.
I'LL NEVER FORGET THIS PAIN
Presented by: Kagami Hikari
.
Summary: Apakah kau sadar, senpai? Kalau aku sangat benci melihatmu dengannya? Special fic for Deal Fallen. Rated M for BLOODY
Disclaimer: Persona 4 tetep punya ATLUS
.
Gomen Readers-san! Aku tau aku telat banget ngupdate fic ini! Hahahaha abis gimana lagi? Sibuknya setengah mati sih! *padahal cuma cari alesan tuh! Bilang aja males!*
Meskipun bikinnya super susah payah, semoga adegan bloodynya bagus dan feelnya dapet. (maklum, soalnya baru pertama nih nulis bloody!)
ENJOY!
.
"Apa kau takut?" potong sang mantan artis itu, mengarahkan mata pisaunya tepat ke depan hidung sang detektif wanita. Ia sama sekali tak memberikan sang Detective Prince waktu untuk menjawab pertanyaannya yang pertama. "Tenang saja, ini hanya akan sakit sebentar kok!" tambah pemilik iris merah muda itu masih dengan senyum
"Mulai ya?"
Naoto bergidik ngeri dan langsung memejamkan kedua iris sapphirenya, tak sanggup menyaksikan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Kenapa?
Kenapa dirinya harus berakhir di tempat seperti ini?
Kenapa dirinya harus berakhir seperti ini?
Kenapa ia tak bisa melakukan apapun?
.
.
Kagami Hikari presents
I'LL NEVER FORGET THIS PAIN
Warning! Udah mulai Bloody scene nih! Jadi yang ga mau baca, ga usah aja—alias Don't Like Don't Read!
.
.
Rise tertawa terbahak-bahak menyaksikan darah pekat mengaliri bilah logam dingin di tangannya. Darah itu tentunya milik sang mantan sahabat, Shirogane Naoto.
Naoto meringis karena luka sayatan memanjang di lengan kirinya yang ditimbulkan oleh pisau milik Rise. Kini mantel biru tua miliknya sudah diwarnai oleh warna merah dari darah yang terus merembes keluar dari luka sayatannya. Sekali lagi pisau Rise bergerak, namun kali ini sasarannya adalah lengan kanan Naoto. Dengan gerakan singkat, darah kembali mengotori mantel Naoto.
"Aaaah!" seru Naoto kesakitan
"Hahahahaha ada apa, Naoto-kun? Apa kau kesakitan?" tanya Rise
"Apa yang kau lakukan, Rise?" bisik sang Detective Prince sambil menahan rasa sakit di lengannya
"Hmm apa? Hanya mengusir kebosanan kok!" jawab sang mantan artis ringan
Lagi-lagi lengan kanan Naoto menjadi sasaran ketajaman pisau Rise. Tapi alih-alih menorehkan satu sayatan, kali ini logam tajam itu menorehkan tiga sayatan panjang berbeda arah yang menyakitkan bagi sang detektif. Tanpa jeda, Rise kembali menyayat-nyayat lengan kanan Naoto, membuat darah menetes dari bagian lengan mantel Naoto yang sekarang sudah berwarna merah gelap.
"Aaaaah!" sekali lagi Naoto berteriak
Tapi kali ini wanita muda beriris merah muda itu sama sekali tidak menggubris teriakan kesakitan dari sang mantan sahabat. Ia malah kembali menyayat lengan kiri Naoto sampai kondisinya kurang lebih sama seperti lengan kanannya.
Setelah beberapa saat, Rise memandangi hasil kerjanya. Darah dari luka di lengan sang Detective Prince sudah menggenang di lantai, jalur-jalur air mata yang tampaknya jatuh begitu saja dari iris sapphire Naoto terlihat begitu deras, dan gigi-gigi Naoto yang saling bergemeletuk menahan rasa sakit yang terus mendera lengannya. Rise menyeringai puas. Ia benar-benar menyukai pemandangan yang ada di depannya.
"Bagaimana? Seru kan?" tanya Rise riang
Naoto tak dapat menjawab pertanyaan dari Rise. Pikirannya terlalu fokus untuk menahan rasa sakit di kedua lengannya—yang tentunya sia-sia.
"Hei Naoto-kun, kalau ada orang yang bertanya padamu, sebaiknya dijawab!" wanita muda berkucir dua itu berkacak pinggang
Tapi tetap saja sang Detective Prince tidak memberikan jawaban yang berarti selain gelengan kepala lemah.
"Ya sudah kalau tidak mau menjawab," Rise mengangkat bahu, "akan kuberi hadiah!"
Kali ini pisau Rise memberikan goresan panjang di kedua sisi bibir Naoto, sehingga memperlebar mulut wanita berperawakan mungil itu.
"AAAAAAAAAAAHH!" teriakan Naoto menggelitik kedua telinga Rise
"Haah… kau ini… jawabnya jangan berteriak seperti itu! Bicara seperti biasa juga bisa kan?" Rise menggelengkan-gelengkan kepalanya
"AAAAAAH!"
Aroma besi kembali menguar di udara begitu Rise memberikan Naoto sayatan-sayatan panjang di kedua pahanya yang terbungkus celana tebal. Tapi seakan tak puas dengan sayatan, wanita berkucir dua itu menusuk-nusukkan pisaunya di kedua paha Naoto, membuat darah bermuncratan kemana-kemana.
"GYAAAAAAAAAAAA!"
"Hahahahaha!"
Wanita bermarga Kujikawa itu tak sedikitpun menghentikan gerakan tangannya yang menusuk-nusuk paha Naoto. Ia malah semakin mempercepat gerakannya sambil terkadang memberikan sayatan juga. Tawa pun tak pernah meninggalkan mulutnya. Sampai akhirnya Naoto berhenti berteriak kesakitan karena kedua pahanya seperti mati rasa.
"Kenapa, Naoto-kun? Apa tidak sakit?" Rise mendekatkan wajahnya ke kepala Naoto yang terutunduk
Kedua bibir Naoto terlalu kesakitan untuk digerakkan. Jadi wanita berambut biru tua itu pun untuk kesekian kalinya tak menjawab pertanyaan sang sahabat.
"Nah, mana ya Souji-senpai? Pasti sebentar lagi ia akan datang…" kata Rise sambil memainkan bilah pisau di tangannya
"S-senpai?" kedua iris sapphire Naoto membulat begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rise
"Kau lebih baik duduk saja di sana dan perhatikan, oke?" bisik Rise di telinga Naoto
"Ja—akh!" Naoto tak bisa melanjutkan kalimatnya karena menahan rasa sakit di kedua lengan, pahanya, dan di kedua sisi bibirnya.
"Sudah kubilang, kan? Cukup duduk dan perhatikan!" Rise menyeringai melihat mantan sahabatnya meringis kesakitan. Kemudian melakban mulut Naoto dengan sebuah lakban hitam yang sudah ia siapkan sebelumnya.
Di luar, seorang pemuda berambut kelabu tengah mencoba membuka pintu gudang tua yang berisi dua orang wanita muda yang dikenalnya.
.
"Naoto?" panggil Souji begitu dirinya sudah berada di dalam gudang
Tak ada jawaban.
"Naoto?" sekali lagi Souji memanggil nama wanita yang sejak beberapa bulan yang lalu menjadi pacarnya.
Tapi tetap tak ada jawaban.
Souji mengedarkan pandangannya ke kegelapan gudang tua itu. Dan tak lama kemudian meskipun sayup-sayup ia mendengar suara derak kayu. Dengan cepat Souji mencari sumber suara itu. Dan ia menemukan cahaya remang-remang di sudut terjauh gudang tua itu.
"Naoto?" lelaki berambut kelabu itu mengeraskan suaranya.
Dan sayang sekali, lagi-lagi tak ada jawaban dari sang pemilik nama.
Akhirnya Souji memutuskan untuk mendatangi sumber cahaya yang ia lihat.
.
"Mph!" wanita muda berambut biru tua yang diikat di kursi itu mencoba mengeluarkan suaranya saat mendengar namanya dipanggil. Ia tahu orang yang sedari tadi ditunggu oleh orang yang berdiri di hadapannya telah datang. Dan hal itulah yang paling ia takutkan saat ini.
"Naoto?" sekali lagi suara itu menggema di kegelapan gudang tua tempat dirinya berada
"Mmpph!" sekali lagi sang pemilik nama mencoba mengeluarkan suaranya. Tapi sia-sia, karena mulutnya sudah ditutup oleh sepotong lakban hitam.
Sepasang iris merah muda menatap sang detektif wanita yang terikat di kursinya dengan tatapan mengejek. Tapi Naoto tidak putus asa, ia menggerak-gerakkan tubuhnya yang masih terikat di kursi hingga kursinya berderak-derak. Kedua iris merah muda milik Rise menatap tajam pada sang detektif.
"Naoto?" lagi-lagi suara Souji terdengar memanggil sang Detective Prince, kemudian disusul dengan suara-suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Jantung Naoto semakin berdegup kencang seiring dengan langkah Souji yang semakin mendekat. Sementara itu Rise sudah menyeringai sambil memandang arah kedatangan Souji. Tak lama kemudian Rise sudah tersembunyi di balik bayang-bayang sambil menanti 'mangsa'nya.
.
Sepasang iris kelabu milik Souji langsung membulat begitu ia melihat sosok yang sedang dicarinya ternyata sedang dalam posisi terikat di sebuah kursi dengan mulut dilakban. Langsung saja Souji berlari ke arah Naoto tanpa memerhatikan sekelilingnya.
"Naoto? Apa yang terjadi padamu?" Souji melepaskan lakban yang menyegel mulut detektif berperawakan mungil itu. Ia terperangah ketika menyaksikan pemandangan yang ada di depannya, "Siapa yang melakukan ini padamu? Jawab aku, Naoto!"
Sang pemilik nama mendongak, memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca, "Pergi Souji-senpai! Ini jebakan!"
"Apa maksudmu?" begitu Souji menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu bisa merasakan sebuah benda keras menghantam tengkuknya, mengantarnya pada dunia yang dipenuhi kegelapan.
Sekilas ia dapat mendengar Naoto memanggil-manggil namanya. Sial… Ini semua karena kecerobohannya!
.
"Yaaah sepertinya aku memukulnya terlalu keras ya?" tanya Rise pada dirinya sendiri sambil memain-mainkan sebuah balok kayu yang cukup kokoh di tangannya.
"Apa yang kau lakukan pada Souji-senpai?" seru Naoto, lalu meringis kesakitan
"Apa yaaa? Hmm kita lihat saja nanti!" Rise tersenyum riang pada Naoto
"Kau…" desis Naoto
"Hahahaha jadilah anak manis, Naoto-kun!"
Lagi-lagi mulut Naoto ditutup oleh lakban—membuat sang Detective Prince mau tidak mau diam di kursinya sebagai penonton dari pertunjukan besar yang akan segera ditampilkan; pertunjukan yang diperankan oleh Rise dan Souji.
.
Gelap. Itulah hal pertama yang lewat di benak Souji saat ia membuka kelopak matanya. Meskipun ia bisa merasakan posisinya yang terduduk menyandar pada sesuatu, ia tak bisa melihat apapun. Ia hanya bisa merasakan lantai yang keras dan dingin di bawahnya dan mendengar suara isak tangis yang samar-samar.
Dimana ini? Pertanyaan itu mampir dalam benak Souji. Lalu tanpa diminta, sekelebat ingatan mulai memasuki otak Souji. Ya, benar! Tadi ia melihat Naoto sedang diikat dan mulutnya dilakban juga bersimbah darah! Kemudian ia merasa ada yang memukul tengkuknya. Siapa yang melakukan ini semua? Apa yang diinginkan orang itu darinya dan Naoto? Souji terus berusaha memutar otaknya untuk menemukan jawaban yang ia cari. Tapi nihil, ia tak bisa menemukan siapapun yang memiliki motif untuk melakukan hal ini padanya dan Naoto.
Gigi-gigi Souji saling bergemeletuk. Tampaknya pemuda berambut kelabu itu tengah menggigil kedinginan. Souji yang baru menyadari hal itu langsung menyadari kalau ia sudah tidak mendapat kehangatan dari mantel kelabu tua yang semula ia kenakan. Artinya saat ini ia hanya memakai sehelai t-shirt putih dan celana panjang cokelat. Pantas saja ia merasa kedinginan.
Tapi masih ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada hawa dingin yang menusuk kulitnya yang tak tertutup apapun. Hal itu adalah pelaku dari penyerangan terhadap dirinya dan Naoto.
Suara langkah kaki tertangkap oleh gendang telinga Souji. Souji langsung mendongakkan kepalanya dan tertunduk dan bertanya pada kegelapan, "Siapa itu?"
Namun sang pemilik langkah kaki sama sekali tak menjawab pertanyaan Souji. Ia hanya terus mengeliminasi jarak antara dirinya dan Souji yang masih terduduk.
Suara yang terdengar oleh Souji bertambah—tak hanya langkah kaki saja, tapi juga suara lirih dari dua logam yang saling bergesekan. Bulu kuduk Souji meremang. Entah kenapa suara itu bisa begitu menakutkan buatnya. Souji mengumpulkan keberaniannya yang tadi sempat ciut dan kembali bertanya, "Siapa itu?"
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Merasa tak direspon, Souji mencoba meraba-raba udara di sekitarnya untuk menemukan sang pemilik langkah kaki. Sayang usahanya sama sekali tak berhasil karena sang pemilik langkah kaki sepertinya masih ingin menyembunyikan dirinya dari Souji.
Siapa pemilik langkah kaki itu? Sepertinya tanpa menyebutkan nama pun kita sudah tahu kalau langkah kaki yang didengar Souji adalah milik Rise. Dan suara isak tangis yang samar-samar didengar oleh Souji adalah milik Naoto. Sayangnya pemuda bermarga Seta itu sama sekali tidak mengetahuinya.
"Siapa itu?" sekali lagi Souji mengulangi pertanyaannya
Sesuatu yang dingin tiba-tiba saja menghujam pergelangan kaki kiri Souji. "AAAAAAAAKH!" Aroma besi menguar di udara dan menyapa indra penciuman Souji. Ia mencoba meraba-raba pergelangan kakinya yang begitu perih. Tak butuh waktu lama bagi Souji untuk merasakan darahnya sendiri yang basah di tangannya.
Seakan tak mau memberikan Souji jeda untuk mengatasi rasa sakit di pergelangan kaki kirinya, lagi-lagi benda dingin yang diasumsikan Souji sebagai pisau kembali mengujam, kali ini di pergelangan kaki kanannya.
"AAAAAAAAAAKH!" Souji berteriak karena merasakan rasa sakit yang mendera dirinya bertambah.
Kedua tangan Souji memukul-mukul dan menggapai-gapai udara kosong di depannya dengan membabi buta, mencoba memukul atau setidaknya meraih salah satu anggota tubuh penyerangnya. Namun usahanya tak membuahkan hasil yang manis, ia hanya mendapati ruang kosong.
Sekilas Souji mendengar suara langkah kaki yang semula mendekatinya sedikit menjauh. "Aaakh… Tolong…" lirih Souji parau sambil mencoba menggapai kedua pergelangan kakinya yang sudah berlumuran darah segar. "Tolong aku…"
Kali ini sebuah benda keras dibentur-benturkan ke kedua tulang kering Souji secara bergantian. "GYAAAAAAAAAAAAA!" Rasa sakit membuat kepala Souji berdenyut-denyut hebat, membuatnya pusing.
"AAAAAAAAA! Hentikaaan!" pinta Souji. Tapi tampaknya Kami-sama atau setidaknya Rise tidak mengabulkan permintaan Souji itu. Sayangnya Souji tidak bisa melihat seringai yang sedang merekah di bibir sang penyerangnya. Ya, Rise langsung menyeringai lebar ketika mendengar permintaan Souji.
Tapi Rise memang belum ingin menghentikan aksinya. Tidak sampai ia puas. Jadi mantan artis itu terus saja menghantam tulang kering Souji dengan balok kayu yang berada di tangannya. Kini balok kayu yang semula berwarna cokelat telah berubah warna menjadi merah pekat.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAKH!"
Tidak hanya balok kayu yang berada di tangan Rise saja yang telah dikotori oleh warna darah, tapi sarung tangan, mantel, celana, dan bahkan wajahnya pun kini telah terkotori cipratan-cipratan darah kedua orang yang dulu pernah menjadi rekan satu timnya. Tapi hal itu tidak digubris oleh sang pemilik iris merah muda, ia terus saja menghantamkan balok kayunya ke tulang kering Souji.
KRAK
Terdengar suara sesuatu yang patah. "AAAAAAAAAAAAH!" Souji berseru. Tampaknya tulang kering pemuda beriris kelabu itu patah—atau mungkin remuk? Entah yang kanan atau yang kiri.
"AAAAAAAAAAAAAH!"
Kali ini Souji merasa pangkal lengannya dihujam pisau berkali-kali. Membuat wajahnya terkena cipratan darahnya sendiri. Hujaman itu tak berhenti, malah semakin menggila. Pisau yang menghujam ke pangkal lengannya kini terkadang berubah menjadi gerakan memotong yang sangat menyakitkan. "AAAAAAAAAH! HENTIKAAAAN!"
Rasa sakit di pangkal lengan yang terus menderanya ditambah lagi rasa sakit yang masih menghinggapi kedua pergelangan kakinya membuat Souji mati rasa. Ia sudah benar-benar tidak kuat menahan rasa sakit.
PLUK
Suara benda yang jatuh menghantam lantai beton yang dingin dan keras kentara sekali terdengar di ketiga pasang telinga milik Souji, Rise, dan Naoto. "AAAAAAAAAAAHH!" Souji sudah tidak bisa lagi merasakan keberadaan lengan kanannya.
Rise tersenyum puas menatap lengan kanan senpainya yang tergeletak berlumur darah di lantai beton. Jantungnya berdegup kencang karena menyaksikan pemandangan yang 'sangat menyenangkan' bagi dirinya sendiri.
"S-siapa kau…?" bisik Souji terengah-engah karena rasanya seluruh tenaganya sudah ia gunakan untuk menahan rasa sakit yang menerjangnya tanpa ampun.
Perlahan, sesuatu yang menutupi penglihatan pemuda bermarga Seta itu mulai menghilang dan ia bisa melihat cahaya yang remang-remang. Kemudian kedua mata Souji mulai beradaptasi dengan pencahayaan dalam gudang tua tempat dirinya berada. Ia dapat melihat siluet orang yang melakukan ini semua pada dirinya. Souji mencoba memicingkan matanya untuk melihat orang itu lebih jelas. Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil yang begitu baik. Itu karena orang itu berdiri membelakangi cahaya, jadilah yang bisa Souji lihat hanyalah wajah yang tertutup bayangan hitam.
Perlahan orang itu mengubah posisi berdirinya sehingga bayangan yang semula menyembunyikan seluruh bagian wajahnya kini menghilang. Souji tercekat menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya senyuman terukir di wajahnya serta balok kayu berukuran sedang berada di dalam genggamannya. "Halo, senpai!"
"Rise?" Souji mencoba bangkit dari posisinya. Tapi hal itu sangat sulit dilakukan mengingat kedua pergelangan kakinya yang terluka parah serta salah satu tulang keringnya patah—ah tidak bahkan remuk. Souji hanya mengernyit saat rasa sakit di beberapa bagian tubuhnya itu kembali ia rasakan.
"Bagaimana, senpai? Apa permainannya menyenangkan?" sang pemilik nama terkikik geli sambil memandang senpainya yang terduduk di lantai beton
"Sial…" rutuk Souji, "Apa yang sudah kau lakukan pada Naoto?" kedua iris kelabu Souji memandang kedua iris merah muda Rise dengan tajam
"Senpai kan sudah melihatnya. Jadi buat apa kujelaskan lagi. Lagi pula aku melakukan itu karena Souji-senpai terlalu lama! Coba Souji-senpai datang lebih cepat, pasti Naoto-kun tidak akan terluka lebih parah." jawab Rise enteng
"AAAAKH!" Souji berseru ketika pisau milik Rise mengiris betisnya yang tertutup celana katun
"Ssst… Jangan berisik, senpai! Nanti banyak orang yang datang loooh!" untuk kesekian kalinya Rise terkikik geli menatap ekspresi senpainya.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAHHH!" teriakan Souji tampaknya mulai membuat Rise kesal. Mantan artis itu menendang tubuh Souji yang mulai lelah karena terus-menerus merasakan sakit yang sangat menyiksa.
"Sudah kubilang kan? Sebaiknya senpai tidak berisik!" kali ini wanita berkucir dua itu meninggikan intonasi suaranya. Pemuda berambut kelabu yang kini terbaring di lantai itu hanya menatap lawan bicaranya tanpa memberikan respon berupa kata-kata. Ia sibuk berkonsentrasi pada hal lain untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.
"Aah makin lama makin membosankan ya? Bagaimana kalau kita langsung ke pertunjukan utama?" kata Rise sambil mengacungkan pisau yang berlumuran darah di tangannya, "Ya kan, Naoto-kun?"
Naoto terlihat meronta-ronta di kursinya, mencoba untuk melepaskan diri dari tali yang mengikatnya. Tapi simpul ikatan Rise ternyata cukup kuat untuk menahannya. Jadilah akhirnya Naoto hanya bisa melihat Souji terbaring bersimbah darah di lantai beton.
Ia ingin sekali menolong orang yang paling disayanginya. Tapi ia tidak bisa.
"Diam artinya iya," bisik Rise senang sebelum menghujamkan pisau
"UWAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!" pisau itu menghujam ke perut pria bermarga Seta, membuat darah segar kembali bermuncratan ke mana-mana.
"Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali!" Rise bersenandung sambil menusuk-nusuk perut Souji
"!" Aroma darah mengambang di udara, membuat jantung Souji semakin berdegup kencang. Membuat Souji seakan tuli karena suara detak jantungnya sendiri.
"Hahahahahahahahahaha!" tawa Rise tak henti-hentinya lolos dari mulutnya. Ia benar-benar menikmati kegiatan yang sedang ia lakukan. Meskipun tanpa sadar kedua iris sapphire milik sang detektif wanita menatap adegan itu dengan tatapan ngeri.
JLEB
JLEB
JLEB
JLEB
Kali ini bukan diarahkan ke bagian perut, melainkan ke bagian dada. Tapi Rise berhati-hati agar pisaunya tidak langsung mengenai jantung sang korban. Ia masih ingin menikmati euforia yang kini dirasakannya. Souji tidak lagi meneriakkan kesakitannya—ia sudah tidak mampu. Bahkan untuk sekedar menghirup oksigen pun ia cukup kesulitan.
"Kalau sepi begini kan membosankan…" gumam Rise, "Kalau begitu lebih baik kita selesaikan saja ya pertunjukan ini, ya kan senpai?"
Souji tak menjawab.
"Diam artinya iya," lagi-lagi Rise mengulangi kalimat itu.
JLEB
Satu hujaman keras, akhirnya bilah logam yang tajam itu menusuk tepat di jantung pemuda beriris kelabu dengan diiringi erangan lemah dari sang korban. Likuid merah pekat bernama darah kembali tercecer kemana-mana, mengubah warna t-shirt putih yang dikenakan Souji menjadi merah darah. Akhirnya keponakan dari detektif bernama Dojima Ryotaro pun menghembuskan nafas terakhirnya di sana.
Seulas senyum menghiasi bibir tipis Rise. Ah, akhirnya ia bisa melihat pemandangan ini! Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa!
Dengan perlahan Rise menarik bilah logam yang menancap di jantung Souji. Selama beberapa saat, ia menatap bilah logam yang berlumur darah di tangannya. Ah, aroma darah segar sangat menyenangkan bagi sel-sel olfaktori di hidungnya; bahkan lebih baik dari sebuket bunga-bunga terbaik yang dulu sering diberikan penggemar-penggemarnya. Kemudian tanpa rasa jijik sedikitpun ia menjilat pisaunya, mengecap rasa darah senpainya yang telah tiada.
Suara isakan menggelitik telinga wanita muda berkucir dua itu. Ia menoleh dan mendapati sang Detective Prince sedang menundukkan wajahnya dan terisak di kursinya.
"Ya ampun, Naoto-kun… Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau menangis?" tanya Rise dengan suara yang lembut sambil menghampiri sahabatnya—atau lebih tepatnya mantan sahabatnya. Kemudian melepaskan lakban yang masih bertengger manis di mulut Naoto.
Naoto tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Ia terlalu sibuk mengontrol emosinya yang meledak-ledak. Ia marah. Ia jijik. Ia takut.
"Ada apa, Naoto-kun?" satu langkah lagi dari Rise dan mantan artis itu sudah berada tepat di hadapan Naoto yang masih terikat di kursinya. "Kau bisa bilang bilang padaku kok, Nao-kun…" bisik Rise di telinga sang pemilik iris sapphire.
Naoto menabrakkan iris biru langitnya ke iris merah muda milik Rise. "Pembunuh!" bisik Naoto penuh amarah.
"Ya ya ya… Terserah…" sahut Rise ringan. Dengan cepat cucu pemilik Marukyu Tofu itu mengarahkan pisaunya yang masih diselimuti likuid pekat ke depan wajah detektif bertubuh mungil. "Kau tahu, Naoto-kun? Sejak awal aku memang tidak berniat membunuhmu! Aku hanya ingin kau menderita." katanya sambil menyayat pipi kanan Naoto, membuat sang detektif wanita meringis menahan sakit.
Beberapa menit selanjutnya Rise mengganti mantel dan sarung tangan miliknya yang sudah bernoda darah dengan mantel dan sarung tangan lain yang dibawanya di dalam ransel miliknya. Setelah ia selesai dengan pekerjaannya, ia kembali melakban mulut Naoto.
"Hari ini aku melepaskanmu. Tapi itu bukan berarti kau bisa melapor ke polisi ya!" Rise menekankan jari telunjuknya yang sudah terbungkus sarung tangan wol tanpa noda darah ke dahi Naoto yang tertutup helaian biru.
"Dan kalau kau melapor atau mengatakan soal ini pada orang lain," sang mantan artis mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik dengan nada rendah, "Kau akan kubuat lebih menderita!"
Ingatan tentang penyiksaan yang dilakukan Rise pada Souji kembali menghampiri benak sang Detective Prince, membuatnya bergidik ngeri.
"Mengerti, kan?" kemudian Rise pun melenggang pergi meninggalkan Naoto yang masih terikat dengan mulut yang dilakban.
Sebelum menyelipkan tubuhnya yang ramping ke celah pintu, Rise berbalik ke arah Naoto, "Mungkin yang selanjutnya bisa jadi Kanji-kun, Kuma, Chie-senpai, Yosuke-senpai, Yukiko-senpai, atau mungkin Nanako-chan!" katanya terkikik geli. Kedua kepingan sapphire Naoto membulat mendengar kata-kata sahabatnya.
"Jaa!" Dan sosok Rise pun menghilang di balik pintu gudang yang telah tertutup.
Naoto mengalihkan pandangannya pada sesosok tubuh yang telah meregang nyawa dengan keadaan yang mengenaskan. Bulir-bulir hangat mulai menggenang di pelupuk matanya. 'Senpai…' batinnya lirih
Ingin rasanya ia meminta pertolongan. Tapi sayangnya dengan keadaannya saat ini ia tak bisa melakukannya. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja! Jadi detektif bertubuh mungil itu mencoba membuka simpul yang mengikat kedua tangannya di belakang kursi. Namun usaha itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang baik. Hingga akhirnya sang Detective Prince pun pingsan karena kelelahan.
.
.
.
*TSUZUKU*
Akhirnyaaaa chapter 3 selesai juga… *ngelap keringet* Apa adegan bloodynya aneh? Jelek? Ga cocok? Hahahaha maklum.. Kaya yang udah aku bilang sebelumnya, ini pengalaman pertama aku buat nulis adegan bloody!
Buat IMA: Heee? Baca dimana ma? Enak ajaaaaaa aku emang udah ngidein bakal kaya gitu sebelum baca ficmu tauuu. Lagian kan biar seru aja kalii
Buat DEAL FALLEN: Hahahaha boleh… Berminat buat bikin dil? :P
Buat KUROKA-san: Hehehe… Apa adegan bloodynya cukup? Semoga aja cukup deh! Oh iya, salam kenal juga! Aku Hikari! :D
Jadi Readers-san, berminat untuk review? :D