7.
Harry berdiri disamping jendela memandang taman bunga Malfoy Manor dalam diam. Ia menghela nafas lagi saat membaca surat yang baru ia terima pagi ini.
Harry,
Kau ada dimana sekarang? Aku barusan sampai di Grimauld Place dan tak menemukanmu dimana-mana.
Coba tebak! Aku membawa berita gembira! Aku diterima Holyhead Harpies, Harry! Kontrak awal selama 5 tahun! Hanya sehari proses wawancara dan tes aku sudah dinyatakan lulus. Aku tak sabar bertemu denganmu dan merayakan ini, Harry. Siang ini aku masih ada wawancara dengan The Daily Prophet, aku harap kau bisa mengajakku makan malam (untuk pengganti makan malam yang tertunda). Aku menunggu jawabanmu.
Dengan rindu,
Ginny.
"Harry…"
Harry meremas surat itu dan memasukkannya disaku celana jeansnya. Ia tak sadar tersenyum geli saat Draco mengucek matanya malas dan menguap pelan. Senyumnya menghilang saat ia mengingat kembali surat dari Ginny.
"Hm, Harry?" Draco mengedipkan matanya yang lelah saat mencari sosok Harry diseantero kamar. Ia tersenyum manis saat menemukan Harry berdiri disamping jendela memandangnya. "Kau disana…"
Rambut pirang milik Draco bersinar lembut ketika terkena sinar pagi matahari, memantulkan warna platinum tipis. Harry ingin menyimpan segala memori tentang Draco selengkap mungkin. Ia membalas senyum Draco, "Tidurlah lagi, Draco. Hari ini kau libur bukan? Kau pasti lelah karena akhir-akhir ini aku selalu mengganggu tidurmu."
Draco tersenyum mengantuk. Ia menarik selimut yang menutupi tubuh pucatnya dan memeluk bantal dengan erat. Harry tersenyum geli dalam hati. Ia bakal merindukan semua gerakan Draco, senyumnya, kata-kata sinisnya, suara tawanya yang selalu membuat Harry bahagia, dan sentuhan lembut miliknya saat menyentuh Harry, dan juga desahan nafasnya, lembut tubuhnya, air matanya yang menetes setiap ia mengucapkan kata 'I love you'.
Dadanya serasa tertusuk belati.
oOoOoOo
Harry membalas surat Ginny saat ia sudah duduk di sofa favorit miliknya. Ia merasa bahagia Ginny akhirnya diterima di tim Quidditch favoritnya, tetapi disisi lain ia juga kecewa. Rasa kecewa yang takkan bisa ia tulis di surat balasannya.
Ginny,
Selamat! Selamat! Aku ikut bahagia kau diterima di Hollyhead. Tentu saja kita harus merayakannya. Untuk tempat makan malamnya, kau saja yang memutuskan dimana. Hubungi aku jam berapa kau senggang.
Salam rindu,
Harry
Pigwidgeon ber'oho pelan saat ia bersiap terbang mengantarkan surat balasan dari Harry. Auror itu menatap kepergian burung hantunya dengan hati kacau. Ia harus segera memutuskan sesuatu.
oOoOoOo
"Bos, nanti malam ada pertemuan dengan Nona Laura."
Draco memandang berkas-berkas dihadapannya dengan bosan. Ia hanya mengangguk pelan setiap sekertarisnya itu mengucapkan sesuatu.
"Ia ingin mengundang anda datang makan malam bersamanya."
Lagi-lagi Draco hanya mengangguk.
"Bos..."
"Hm?"
"Anda menerima undangan makan malamnya?"
Si pirang itu baru sadar dari lamunannya. Ia meluruskan duduknya lalu berteriak tertahan ketika pantatnya terasa nyeri.
Shit, Potter.
"Anda baik-baik saja?"
Draco mengernyit menahan sakit sambil mengibaskan tangan pada Stewart. "Yeah, yeah. Bilang iya pada Laura. Tempat dan waktunya biar dia yang memutuskan. Malam ini aku senggang. Kau boleh pergi, Stewart. Aku ada rencana mengajak Scorpius keluar siang ini."
Stewart mengangguk. Dengan penghormatan, ia lalu berbalik keluar dari ruang kerja Draco.
Stewart berdiri terdiam didepan pintu. Ia masih penasaran dengan sikap bosnya yang berubah 180 derajat. Tak pernah ia menemukan bosnya itu melamun ketika bekerja. Akhir-akhir ini, bos nya sering tak berkonsentrasi. Apalagi ketika mereka berdua menghadiri acara Ministry kemarin malam. Ia seperti...teralihkan dengan kehadiran seseorang.
Stewart mengernyit berpikir.
"Tetapi, siapa dia?"
Suara apparate mengganggu pikiran Stewart. Ia menoleh kesamping dan menemukan seorang Pansy Parkinson berjalan kearahnya.
"Ms. Parkinson." Stewart menunduk hormat pada wanita berambut hitam itu.
"Stewart. Draco ada didalam?"
"Ya."
Pansy ber-hum ria lalu melenggang masuk. Tepat ketika ia mendaratkan tangannya diknop pintu, Pansy menoleh dan mengedip kecil padanya.
"Kau tampan seperti biasa, Stewart."
Stewart tak bisa menyembunyikan sedakannya. Lalu, wanita itu tertawa kecil melihat reaksinya. "Dan, cute."
Stewart menunduk hormat lalu segera mengambil ancang-ancang kabur. Ia tak bisa lama-lama berada satu ruangan dengan wanita itu. Bagaimana kalau Pansy tiba-tiba mencoba menciumnya? Oke, mungkin itu agak ekstrim untuk menggambarkan kepribadiannya. Tapi, itu yang terjadi terakhir kali ia bertemu dengan Pansy!
"Slytherin..." Stewart komat-kamit ketika ia ber-dissaparate.
oOoOoOo
Harry hanya mengangguk setiap Hermione mengatakan sesuatu. Ia... tak begitu mengerti dengan apa yang dikatakan sahabat wanitanya itu.
"Dengar, Harry. Kau harus menatap matanya ketika berbicara. Jangan sampai kau membuatnya berpikir bahwa kau sedang melamar wanita yang duduk disebelah kalian. Fokuskan pandangan matamu pada Ginny."
Auror itu mengangguk pelan.
"Lalu, ingat. Kau harus..."
Suara Hermione tak terdengar lagi ketika bayangan Draco berkelebat dalam pikirannya. Dalam hati kecil Harry, ia tak ingin melamar Ginny. Wanita yang dulu ia idam-idamkan untuk jadi istri masa depannya. Wanita yang akan melahirkan anak-anak mereka. Wanita yang akan menyambutnya dirumah dengan senyum lembutnya.
Harry sadar ia haus kasih sayang. Ia ingin membuat keluarga dengan Ginny karena wanita itu yang dulu mengisi kesendiriannya ketika Draco mengabaikannya. Ginny yang manis, Ginny yang ceria, Ginny yang tomboy. Ia sempat menyukai wanita itu, tetapi setiap melihat pria berambut pirang, otaknya tak bisa berhenti memikirkan apapun selain Draco Malfoy.
7 tahun bersama dengan Ginny, Harry belajar banyak hal. Pengorbanan, kesetiaan, persahabatan. Tapi, bukan cinta.
Harry menghentikan pikiranya ketika suara Hermione tak lagi terdengar. Harry menatap wajah sahabatnya itu di perapian, dan menemukan bahwa Hermione sedang menatap wajahnya lekat.
"Er, sorry. Aku sedikit...melamun. Lanjutkan?"
Hermione menghela nafas. Ia lalu menggeleng kecil.
"Sejak wajahmu muncul diperapian, Harry. Aku tak melihat pikiranmu juga ada disini. Kau sedang memikirkan sesuatu...atau seseorang."
Harry menelan ludah secara rahasia.
"Apa maksudmu?"
Hermione lagi-lagi hanya menatap matanya lekat, membuat Harry mau tak mau memalingkan pandangan matanya. Bagaimana kalau Hermione ternyata bisa Legilimens? Harry mulai berdiri tak nyaman.
"Aku ingin kau bahagia, Harry."
Suara yang begitu tulus itu membuat Harry kembali menatap mata sahabatnya itu. Hermione tersenyum kecil ketika melanjutkan perkataannya. "Aku selalu mendoakan kebahagiaanmu."
Harry menatap mata sahabatnya itu lebih lekat. Ia berharap bisa legilimens sekarang.
Apa Hermione tahu? Tentang Draco?
Harry tak bisa menanyakan hal itu ketika suara Ron bergema dibelakang Hermione.
"Honey, aku pulang! Aku tak sabar bertemu dengan si kecil Rose! Oh, ada kalkun bakar!"
Hermione menoleh ke arah pintu dimana suara Ron datang lalu memandang Harry lagi dengan ekspresi malu-malu. Harry tahu hal itu. Ia tersenyum nyengir pada sahabatnya itu.
"Aku mengerti. Sana, datangi suamimu. Kurasa ia begitu kangen denganmu, bukan dengan Rose kecil. Oh, tak usah malu, aku tahu."
Hermione memicingkan mata diantara pipinya yang memerah. Ia lalu menggeleng pelan dan balik berteriak pada suaminya.
"Sebentar lagi aku datang, Ron!"
Dan suara balasan Ron semakin membuat wajah Hermione memerah. "Aku tunggu dikamar kita!"
Harry tak bisa menahan ketawanya ketika Hermione melotot padanya. Lalu, Hermione tba-tiba memandang Harry dengan ekspresi serius, membuat cengiran diwajah Harry menghilang. Tangan Hermione terjulur keluar dari perapian dan meremas tangan Harry lembut. "Ingat, Harry. Kami selalu mendukung apapun yang terbaik bagimu dan kebahagianmu." Hermione tersenyum manis dan memijat tangan dingin Harry. "Sampai ketemu, besok!" Dengan kata-kata penutup dari Hermione itu, jaringan floo berhenti.
Mendukungku. Harry meremas kedua tangannya. Bagaimana reaksi Ron saat tahu aku berselingkuh dibalik punggung adiknya dengan Draco Malfoy? Dan Hermione... kurasa ia tahu.
Harry merasa tangannya semakin dingin. Ia sadar. Hubungan yang ia pertahankan dengan Ginny bukanlah hubungan yang sehat. Harry tak ingin menyakiti kedua orang yang disayanginya. Ia tak ingin menyakiti kedua sahabatnya juga. Harry harus memutuskan sesuatu.
oOoOoOo
"So, apa Potter sekuat singa diatas kasur? Seperti Gryfindor sejati?"
Draco sontak menyemburkan teh yang setengah ia minum tepat diwajah Pansy. Dengan cekatan, wanita Slytherin itu merapal mantera perisai dihadapannya, sehingga semburan Draco tak sampai merusak jubah sutra mahal miliknya.
"Hm, kurasa jawabannya iya." Ia terkikik pelan ketika melihat wajah Draco yang tiba-tiba memerah padam.
"Blaise. Mulut besar." Draco komat-kamit.
Pansy tersenyum nyengir ketika Draco menatapnya penasaran. "Hm. Begitulah. Tapi ia tak menceritakan tentang bagaimana kalian berdua diatas kasur. So, ceritakan padaku, Draco honey."
Draco mendengus. Ia ingin menutup mulut Pansy dengan vas bunga yang ada disamping meja kerjanya, tetapi tetesan teh yang menggelincir dari dagunya menuju celana kasmirnya mengurungkan niat. Ia segera mengusap tetesan teh itu dengan lengan baju.
"Iw, belum genap seminggu bersama Potter. Kau sudah berubah menjadi Gryfindor jorok. Oh, aku tak ingin tahu tentang metode apa yang dipakai Potter padamu."
Draco hanya bisa melotot pada wanita dihadapannya itu. Ia mendengus lagi lalu merapal mantera pembersih di atas meja dan berkas-berkas penting miliknya, lalu balik memandang Pansy malas.
"Tak ada yang perlu kuceritakan padamu."
"Oh, melihat merah padamnya pipimu, kurasa ia sekuat naga."
Draco melempar pandangan mematikan pada Pansy. Entah kenapa, omongan Pansy yang bermaksud mengomporinya berhasil dengan sukses. Ia merasa sesuatu dibalik celananya mengeras membayangkan Potter sekuat...naga?
Oh, god. Merlin.
"Draco...kau melamun lagi. Aku masih ada disini, bodoh. Dan aku bukan Potter. Berhenti melihatku seperti itu."
Draco segera mengedipkan mata sadar. Ia menggeram kesal ketika Pansy memandang wajahnya terhibur. "Stop, menghinaku, Pans! Fine! Aku helpless! Aku tergila-gila dengan Potter! So what?" Si pirang itu merapatkan kedua tangannya didada. "Seperti kau tak pernah jatuh cinta saja, ha?"
Pansy terkikik pelan melihat reaksi Draco yang berlebihan. "Oh, aku tahu Draco honey, kau benar-benar helpless. Maka dari itu aku datang padamu. Apa gunanya sahabat wanita kalau tidak untuk berbagi tips dan trik?"
Draco, pertama kalinya merasa kehadiran Pansy berguna juga.
oOoOoOo
Harry tersenyum ketika melihat Ginny keluar dari The Burrow dan menghampirinya yang sedang berdiri didepan rumah keluarga Weasley. Ia terlihat cantik dengan gaun putih mawar, dan sebuah syal merah hadiah dari Harry natal tahun lalu menutup leher putihnya. Ginny tersenyum manis menghampiri Harry dan membiarkan tangannya dicium lembut oleh sang penyelamat dunia sihir itu.
"Kau...terlihat mengagumkan."
Ginny tersenyum lagi lalu mencium pipi Harry lembut. "Tak ingin bertemu Ayah dan Ibu?"
Harry memandang jendela, tersenyum sopan ketika kedua senior Weasley itu menggerakkan tangan mereka sebagai isyarat agar segera mengajak Ginny pergi. Ia lalu menggeleng pelan.
"Kurasa, mereka ingin aku segera pergi dari sini."
Ginny tertawa kecil lalu mengangguk. Ia mengalungkan tangannya dilengan Harry dan memandang mata hijau itu. "Kau tahu restoran itu, kan Harry?"
Harry mengangguk. "Kau siap?"
"Kapanpun."
Proses apparate yang tak terlalu membuat mual, mereka berdua tiba dilorong kecil disamping jalan utama kota London. Harry menuntun langkah mereka menuju restoran prancis tak jauh dari situ. Seorang pelayan beraksen prancis mendatangi mereka berdua didepan pintu restoran.
"Ms. Ginny Weasley dan Monsieur Harry Potter, mari ikuti saya."
Ginny tersenyum pada Harry ketika Auror itu terkaget memandang dekorasi restoran yang mencolok matanya itu.
"Indah, bukan Harry?"
Harry cepat-cepat tersenyum setuju.
Pelayan itu mengantar mereka disebuah meja dekat kolam air mancur. Harry dan Ginny lalu duduk berhadapan dimeja nyaman itu dan mulai memesan menu. Ginny mengoceh panjang lebar menjelaskan setiap menu direstoran itu yang menurutnya terbaik, tak heran karena ia sering bersama Fleur. Wanita Prancis itu pengagum makanan lezat, membuat Ginny sedikit tahu tentang masakan-masakan Prancis. Harry mengikuti saja apa yang disebut Ginny dengan bahasa Prancis fasih. Ia berharap uang muggle yang ia bawa cukup untuk perjalanan mereka direstoran mahal ini.
Sambil menunggu Ginny selesai menyebutkan nama-nama menu itu, ia mengamati sekitar dengan kekaguman. Meski terlihat berlebihan bagi Harry, tetapi dekorasi restoran itu bisa menampilkan suasana Prancis dengan bagus. Tempat yang cocok untuk melamar seseorang.
Harry merasa kerongkongannya tiba-tiba kering mengingat hal itu. Malam ini adalah malam perayaan keberhasilan Ginny. Harry setuju untuk tidak mengungkit masalah lamaran itu. Ia sudah menyusun rencana lain.
"Harry? Bagaimana pendapatmu?"
Harry kembali lagi dari dunia pikirannya. Ia mengangguk cepat. "Apapun. Aku ikut apa yang kau pilih."
Ginny mengangkat alisnya tak mengerti. "Aku bertanya tentang pendapatmu apakah anak Ron dan Hermione adalah perempuan."
Oh...
Harry tersenyum bodoh. "Eum, yeah. Aku juga merasa bayi yang bakal lahir adalah perempuan." Auror itu baru sadar bahwa Ginny telah selesai memesan makanan. Ia mencoba tersenyum manis pada Ginny, meyakinkan dia bahwa ia tidak mengacuhkannya.
"Hm, kurasa begitu." Ginny terlihat sedikit bingung dengan sikap Harry, tetapi ia tidak menunjukkannya. Lalu, Ginny mulai meneruskan cerita tentang latihan pertamanya dengan Holyhead Harpies. Harry mencoba mendengarkannya dengan baik.
Entah kenapa, suara milik pelayan yang menjaga pintu restoran lebih menarik perhatiannya. Harry mencoba mengangguk tiap Ginny menceritakan sesuatu yang butuh perhatiannya, tetapi ketika si Weaslette itu sibuk dengan gaunnya, Harry mencuri pandang melihat tamu yang akan memasuki restoran.
Harry diam membeku ketika melihat siapa tamu itu.
Draco...?
Dengan seorang wanita.
Ginny menghentikan ceritanya ketika Harry tak menggubrisnya. Ia menaruh tangannya diatas tangan Harry untuk membuatnya memperhatikan. "Harry..."
Pria dihadapannya sontak menatap Ginny kaget. Sepersekian detik, Ginny yakin wajah Harry memerah...marah?
"Harry? Ada apa?"
Auror itu terdiam, lalu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Aku...aku ingin kekamar mandi. Ijinkan aku..." Harry sontak berdiri lalu mengangguk kecil dan melenggang menuju kamar mandi, meninggalkan Ginny disana dengan ekspresi tak mengerti.
Draco, dari mejanya, bisa melihat semua kejadian itu. Ia memandang Weaslette dengan iba.
Well...Harry terkejut. Indeed.
oOoOoOo
Harry membuka kran dengan paksa, meskipun tanpa paksaan pun kran itu bisa mengucur dengan mudah. Tetapi emosinya tak bisa reda jika ia tak menghancurkan sesuatu. Harry membasahi mukanya berkali-kali. Ia harus tenang.
Ya, aku harus tenang.
Harry mencoba menghilangkan perasaan tak nyaman ketika melihat Draco bersama seorang wanita cantik itu. Ia...yakin Draco tak tahu bahwa Harry ada disana. Tetapi tetap saja, kenapa si pirang itu harus bertingkah sebegitu gentlemannya terhadap wanita cantik itu? Mempersilahkannya duduk, mencium punggung tangan, dan tertawa?
Fuck!
Harry mengepalkan tangannya dan meninju cermin dihadapannya. Auror itu memicing ketika darah mengucur dari buku jarinya, menetes membasahi wastafel. Ia terengah-engah ketika mencoba menenangkan diri.
"Fuck..."
Harry menutup matanya. Ia harus tenang. Ia tak bisa berhadapan dengan Ginny dengan wajah dan luka seperti ini.
Lupakan Draco sejenak.
"Harry?"
Auror itu menoleh kearah suara itu berasal. Draco Malfoy, sedang berdiri didepan pintu kamar mandi dan menatapnya dengan mulut terbuka. "What the hell! Apa yang kau lakukan?" Dengan ekspresi panik, si pirang itu berlari mendatangi Harry dan mencengkram pergelangan tangan kanan Harry. "Fuck. Kau melukai tanganmu. Idiot!" Ia merapal mantera penyembuh ditangan Harry. Auror itu mengernyit ketika lukanya menutup sempurna. Ia memandang mata khawatir Draco dengan lekat.
"Apa yang kau lakukan disini, Draco?"
Draco mengedip mendengar pertanyaan Harry. Ia lalu memalingkan mata dan melepas tangan Harry, tetapi Auror itu dengan sigap menangkap tangan lembut itu. Draco terpaksa menatap mata hijau dihadapannya.
"Bisnis."
Harry terdiam mendengar jawaban Draco. Ia mempererat cengkraman tangannya. "Oh, bisnis? Kurasa kau sukses membuat wanita itu salah paham mengira acara bisnismu dengan kencan?"
Si pirang itu mengernyit ketika merasa Harry mencengkram tangannya terlalu keras. Ia mendengus pelan. "Kurasa tak ada masalah selagi kau juga menikmati kencanmu dengan Weaslette disana, bukan? Kita impas, Potter."
Belum sempat Harry membalas perkataannya, Draco menarik dasinya dan menyerang bibirnya dengan ciuman ganas. "Fuck! Aku benar-benar kesal melihatmu dengan Weaslette itu. Apalagi ketika melihatmu menatapnya tanpa beranjak..." Draco menghentikan omongannya ketika Harry balik mendorong tubuhnya diwastafel dan menciumnya beringas.
"Kau pikir aku tidak kesal, hah?" Harry mengangkat tubuh Draco diatas wastafel dan menggigit lehernya, membuat Draco berteriak tertahan. "Melihat tingkahmu yang membuat wanita itu tak bisa lepas menatapmu dengan nafsu?" Harry mendekat ditelinganya dan berbisik pelan. "Kau sengaja, bukan? Kau sengaja membuatku marah."
Kau mengetesku.
Draco menahan nafas ketika seluruh tubuhnya bergetar. Ia menggeleng bohong. "Jangan terlalu percaya diri, Potter." Si pirang itu mendorong tubuh Harry untuk menatap matanya. "Tidak semua hal selalu tentang dirimu. Aku juga bisa menikmati hidup." Draco tak percaya ia mengatakan hal tak jelas seperti itu, tetapi ia putuskan diam ketika melihat ekspresi Harry.
Harry terdiam membeku. Auror itu lalu mundur perlahan dan mengangguk mengerti.
"Aku mengerti."
Draco, mengernyitkan dahi. "Mengerti apa?"
Belum sempat Draco mendapatkan jawaban dari Harry, Auror itu melenggang pergi.
oOoOoOo
Ia kembali dikursinya dengan gontai. Nona Laura yang menemaninya malam itu memandangnya khawatir.
"Draco? Kau baik-baik saja?" Wanita itu mengelus pipinya pelan.
Si pirang itu tersenyum palsu. "Tak apa. Aku...hanya sedikit pusing."
Yeah, aku memang pusing. Potter idiot!
Draco mencoba menenangkan hatinya. Ia melirik kearah meja Harry dimana si Auror seksi itu sedang memandangnya tajam, membuat sesuatu diperutnya terasa berputar-putar. Draco segera memalingkan wajah sebelum ia mempermalukan diri dihadapan salah satu penaruh saham terbesar diperusahaannya itu.
Beruntung pelayan yang membawa makanan datang diwaktu yang tepat ketika Laura bermaksud membombardirnya dengan pertanyaan pribadi. Akhirnya mereka menghabiskan waktu untuk menikmati makanan Prancis yang meleleh dilidah. Si pirang itu menyempatkan diri melirik meja Harry yang sudah menyelesaikan makanannya. Laura berbicara tentang sesuatu membosankan semacam tumbuhan langka didunia yang membuat Draco ingin mengubur diri karena mengajak wanita seperti dia. Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan di sekelilingnya.
Draco mengernyit penasaran.
"Ada apa?"
Laura tersenyum bahagia sambil menunjuk meja yang tak sampai beberapa detik yang lalu sedang ia awasi. "Oh, lihat Draco. Betapa manisnya. Ada yang sedang dilamar!"
Jantungnya terasa berhenti berdetak ketika melihat Weaslette mencium Harry Potter dihadapan para tamu restoran. Mata Draco perlahan menyusuri wajah Harry untuk menemukan mata hijau itu, yang terbelalak kaget sama seperti miliknya.
oOoOoOo
Harry kembali dari kamar mandi dengan perasaan suram, tetapi dengan cekatan ia segera memasang wajah cerianya ketika dihadapan Ginny. Suatu kebiasaan yang menyiksa.
Ginny menatapnya sambil tersenyum ketika Harry meminta maaf meninggalkannya terlalu lama. Ia beralasan bertemu dengan koleganya di kamar mandi.
Makanan datang dan Harry memilih untuk tidak lagi berbicara. Ia mencoba menikmati makanan lezat itu dan mencoba menghilangkan pembicaraannya dengan Draco barusan, tetapi gagal. Si pirang itu akhirnya keluar dari kamar mandi dengan wajah kusut. Harry ingin mengutuk dirinya karena membuat Draco berwajah seperti itu. Meskipun, bagaimanapun juga Draco benar. Ia butuh menikmati hidup. Bukan malah tersangkut diantara Ginny dan dirinya.
Harry menatap Draco dan pasangan makan malamnya dengan intens. Ia tetap tak bisa menghilangkan perasaan cemburu yang menguasai pikirannya. Terutama ketika wanita itu mengelus pipi Draco.
Beraninya!
"Harry, kau memesan wine?"
Pertanyaan barusan membuat Harry kembali menatap pasangan makan malamnya. Ginny sedang menaikkan alisnya.
"Wine? Tidak... aku..."
Harry menatap gelas wine dihadapan mereka berdua.
Sejak kapan pelayan itu menuangkan wine ini?
Harry menoleh kearah pelayan yang bertugas dimeja mereka. Pria tinggi itu tersenyum dan mengangguk pada Harry.
"Umh, kurasa ini salah satu servis dari restoran."
Ginny mengangguk kagum lalu mengangkat gelasnya. "Nah, mari kita bersulang! Untuk karirku dan masa depan kita!"
Harry tersenyum dan mengangkat gelasnya. Sebuah cahaya kecil didalam gelas milik Ginny membuat Harry terkejut.
Cincin?
Ginny sepertinya menyadari juga. Ia memandang Harry dengan mata terbuka lebar. Harry hampir tak bisa berkata apa-apa. Ia tahu apa arti dari cincin yang ditaruh didalam gelas wine.
Lamaran. Tetapi, siapa yang menaruh cincin ini?
"Oh, Harry!" Ginny bangkit dari kursinya dan mencium Harry yang terdiam membeku. "Aku bahagia kau akhirnya melamarku!" Suara tepukan tangan tiba-tiba membahana disekelilingnya. Harry hampir tak bisa mendengar apa-apa. Ia mencoba mencari Draco. Dan menemukan mata abu-abu itu menatapnya shock.
Si pirang itu berdiri dari kursinya. Lalu berbalik dan keluar dari restoran.
Harry hanya bisa menatap rambut pirang itu menghilang dibalik pintu dengan ekspresi yang sama. Shock.
Merlin. Kenapa kacau seperti ini? Brengsek, siapa yang menaruh cincin ini!
oOoOoOo
TBC
A/N :
Oh, my... aku tahu kalian pasti protes. Udah lama, dikit lagi, dan sekalinya muncul, angst!
Ops, begitulah yang terjadi. Maafkan daku... :'(
Aku sempat berpikir membuat adegan lemon dikamar mandi. Tapi... kyaknya... lain kali saja lah :p
Kurasa tinggl 2 atau 3 chap lagi cerita ini selsai, tapi...aku ingin tahu pendapat kalian dulu deh...
Feel free to comment and review!