum yang seharusnya jarang terekspresikan pada wajah datarnya. Tangannya yang tadinya mengusap air mata Nami kini berpindah ke bahu lembut gadis itu, mencengkramnya perlahan untuk menepis jarak di antara mereka berdua.
Seharusnya Zoro terbatuk kembali saat ia mulai meminimalisir jarak wajahnya dengan Nami, tapi ia mencoba menahannya, menggumulkan cairan anyir itu dalam mulutnya. Perlahan Zoro menempelkan bibirnya ke bibir Nami yang mengatup membisu, menekankannya lembut, berbagi perasaan yang tak bisa tersalur dalam sisa kekuatannya untuk bertahan. Merasakan asin yang tiba-tiba menjalar melewati garis bibirnya, berbagi getaran ketakutan yang makin menjalar pada setiap inci tubuh mempelai wanita.
Zoro menarik wajahnya pelan sebelum akhirnya mensejajarkan pandangannya pada pandangan kosong Nami. Pemuda itu tahu, sesaat lagi dia akan benar-benar dengan sempurna 'kembali' pada Nami, cukup dengan sebuah jawaban sederhana yang bersumber dari dasar hatinya, menanggapi untaian kalimat pengikat sang Romo...
Ia hanya berharap gadis itu akan bisa benar-benar mendengarnya.
"Yes...—UHUK...!" Muncratan gumulan darah mulai menodai wajah putih Nami. Nami masih tetap tak bergeming. Gaun putihnya... mulai ternoda...
"...—
.
.
.
—I..." Kini darah yang terusap di sekitar mata bagian bawah Nami mulai mengalir bersamaan dengan air mata yang mengalir deras kembali. Ia... menangis darah...
.
.
.
"... ...—do―"
BRUUUK...
Seketika itu juga, bersamaan dengan terucapnya ikrar yang seharusnya mengesahkan ikatan selamanya dengan Nami, tubuh Zoro jatuh dalam gerakan mendadak, terlentang tak bergeming di hadapan Nami. Jatuh begitu saja, tanpa sempat mengucapkan hal lain selain kesungguhannya untuk selalu mencintai Nami...
Sampai kematian memisahkan mereka... Sampai akhirnya kematian telah memisahkan mereka...
Gadis itu tak bisa lagi menahannya, getaran pada tubuhnya kian menghebat.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Sebuah jeritan memilukan menggema di seluruh Gereja itu, menggiriskan hati siapa saja yang mendengarnya, membuat tak ada seorangpun yang bisa banyak bereaksi kecuali dengan sentakan shock di wajah mereka.
Tapi sungguh, tidak ada yang bisa menakar bagaimana sesaknya hati sang mempelai wanita, menghadapi tubuh kaku sang mempelai pria persis di hadapannya. Seluruh shock dan teriakan memilukan itu pun mengantarkan robohnya tubuh sang mempelai wanita, menjatuhkan kepalanya di dada sang mempelai pria, kain putih gaunnya telah ternoda. Mereka berdua berbaring dengan bunga kertas yang layu-terciprat noda darah. Antara merah dan putih.
Sebuah penantian akhir dari sosok gadis yang ditinggalkan dan menunggu.
Flashback End
BUGH.
Genggaman buku itu melonggar dan membuatnya terjatuh berdebam di ruangan washitsu tersebut. Dia hanya bisa terbujur kaku menggenangkan air mata yang siap tumpah kapan saja dalam pelupuk matanya. Tiba-tiba pandangannya mulai berguncang, seperti dunia yang ia lihat telah berubah total.
Sebuah dobrakan sakit kepala yang luar biasa mulai melesak dalam kepalanya, "AAAAAAARRRGGGHHHHHHH!"
Nami meremas rambutnya kuat, air mata terus mengalir dari matanya yang terpejam kesakitan, membasahi pipi putihnya yang pucat pasi, tubuhnya bergetar mengiringi isakan-isakan pilu yang dikeluarkannya. Dia meronta, menendang dan mengobrak-abrik semua yang ada di sekitarnya, merasakan sakit luar biasa di kepalanya kini.
Sakit... Sakit...
Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi...?
"TOOOOOLOOOOOOOOOONGGGG!" Dia mulai berteriak sebisa yang ia dapat, seolah berharap seseorang akan datang dan meredakan rasa sakit itu, menenangkan emosinya yang tiba-tiba bergejolak dalam kesesakan menyakitkan yang memenuhi rongga dadanya.
Rasa sakit itu kian menjadi, dia sudah tak bisa lagi menahannya, tak mampu lagi mengontrol gerak tubuhnya sekarang, yang makin menjadi meronta. Dalam kekalutan dan kesakitan hebatnya itu, dia sudah tak bisa menyadari lagi kemana tangan dan kakinya menyapu sekelilingnya dengan liar, memporak-porandakan sekitarnya dalam kekacauan.
Nafasnya mulai tersengal-sengal, dia limbung, merasakan lelah mulai menjalarinya. Tangannya yang bergetar menyerakkan benda-benda yang tergeletak di permukaan meja pendek di hadapannya, tanpa sadar melemparkan sebuah benda berbentuk balok berat—fude―dengan arah tak menentu.
PRAAAAAANGGGG.
Terkejut, Nami membuka matanya saat mendengar suara tadi, rupanya suara itu cukup mampu mengalihkan perhatiannya. Perlahan dia mengumpulkan segenap kekuatannya kembali, mengatur nafasnya, perlahan-lahan mencoba bangkit dari ketidaksadaran yang tadi melingkupinya. Getaran kuat pada tubuhnya masih tetap bertahan, semakin terasa.
Dia menggenggam tangannya satu sama lain dalam genggaman kuat, hingga buku-buku jarinya memutih karenanya, berharap dengan itu ia bisa menghentikan gemetar hebatnya. Namun, gemetarnya itu melambat saat dia mencoba menghadapkan wajahnya ke samping kanan dengan gerakan tersentak untuk menganalisis sumber suara. Memang benar dia sudah menemukannya, tapi dia juga sekaligus dibekukan kembali oleh apa yang dilihatnya di sana. Dia hanya bisa mulai mengerutkan dahinya, berusaha menahan isak tangisnya sekuat tenaga saat melihat dia.
Jauh tiga meter dari tempat dirinya menatap, terdapat sebuah cermin besar yang telah pecah sehingga tampak seperti pecahan mozaik di beberapa bagian—akibat lemparan fude Nami. Dalam pecahan-pecahan yang masih menempel pada bingkai di dinding itu, terpantul sosok asli wajah Nami. Wajah seorang Nami yang sudah merasa tak sanggup lagi dan tercekat dalam kenyataan yang langsung manampar batinnya. Wajah pucat pasi dengan kerutan dan keriput yang kentara di beberapa bagian. Ia mulai tersengal dalam nafasnya, mulai kembali mengisak dalam ketakutannya.
Rambutnya tak berwarna oranye cerah lagi. Rambutnya tergerai kusut dengan warna oranye menuju putih dan putih seutuhnya. Tangisnya benar-benar pecah sekarang.
Tangannya yang kurus dan menampakan tulang tanpa dagingnya mulai mendekap dirinya sendiri. Dia mendongakkan kepalanya dan memejamkan matanya erat, tak sanggup lagi menahan desakan di balik kelopak matanya, mengeluarkan tumpahan air asin yang menjalar di pipi keriputnya. Sakit di kepalanya menjalar makin kuat di dalam otaknya, "ARRRRGGGGGGHHHH...!"
Nami terus meronta, pikirannya mulai berputar cepat, menampilkan kilasan-kilasan momen dalam realita yang bergerak dengan cepat dan tak beraturan. Dalam rasa sakit yang menderanya, dia telah kembali pada realita sepenuhnya...
"Nami obaa-san? Ada apa denganmu, kau baik-baik saja?"
Wanita itu bukan Vivi, dia adalah anak Vivi yang sudah bertahun-tahun lalu menikah dengan Kohza.(1)
.Dug. Nami terus membenturkan kepalanya ke dinding, membuat sebuah irama dalam kekosongan pandangannya yang terbuka lebar dan terus mengalirkan air mata. Sambil menggenggam erat sebuah buku oranye, darah mulai melumurinya. Buku tersebut mulai terkoyak.—"Hentikan! Hentikan!"—
—"Aku akan menemanimu.. Selalu.."(2)
"ZORO SUDAH TIADA!" BRAAAAAAAAAAAAAK.(3)
"AAAARRRRRRGGGHHH..." Nami semakin meronta kesakitan, suara jeritannya terdengar mencekam dengan aksen serak kasar perempuan berusia limapuluhtiga tahun. Dia menangis, dia terus mengalirkan air matanya. Dia mulai teringat dan tersadar. Dia mulai letih. Dia sadar dia terus menangis dalam sisa hidupnya sampai saat ini. Tubuhnya masih bergetar. Namun, perempuan itu kembali menghampa akan kekosongan yang terus menganga dalam hatinya.
Ia menunduk, kembali terisak. Dia hanyalah seorang perempuan tua yang mengais dalam kenangan. Ia mengatupkan kedua tangannya menutupi wajah penuh kerutan nya. Apa yang bisa perempuan tua itu lakukan lagi? Ia terlalu lama sakit dalam ketidakberdayaannya. Ia terlalu rapuh untuk benar-benar menyadari bahwa ia menjadi sosok yang ditinggalkan selamanya tanpa bisa menunggu lagi.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Kembali, jeritan itu terdengar memilukan di tengah kesunyian dan kehampaan malam yang merekah. Terus begitu, dia menjerit, meronta, menangis... Rasanya tak ada lagi yang sanggup ia lakukan setelah dia akhirnya harus kembali menyadari segala realita yang masih tersisa untuknya.
Kini perempuan itu hanya menangis dalam diam, ketika raga senjanya tak sanggup membendung lagi segala rontaan jiwanya, sembari berharap di salah satu sisi hatinya, semoga dia bisa kembali dalam dimensi masa lalunya itu. Di ruangan kosong itu hanya tersisa dirinya dan kenangan-kenangan masa lalu yang selalu ia hadirkan kembali hanya lewat angannya...
Sementara di sudut ruangan, buku diary oranye yang tadi tercampakkan tersebut terbuka lebar―dengan serakan kaca-kaca kecil di atasnya buku itu membukakan halaman terakhir dari perjalanan ingatan yang diungkap oleh wanita tersebut.
Entah harus bersyukur atau terus meronta
Aku tetap bahagia terkurung dalam dimensi yang hanya akan memuat kita berdua
.
.
.
Catatan harian seorang penderita Dementia Pugilistica
1985
Retention: Return complete.
AN: Dementia, orang dengan dementia memiliki fungsi intelektual yang terganggu secara signifikan yang kemudian mengganggu aktivitas normal dan hubungan. Mereka juga kehilangan kemampuan mereka untuk memecahkan masalah dan mempertahankan kontrol emosional. Kemudian mereka mungkin akan mengalami perubahan kepribadian dan masalah perilaku seperti agitasi, delusi, dan halusinasi. Serta akan kehilangan sebagian memorinya.
Dementia Pugilistica, gejala yang paling umum adalah demensia dan parkinson, yang dapat muncul bertahun-tahun setelah trauma berakhir. Cedera otak tunggal traumatis juga dapat menyebabkan gangguan yang disebut demensia pasca-trauma (PTD). PTD sama seperti pugilistica demensia tetapi biasanya juga mencakup masalah memori jangka panjang. Gejala lain bervariasi tergantung pada bagian mana dari otak rusak oleh cedera. Sumber:
Mungkin banyak kata yang ingin Anda lontarkan pada kami tentang fic super abal ini. Namun, ini baru setengah dari cerita 'Retention'. Bagian setengah sisanya akan kami usahakan update secepatnya di account 'bebobobo'.
Baiklah, saatnya Anda melempari kami dengan uang lagi #plak!
Review? :)