1.

"My, boy. Jaga dirimu baik-baik, oke? Kami disini selalu merindukanmu. Tak ada murid yang meninggalkan kenangan sedalam dirimu, Harry. Kami selalu berdoa kau bisa meraih cita-citamu menjadi Auror. Kalau ada waktu sempatkanlah menjenguk kami." Prof McGonagall memeluk Harry erat dan membisikkan salam terakhir padanya. Harry mengangguk dan memeluk kepala sekolahnya itu dengan haru. Prof yang lain juga memeluk Harry dengan penuh kebanggaan. Harry tak sadar meneteskan airmata saat melihat potret Albus Dumbeldore dan Severus Snape yang sekarang terpampang di Aula Besar. Ia mengangguk pelan pada kedua potret kepala sekolah Hogwart itu dan melambaikan tangan.

"Terimakasih atas segalanya, Prof." Harry mengangguk pada semua guru yang menyertai kepergiannya, lalu berlari menuju halaman sekolah. Harry tak pernah membayangkan akan segera meninggalkan Hogwart. Sekolah ini baginya seperti rumah kedua. Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Tersenyum dan memantapkan hati, Harry berlari mendatangi kedua sahabatnya yang sedang melambaikan tangan padanya.

"Maaf, bincang-bincang dan salam perpisahannya agak lama."

"Tak apa, Harry. Oh,ya! Kita harus mengunjungi Hagrid sebelum kereta kita datang. Kita hanya punya waktu 30 menit. Apa kau sudah mengepak seluruh barang-barangmu dengan teliti?"

"Yeah, mate. Mom dan Dad ikut menjemput kita di stasiun. Kita harus segera menuju tempat Hagrid lalu naik kereta tepat waktu sebelum roti apple dirumah dihabiskan Bill dan Charley." Ron mengelus perutnya dan menatap Harry melas.

"OMG, Ron. Bukankah kau tadi sudah makan banyak di Aula Besar? Kau memang mencengangkan." Harry tertawa dan memukul iseng bahu rambut merah itu, lalu menoleh pada Mione dan mengangguk. "Beres, Mione. Aku sudah mengecek barang-barangku dan tak ada yang tertinggal. Yep, mari kita menuju Hagrid."

Trio Gryfindor itu saling menatap dan tersenyum. Mereka berbarengan memandang sekolah penuh kenangan bagi trio itu.

"Aku bakal merindukan Hogwart." Hermione memeluk pundak kedua sahabatnya erat.

"Yeah, aku juga Mione. Tak ada yang bisa menghapuskan rasa bangga dan sayang kita pada sekolah ini."

"Setuju. Aku bakal merindukan berbagai macam makanan terlezat milik Hogwart."

Harry dan Mione tertawa lalu memeluk si Weasley itu gemas.

"Ayo, kita harus segera menuju Hagrid."

Trio Gryfindor itu berlari gembira.

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

"Aku pegang janji kalian, oke?"

Hermione mengangguk dan memeluk Hagrid erat. "Pasti, Hagrid. Kami takkan melupakanmu." Ia menangis terisak saat Hagrid mengelus rambutnya lembut.

"Bloody Hell. Aku sudah sekuat tenaga tenaga menahan airmataku agar tak menetes." Ron mengusap airmatanya sambil tersenyum haru.

Hagrid tertawa dan memeluk Ron. Harry berdiri dihadapan mereka sambil menggigit bibirnya erat. Mencoba tidak menangis seperti Hermione.

"Hei, Harry. Kemarilah… apa kau tak mau memberiku pelukan terakhir sebelum kau meninggalkan kami?" Hagrid mengayunkan tangannya pada Harry. Si kacamata itu mengangguk dan menghambur dipelukan Hagrid, bersama kedua sahabatnya.

"Hagrid-, aku bakal merindukanmu. Terimakasih atas segalanya."

Hagrid mengangguk-angguk sambil mengusap airmata yang sudah membanjiri pipi dan jenggotnya. "Oke. Cukup salam perpisahannya. Kalian harus segera menuju stasiun, sebelum Ron menangis kelaparan karena roti apple."

Trio Gryfindor itu terkikik dan mengangguk. Mereka kemudian berbalik dan meninggalkan Hagrid. "Dah, Hagrid. Jaga dirimu baik-baik, oke!" Hermione menoleh dan melambaikan tangannya.

"Pasti. kalian juga, ya! Jaga diri baik-baik!"

Harry menoleh untuk terakhir kalinya dan tersenyum menahan tangis. "Bye, Hagrid!"

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

Harry memicingkan matanya saat melihat seseorang sedang berdiri menghadap danau Black di halaman sekolah. Si kacamata itu berhenti berjalan dan mengamati orang itu dalam diam.

"Harry, ada apa?"

"Umh, kalian duluan saja. Aku ada perlu sebentar."

Ron mengernyitkan dahi saat melihat Harry berlari menuju halaman sekolah. "Kurasa, barangnya ada yang tertinggal."

Hermione terkikik dan memeluk pundak Ron. "Kurasa bukan. Ada yang lebih penting dari itu, mungkin. Ayo, kita akan menunggu Harry di kompartemen saja."

Ron menaikkan alisnya penasaran. "Tunggu! Apa yang lebih penting itu, Mione?"

"Hm, no idea." Ia tersenyum dan menarik Ron menjauh sebelum si rambut merah itu menyadarinya.

Harry berlari terengah-engah menghampiri lelaki itu. Ia kemudian bernafas lega saat melihatnya berdiri membelakanginya.

"Syukurlah,*Huf* kau masih disini, *huf* Malfoy."

Si pirang itu menoleh kaget dan membelalakkan matanya.

"Potter? Apa yang kau lakukan disini? Bukankah kau akan tertinggal kereta?"

Harry tersenyum nyengir dan menggeleng. "Kurasa masih ada 15 menit lagi sebelum peluitnya berbunyi."

Draco mengangkat alisnya heran. "Well, ada perlu apa sang penyelamat dunia sihir mendatangiku hingga terengah-engah seperti itu?"

"Umh, aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal dan selamat."

Draco menaikkan kedua alisnya. "Selamat?"

Harry tersenyum kikuk dan mengulurkan tangannya. "Aku dengar kau bertunangan dengan Astoria Greenggrass. Ginny yang memberitahuku. Ia juga ingin memberi salam untukmu."

Senyumnya menghilang saat Draco tak meraih tangannya, tetapi malah memandangnya sinis.

"Pergi, Potter. Aku tak ingin menerima selamat darimu atau kekasih kecilmu itu." Si pirang itu berjalan melewati Harry dengan dingin, membuat Harry menelan ludah nervous.

"Aku hanya mencoba menyapamu, Malfoy. Kau tak perlu membalasku dengan dingin seperti itu." Harry membalik badannya dengan kesal dan menemukan bahwa Draco berhenti melangkah. Harry menelan ludah saat melihat punggung Draco gemetar.

"Untuk apa menyapaku?, aku sudah cukup merasa rendah saat kau menyelamatkanku dan ibuku di Wizengamot. Aku tak mau lagi berurusan denganmu dan kebaikan hatimu, Potter. Kalau kau berpikir bahwa aku akan terenyuh dan mencium kakimu karena kau telah menyelamatkanku. Sia-sia dan percuma."

Harry merasa hatinya tersayat mendengar perkataan Malfoy. Ia menggenggam tangan erat, mencoba menahan diri.

"Dengar, Malfoy. Aku tidak ada maksud sekalipun untuk membuatmu rendah dan lain-lain. Aku bersaksi di persidangan hanya punya maksud satu. Menyelamatkan kejujuran." Harry mencoba mengatur nafas saat berbicara. Ia merasa terbakar amarah saat mendengar kata-kata Draco yang penuh kebencian padanya.

Si pirang itu akhirnya membalik badan dan menatap Harry tajam. "Benarkah? Oh, orang seperti apa kau ini, Potter? Hatimu benar-benar tulus dan lembut. Aku tahu didalam hatimu yang terdalam kau tertawa dan menari gembira ketika akhirnya kau membuat keluargaku berhutang budi padamu. Benar-benar menyedihkan." Draco menaikkan sudut bibirnya dan tersenyum menghina.

"Cukup, Malfoy! Berhenti mengomporiku! Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal padamu dan rasa dendammu yang menyedihkan! Oke, kalau kau tetap membenciku dan sebagainya. Asal kau tahu." Harry mengacungkan jari telunjuknya pada wajah Draco. "Aku tak mengharapkan kau mencium kakiku dan berharap keluargamu membalas budi padaku. Shit! Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku tak menyalahkanmu, idiot! Kau tak bersalah! You so fucking innocent, stupid!"

Draco berdiri terdiam dan membelalakkan mata. Ia membuka mulutnya pelan lalu urung dan menggigit bibirnya. "Stop, Potter. Hentikan."

Harry menutup matanya dan menghela nafas. "Maaf, Malfoy. Aku tak bermaksud berkata kasar padamu." Harry memijat bekas lukanya dengan pelan. "Oke, terserah kau berpikir apapun tentangku. Aku tak peduli. Aku sudah lelah dengan permusuhan kita selama ini dan hanya bermaksud menyudahinya. Selamat tinggal, Malfoy." Harry menatap si pirang itu untuk terakhir kalinya dan mencoba tersenyum tulus. "Jaga dirimu baik-baik."

Draco sontak mengangkat kepalanya dan menatap Harry kaget. Si rambut hitam dihadapannya hanya mengangkat pundak malas. "Well, pada akhirnya akan selalu seperti ini." Dengan salam terakhir itu, Harry berbalik dan berlari meninggalkan Draco yang berdiri memandangnya pergi.

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

7 tahun kemudian.

"Wow! Ini sangat luar biasa, Harry! Indah sekali!"

Harry mengangkat pundaknya dan tersenyum malu. "Apa kira-kira Ginny akan menyukai cincin ini, Mione?"

Hermione menggeleng kepala mantap, membuat Harry sedikit merasa sakit hati. "Luar biasa, tetapi tidak cocok untuk Ginny?"

"Idiot!" Hermione tertawa kecil lalu menepuk pundak sahabatnya. "Aku menggeleng itu maksudnya Ginny akan benar-benar menyukainya!"

Harry mengangguk tak mengerti sama sekali dengan bahasa tubuh wanita. "Umh, well. Kedengarannya bagus."

"Kapan, Harry?"

"Hah? Umh, apanya?"

Hermione tersenyum manis. "Kapan kau akan melamarnya?"

"Oh, aku masih belum tahu." Harry tersenyum bodoh dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kurasa, secepatnya?"

"Bagus! Aku akan merahasiakan ini dari Ginny. Itu maumu, kan?"

Harry mengangguk dan memeluk sahabatnya itu gemas. "Thanks, Mione. Aku tak tahu harus bagaimana kalau tidak punya sahabat wanita sepertimu."

"Bodoh." Ia tersenyum lalu menepuk punggung Harry lembut. "Kau harus bergerak cepat, Harry. Sebelum Ginny menyetujui kontrak dengan Holyhead Harpies. Kau mengerti, kan?"

Si rambut hitam itu mengangguk dan mengambil kotak cincin dalam genggaman Hermione. "Oke. Aku akan merencanakan segalanya dengan baik. Oh,ya. Jangan bilang suamimu juga dengan rencanaku ini, Mione. Aku tak yakin ia bisa menyembunyikannya dari Ginny." Hermione memutar mata lalu mengangguk mantap.

"Serahkan padaku, Harry."

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

Harry tak pernah menyangka akan bertemu dengan Draco Malfoy di Diagon Alley saat ia sedang patroli Auror. Tak ada yang berubah dengan penampilan si pirang itu. Well, kecuali ia terlihat semakin menarik. Memakai jubah beludru berwarna hitam dan berdiri tegap, tak lupa dengan sikap aristokratnya yang membuat orang menoleh memperhatikan.

"Merlin." Harry menarik nafas gugup, tiba-tiba terserang perasaan nervous yang tak penting. "Kenapa harus bertemu dengan pria ini. Menyebalkan." Harry bimbang antara menyapa atau tidak, tetapi ia lalu memutuskan mengacuhkan si pirang itu mengingat memori 7 tahun lalu yang menyedihkan di Hogwart. Ia melewati Malfoy dengan acuh, berharap si pirang itu tak menyadari atau bahkan mengingatnya. Disaat Harry tinggal selangkah berjalan melewati punggung Draco. Seorang pedagang bunga menyapanya dengan ceria.

"Tuan Harry Potter! Senang sekali bertemu dengan anda!" Harapan tinggal harapan. Harry menelan ludah pelan dan menoleh ke arah pedagang bunga itu.

"Umh, oh! Mr. Bloom, kan?"

Pedagang bunga itu tersenyum ceria dan mengangguk. "Tak kusangka anda mengingat saya. Oh, tolong terima ini, tuan Potter. Tak apa! Ini hanya sebagai rasa terimakasih karena anda mengingat nama saya." Harry mengernyitkan dahi terhibur dan menerima sebuket bunga mawar merah itu. Ia lalu mengangguk berterimakasih dan bersiap kabur secepat kilat.

"Potter?"

God.

Harry berpikir untuk pura-pura tidak mendengarkannya tetapi urung. Ia menoleh dan menemukan wajah terhibur Malfoy.

"Oh, hai- umh Malfoy. Kebetulan sekali bertemu denganmu disini." Harry merapatkan mulutnya ketika menyadari sikapnya yang terlalu ramah pada Malfoy.

Seharusnya aku pura-pura tidak mengenalnya. Itu lebih menarik.

"Hm, kurasa begitu. Senang melihatmu tetap dicintai orang-orang." Draco tersenyum nyengir sambil menatap buket bunga mawar ditangan Harry.

"Oh, ini. Umh, aku tak tahu dosa apa yang kuperbuat hingga mereka selalu memberiku sesuatu." Harry merapatkan mulutnya lagi.

Oh, tak seharusnya aku mengatakan guyonan padanya! Lihat apa yang akan ia ucapkan !

Kebalikan dari pikiran kecil Harry. Draco tertawa renyah sambil mengayunkan tangannya.

"Well, kau membuatku ikut berpikir tentang dosa apa yang kau perbuat." Draco mengibaskan rambutnya yang tertiup angin. "Senang melihatmu lagi, Potter. Sayangnya, aku tak banyak waktu. Sampai ketemu, lagi."

Harry melongo dengan sukses. Ia menatap kepergian Draco dengan perasaan tercampur aduk, kemudian ia menyadari sesuatu. Draco meremas tangannya yang gemetar.

What the hell is that?

Ron menatap Harry tak percaya. "Dia menyapamu dengan ramah?"

"Uhm-kurasa itu yang terjadi."

"Apa dia habis terbentur tembok? Atau mungkin tercuci otak?"

"Err, aku tak tahu soal hal seperti itu."

"Oh, dia pasti punya maksud tertentu, mate. Hati-hati saja padanya, kau harus mengawasinya, Harry. Ia mantan pelahap maut yang masih hidup."

Hermione memukul kepala Ron keras, membuat suaminya itu berteriak kesakitan. "Mione! Kenapa kau memukul kepalaku!"

"Berhenti berpikir seperti itu, Ron. Semua orang berubah setelah perang. Jangan mengungkit luka lama lagi. Mungkin jawabannya simple, Malfoy bukan orang yang sama seperti dulu lagi." Hermione menggeleng sambil mengisi piring Harry dan Ron dengan daging sapi asap.

"Aku hanya bercanda, Mione. Tenang." Ron sudah tak ingin melanjutkan bicaranya, ia langsung ambil ancang-ancang menghabiskan makanannya dengan cekatan.

"Yeah, kurasa kau benar Mione. Ia mungkin sudah berubah." Harry mengangguk pelan dan mulai menyantap makanannya. "Umh, apa kau tahu sesuatu tentang kehidupannya, Mione?"

Hermione menaikkan alisnya. "Malfoy? Apa kau tak pernah membaca The Daily Prophet, Harry? Kau tidak tinggal dalam gua, kan?"

"Very funny." Harry memutar mata mendengar nada suara Hermione.

"Yeah, mate. Berita tentang si pirang itu sering sekali muncul. Membuatku ingin muntah."

"Ron-"

"Er, maaf Mione."

Harry mengangkat pundak santai. "Aku tak pernah membaca Daily Prophet lagi."

Ron dan Hermione terdiam dan saling memandang satu sama lain. "Umh, well kalau kau penasaran dengan si pirang itu, kau bisa mencarinya di perpustakaan. Aku menyimpan koran dan majalah disana."

"Aku tak penasaran!"

Hermione mengangkat satu alisnya.

"Umh, yeah sedikit, sih."

"Oh, pastikan kau mendapatkan suatu informasi yang berguna, mate. Mungkin saja ia sedang dalam proses mengumpulkan pengikut-pengikut baru dan menjadi kau-tahu-siapa selanjutnya?" Ron berbisik pelan ditelinga Harry, tetapi Hermione terlalu cerdas untuk mendengarnya dan memukul kepala Ron lagi.

"Oke, oke! Aku bercanda!"

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

"Pebisnis muda Dunia Sihir dan Muggle , Real Estate, Hotel, Apartemen mewah, Mobil mewah, dan lain-lain. Shit! Apa dia salah seorang terkaya di dunia?" Harry bergumam sendiri ketika membaca artikel tentang Draco yang berserakan dan tergeletak di lantai perpustakaan Hermione.

"Tak kusangka, 7 tahun berlalu ia menjadi super kaya seperti ini. Well, mengagumkan." Harry menggeleng-geleng takjub atas penemuannya yang ketinggalan jaman. Ia kembali membuka koran dan majalah yang memuat Draco lalu membacanya dengan teliti.

"Hm, hm … oh, ia punya seorang putra?" Harry menatap foto eksklusif di majalah itu yang memperlihatkan Draco sedang memeluk putra kecilnya lalu mereka berdua tersenyum manis, senyum yang membuat jantung Harry ingin meloncat.

"Shit, tak pernah tahu si bandit kecil ini bisa tersenyum normal." Foto-foto selanjutnya memperlihatkan Draco dalam berbagai pose. Dari pose ia berangkat kerja, pose ia sedang bermain golf, pose ia sedang berenang, pose saat ia memasak di dapur…

Tunggu! Memasak di dapur? Ini guyonan, kan?

Harry tertawa ngeri saat membayangkan si pirang itu di dapur. "Well, mungkin ini hanya akal-akalan si pembuat artikel untuk menaikkan angka penjualan. Para wanita pasti tergila-gila melihatnya." Harry menggeleng kepalanya dan lalu kembali mengamati foto-foto eksklusif itu. Ia tanpa sadar, mengembangkan senyumnya setiap menemukan foto yang menggelitik pikirannya.

"Ini benar-benar tak bisa kupercaya." Harry menahan tawa melihat foto dimana putra Draco, Scorpius sedang mengganggu ayahnya yang tengah mengerjakan sesuatu di meja kerja. "Well, apa tujuan si pembuat artikel ini menampilkan foto keluarga Malfoy? Oh, tunggu. Aku tak melihat ada si Nyonya Malfoy di foto-foto ini." Harry membolak-balik majalah itu untuk mencari foto Astoria, tetapi tangannya berhenti bergerak saat membaca judul artikel dibalik foto-foto eksklusif itu.

Pria yang paling digilai wanita sekarang telah single kembali!

"Oh, dia memang pria sejati. Tampan dan kaya-"

"Aku tahu dia pasti hobi selingkuh dengan wanita lain hingga istrinya-"

"Wow, so seksi!"

"Kukira dia itu gay-"

Harry membelalakkan matanya ketika membaca judul super besar dan melebih-lebihkan itu. Apalagi saat membaca pendapat para wanita didunia sihir atas berita bercerainya pria super kaya itu dengan Astoria Greenggrass.

"Oh, ternyata ia- bercerai."

Harry mengernyitkan dahi berpikir tentang alasan Draco bercerai dengan istrinya. Setahu dirinya, keluarga Darah Murni sangat membenci perceraian. Mereka adalah darah yang menjunjung tinggi pertalian erat dan sebagainya. Pasti masalahnya sungguh pelik hingga mereka memutuskan berpisah. Harry mengangguk-angguk mengerti.

"Harry? Kau masih disini?" Hermione muncul di pintu perpustakaan sambil membawa nampan berisi minuman dan kue-kue. Harry mendongakkan kepalanya diantara tumpukan koran. "Aye! Aku masih hidup!"

"Oh, kau disana. Menemukan yang dicari?"

Hermione menaruh nampan itu dimeja disamping Harry. Si rambut hitam itu mengangguk pelan. "Kurasa, aku ketinggalan banyak berita selama ini. Aku hanya tahu berita terbaru dari John, Auror muda yang meja kantornya disebelahku. Ia sangat suka sekali berceloteh." Harry menatap Hermione dan tersenyum nyengir.

"Well, kau harus sering membaca lagi, Harry. Aku tahu kau benci jika The Daily Prophet memuat berita tentangmu tetapi kau harus-, yeah setidaknya tahu apa-apa yang sedang terjadi disekelilingmu." Hermione duduk disamping Harry dan mengambil majalah dipangkuan si Auror itu.

"Oh, kau menemukan majalah ini! Well, berita perceraian Malfoy benar-benar membuat gempar dunia sihir. Pantas the Monthly Magazine membuat edisi khusus membahas tentang ini."

Harry mendengus dan memutar matanya. "Lama-lama yang mereka bahas adalah berita yang tidak ada bobotnya sama sekali." Hermione tertawa dan melempar Harry majalah itu. "Oh, Harry! Majalah ini memang memuat berita seputar orang tampan, kaya, mode pakaian terbaru dan sebagainya! Ini majalah wanita! Maaf kalau menurutmu ini tak berbobot."

Harry membelalakkan matanya dan membaca judul majalah tersebut.

The Monthly Women Magazine

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

"Jadi, Scorpius. Sudah kau putuskan kita pergi kemana hari ini?"

Si pirang kecil itu menggeleng pelan dan menatap ayahnya lembut. "Aku tak mau keluar kemana-kemana selain bertemu mom."

Draco memijat dahinya lagi. "Dengar, anak manis. Ibumu takkan menemui atau bahkan menyentuhmu setitik debu, pun. Kau mengerti?"

"Kenapa?"

"Kita sudah membicarakan ini, ratusan kali, Scor. Oh, mungkin berjuta kali?"

Scorpius memutar matanya dan tersenyum. "Oke, aku mengerti, dad. Kalau begitu ajak aku ke toko es krim."

Draco memijat dahinya lagi. "Scor, apa kau tak merasa pusing? Kau sudah memakan hampir sekilo permen minggu ini! Sekarang kau mau makan es krim? Jangan bilang yang banyak permen cokelatnya dan meses?"

Scorpius memajukan bibirnya dengan imut lalu naik keatas pangkuan ayahnya yang sedang pusing. "Tapi, dad tidak mengijinkan aku bertemu mom. Aku hanya ingin es krim satu gelas dan kita pulang."

Draco menatap putra satu-satunya dengan gemas. Hanya tuhan yang tahu kenapa anaknya menggilai permen dan sesuatu yang manis. Oh, mungkin karena keturunan juga. Salahkan Narcissa karena dulu di Hogwarts mengiriminya permen setiap hari.

"Oke, anak manis. Sekarang ganti bajumu dan Dad akan menunggumu disini."

"Yey! Aye!"

Malfoy senior itu hanya menggeleng terhibur lalu menurunkan si kecil itu kelantai.

"Jangan berlari saat naik tangga, Scor!"

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

"Ingat, kalian bertiga. Untuk sebulan ini, aku lagi-lagi ditunjuk sebagai kepala patroli Auror. Merlin tahu aku ingin membenamkan kepala Kingsley kedalam samudera pasifik atas perlakuannya padaku." Harry berdiri dihadapan para Auror Muda yang bekerja dengannya. John, Matt, dan Alvin. Mereka bertiga tertawa kecil mendengar ketua mereka menggerutu.

"Umh, well. Kami berterimakasih pada Ministri Kingsley karena menjadikan anda sebagai ketua kami." Matt berkata dengan nada iseng.

"Oh, hentikan, Matt. Auror Potter tak seharusnya mendapatkan hukuman ini."

John mencoba membela Harry. "Tapi, kukira anda memang belum siap untuk misi yang berat, sir."

Harry memutar mata malas. "Oh, aku sudah dengar kata-kata itu ratusan kali, oh, mungkin berjuta kali? Cederaku sudah sembuh, John. Kingsley terlalu melebih-lebihkan tentang keadaan fisikku. Aku seratus persen yakin staminaku telah kembali."

Ketiga orang dihadapannya hanya mengangguk setuju. "Well, anda benar, Auror Potter. Kami lihat duel anda dengan Auror Zabini. Anda menang telak."

Harry menghela nafas dan menggeleng. "Yeah, yang penting kita harus menjalani hidup ini dengan tepat. Bukan, begitu?"

"Aye!"

"Sekarang menyebar sesuai perintah!"

Mereka membelalakkan mata kaget atas bentakan Harry dan langsung lari menyebar.

"Huff, mereka suka sekali mengobrol." Harry menggeleng kepala terhibur lalu mulai berjalan menuju Diagon Alley. Ia mengernyitkan dahi saat melihat jalan ajaib itu penuh sesak dengan para penyihir.

"Hai, Mr. Firk. Ada acara apa hingga Diagon Alley hari ini penuh sesak?"

"Oh! Tuan Harry Potter!" Si Firk itu menyalami Harry berkali-kali dengan wajah ceria. "Oh, di toko buku sana ada penulis terkenal datang. Sehingga para penyihir berbondong-bondong meminta tanda tangan dan membeli buku edisi terbatasnya."

Harry mengangguk mengerti, ia tiba-tiba ingat tahun ke-2 nya saat bertemu Lockhart di toko buku itu. Ia menyeringai lalu berterimakasih pada Mr. Firk dan mulai bertugas. Harry menerobos antrian di toko buku itu untuk melewatinya. Ia tak percaya antrian disana sampai menembus luar toko buku. Harry menggeleng heran lalu meneruskan jalannya. Ia berhenti melangkah saat mendengar suara tangisan anak kecil di samping antrian penuh sesak itu. Harry segera berlari mendatanginya.

"Hei, boy. Ssh, jangan menangis. Apa kau kehilangan ibumu?"

Si kecil itu menoleh dan menatap Harry dengan ringkih.

"Dad…dad hilang."

Oh, god.

Harry mengedipkan mata berkali-kali saat memandang si kecil dihadapannya. Tak salah lagi, rambut pirang dan mata abu-abu.

"Umh, apa kau kesini bersama ayahmu?"

"Yes, sir. Aku kehilangannya ketika kami melewati antrian disana." Si pirang kecil itu menunjuk antrian penuh sesak ditoko buku.

"Panggil aku Harry, paman Harry mungkin?"

"Paman Harry. Aku Scorpius."

"Oh, anak pintar. Sini, pegang tanganku, Scorpius. Mari kita cari ayahmu." Harry menggandeng lengan kecil Scorpius dan mengajaknya berjalan.

"Bolehkah aku minta digendong?"

Harry berhenti berjalan dan memandang Malfoy kecil disampingnya dengan kaget. "Umh, gendong? Tentu." Ia menunduk dan mengangkat tubuh enteng itu lalu memeluknya. "Nah, sekarang kita bisa dengan mudah mencari ayahmu, kan? Bisa melihat wajah orang-orang dari sini?"

Scorpius tertawa kecil lalu mengangguk. "Paman Harry tinggi sekali. Lebih tinggi dari Dad." Harry mengernyitkan dahi. "Benarkah? Kurasa ayahmu lebih tinggi dariku."

"Oh? Paman kenal dengan ayahku?"

Harry menatap Malfoy kecil itu dan tersenyum. "Yah, begitulah. Kami mu- teman satu sekolah." Hampir saja kata musuh muncul dari bibir Harry.

"Oh? Itu bagus! Kita bisa makan es krim bersama!" Scorpius menepuk kedua tangannya dengan semangat, membuat Harry tertawa gemas. "Tapi, kita harus menemukan Dad dahulu."

Harry mengangguk setuju lalu mulai mencari kepala si pirang itu. Saat ia menoleh kearah kanan, tiba-tiba Scorpius mencengkram lehernya dan berteriak senang.

"Itu Dad! Itu disana!" Harry menghela nafas lalu melambaikan tangannya. "Ayo, Scorpius. Lambaikan tanganmu seperti ini."

Si pirang kecil itu mengikuti gerakan Harry sambil meneriakkan nama ayahnya.

"Daddy! Aku disini!"

"Woi, Malfoy!"

Draco menoleh kanan kiri panik mencoba mencari asal suara kecil memanggil namanya. Ia akhirnya menemukan rambut pirang Scorpius bersama seorang pria.

"Oh, Merlin. Scorpius! Aku benar-benar khawatir saat kau menghilang!" Draco terengah-engah lalu mencium pipi Scorpius dengan gemas. "Kemana saja kau-" Draco berhenti berkata saat sadar pria yang menggendong putranya adalah Harry Potter.

"Hai, Malfoy." Harry tersenyum bodoh saat melihat adegan Draco mencium putranya yang masih ada dipelukannya. Entah kenapa adegan barusan mengingatkan Harry akan film Muggle tentang keluarga.

"Potter-"

"Dad! Paman Harry menemukanku! Kita bersama menemukanmu!" Scorpius meloncat-loncat dipelukan Harry membuat si Auror itu tertawa kecil.

"Oh, Scorpius. Kalau kau meloncat seperti itu, kau bisa jatuh." Harry mencoba menahan Scorpius dengan mempererat pelukannya.

"Dad! Ayo kita makan es krim!" Scorpius menepuk pipi ayahnya yang masih terdiam memandang mereka. "Dad?"

"Oh, ah. Baiklah. Kalau paman Harry-mu tidak sibuk?" Draco mengalihkan matanya pada Harry yang sedang memandangnya aneh. "Potter?"

Harry mengedip kaget saat mendengar namanya dipanggil oleh Draco. Ia tak sadar sedang mengamati wajah mantan musuhnya itu sambil melongo. Sontak, Harry meraba sudut bibirnya, takut tanpa sadar ia meneteskan liur.

Oh, Merlin. Untung aku tak mengiler. Tunggu? Kenapa juga aku terpesona melihat wajah Malfoy?

"Uh, oh. Aku, aku sedang dalam tugas patroli Auror, Scorpius. Jadi-"

"Tak bisa?" Scorpius memandang mata Harry dengan sedih.

"Kalau paman Harry-mu tidak bisa, jangan memaksa, Scor. Dia sedang bekerja."

"Benarkah paman tak mau ikut aku dan Dad makan es krim? Es krimnya enak sekali, loh. Iya, kan Dad?"

Harry menahan tawa mendengar Malfoy kecil itu mencoba membujuknya. Lalu, ia menoleh sekali pada Draco. "Benarkah aku tak apa-apa mengganggu diantara kalian?"

Draco menatapnya dan tersenyum. "Suatu kehormatan bagiku mentraktirmu, Potter. Dan kurasa, anakku mulai terkena virus cinta Harry Potter."

Harry memutar mata dan menatap Draco serius. "Tolong jangan bilang seperti itu, Malfoy."

"Oh, oke. Takkan kuulangi."

Scorpius memandang mereka berdua bergantian dengan senyum hingga mereka masuk toko es krim. Draco lalu mencari tempat duduk yang nyaman untuk mereka.

"Nah, Scorpius. Duduk dengan tenang disamping paman Harry, oke?"

"Yes, sir!"

Harry tersenyum geli dan mengusap rambut si pirang kecil itu lembut. Lalu, ia menoleh pada Draco saat ingat tujuannya ikut mereka ke toko es krim.

"Oh, Malfoy. Aku ingin bertanya-"

Harry menutup mulutnya reflek saat menatap Draco. Si pirang itu mengamati Harry dengan seksama, hingga si Auror itu merasa bulu kuduknya berdiri.

A-apa Draco sedang mencoba mengintimidasiku? Tunggu, kenapa pipiku terasa panas?

"Hm? Bertanya apa, Potter?"

"Oh, umh. Lupakan. Tak penting." Harry menggaruk rambutnya yang tak gatal lalu mengalihkan pandangan matanya.

Oh, kenapa si pirang sialan ini bisa membuatku begini gugup…

Scorpius reflek berdiri dikursi dan meloncat-loncat saat melihat pelayan wanita mendatangi meja mereka.

"Sudah siap untuk memesan?"

"Siap! Kami siap!"

"Scorpius, duduk dikursimu dengan manis, atau aku akan menyeretmu keluar."

Scorpius memajukan bibirnya lalu duduk dipangkuan Harry. "Oke, Dad."

Draco berdehem lalu menatap Scorpius lembut. "Scorpius, duduk dikursimu. Bukan dipangkuan paman Harry."

"Tak apa, Malfoy. Aku tidak keberatan. Nah, anak manis. Kau mau pesan apa?"

"Vanilla, Cokelat, Strawberry, dan Melon! Satu gelas!"

Pelayan yang mencatat pesanan mereka terkikik kecil. "Mau dengan hiasan cokelat, permen, atau meses?"

"Jangan bilang semuanya, Scor-"

"Semuanya! Aku mau semuanya!" Draco mengerang lalu menutup mukanya ketika Scorpius meloncat-loncat dipangkuan Harry.

Harry tertawa terhibur dan mencubit pipi Malfoy cilik itu gemas. "Oh, aku tahu kenapa pipimu begitu tembem seperti ini. Dasar kau monster kecil. Oh, aku sama dengan si kecil ini."

Draco membuka tangannya dan membelalakkan mata pada Harry yang sedang tersenyum bodoh.

"Umh, aku juga suka es krim, Malfoy."

"Oh, dasar kau si monster besar." Draco tersenyum nyengir dan memandang Harry dengan tatapan aneh yang membuat si Auror itu menelan ludah nervous.

Apa barusan si Malfoy mengedip padaku?

"Baiklah, dan anda Tuan Malfoy?"

"Oh, aku tidak. Tambahkan satu sendok saja. Aku akan mengganggu makanan mereka berdua."

Scorpius dan Harry membuat suara 'yaah' yang panjang, membuat si pelayan tersenyum geli dan Draco tersenyum nyengir.

"Baiklah, pesanan akan datang 3 menit lagi." Pelayan itu bersiap-siap meninggalkan meja, tetapi ia kemudian membalik badan dan mengedip pada Harry dan Draco. "Kalian cocok menjadi keluarga." Lalu dengan santai, pelayan wanita itu menghilang.

Harry dan Draco hampir berbarengan membuka mulut tetapi kemudian sama-sama menutup mulut. Menit selanjutnya, mereka saling terdiam dalam keadaan tak enak. Hanya Scorpius yang terlihat semangat dan meloncat-loncat di pangkuan Harry menunggu es krim porsi besarnya datang.

"Keluarga! Keluarga!" Draco menutup mukanya sekali lagi. Menyerah memperingatkan Scorpius untuk menutup mulutnya dan duduk tenang.

"Nah, inilah es krim yang kalian tunggu." Pelayan itu datang lagi membawa dua gelas besar berisi es krim dengan berbagai macam warna dan hiasan, lalu memberi 3 sendok disamping gelas itu. "Selamat menikmati."

Belum sempat Harry berterimakasih, pelayan itu telah ber-apparate dengan kilat.

"Er, mari kita makan."

"Mari kita makan!"

oOoOoOoOoOoOoOoOoOo

Author's Note.

Jreng-jreng! Ini dia! The new story tentang Auror kita! Semoga kalian suka, ya! Hmhm, aku paling suka kalau Harry jadi Auror. Dia terlihat tampan dan gagah dengan jubah kremnya dan rambut cepak maskulin. Apalagi kalau sudah pakai t-shirt hitam yang biasa dipakai untuk latihan pagi Auror, wow… six packnya pasti membuat Draco drooling. *Hohoho* ehem, hanya khayalan saya saja.

Nah, selamat menikmati dan tinggalkan review kalian, ok?

TBC.