"Kalian punya waktu tiga hari untuk mengucap perpisahan."

"Setelah itu kembali ke kapal."

"Mengerti?"

"SIAP!"


Disclaimer:

Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata

A Matter of Honor © Hiruma Manda

~Based on true story~

Real Story © Veteran Yamato

Operasi Ten-Go (7 April 1945)

Enjoy!


13 Maret 1945

Pagi menjelang. Sinar matahari mulai merayap masuk melewati celah-celah tembok dan atap rumahku. Menggeliat lemah. Sudah lama sekali aku tidak merasakan tidur senyenyak ini. Bergelung pelan. Kudapati seorang wanita cantik tengah terbuai dengan mimpinya.

Tersenyum lembut, kusapu helaian rambut pirang yang menutupi wajahnya. Tak lupa, kuusap pipinya perlahan dan kukecup dahinya. Wanita ini-yang selama beberapa bulan terakhir kutinggalkan-begitu kurindukan.

Istriku.

Yamato Karin.

Nampak dia menunjukkan sedikit reaksi akibat tindakanku barusan. Kedua kelopak itu berdenyut pelan, dan beberapa detik kemudian, sepasang mata besar kecokelatan menatapku. Bibir mungilnya melengkungkan sebuah senyum yang begitu hangat-menyambutku.

"Ohayou," sapaku.

Dia tersenyum lebih lebar. "Ohayou, mo. Ah, aku harus membuat sarapan."

Dia bangkit, mengikat rambut pirang panjangnya menjadi satu, menggulung futon [1] lalu melenggang keluar kamar. Fokus mataku terus tertuju padanya hingga sosok itu tak terlihat lagi.

Kini perhatianku tersita sepenuhnya pada sebuah futon mungil yang masih terhampar di atas tatami [2]. Perlahan aku bangkit dan menghampirinya. Mendadak, rasa bahagia menjalar keseluruh tubuhku manakala aku memandang sosok itu.

Sosok itu kecil-dengan berat tak lebih dari empat kilogram dan helai kecil-kecil berwarna putih di kepalanya, tengah bertualang di alam bawah sadarnya. Tampak begitu damai. Aku tersenyum menatapnya.

"Tidurlah yang nyenyak, sayang. Jangan pedulikan perang yang berkobar di luar sana. Kau harus terus bertahan. Tumbuhlah menjadi orang yang kelak berguna bagi negaramu, membumbung tinggi layaknya elang di angkasa. Putraku, Yamato Taka."

Kukecup bayi mungil itu-putra pertamaku. Anak yang lahir sehari sebelum sekarang, ditengah perang yang sedang berkecamuk-dimana sekutu dapat menyerang kapan saja.

Tanpa sadar, setitik air mataku jatuh. Aku tertegun. Lama aku terdiam. Oh, Kami-sama [3], Karin dan Taka adalah segalanya bagiku.

Dengan perlahan aku bangkit, beranjak dari sisi si kecil-berharap tidurnya tak terganggu olehku. Kulangkahkan kakiku kesudut ruangan dimana sebuah meja menanti disana. Duduk dan memantapkan hati, lalu kuraih beberapa lembar kertas dan pena.

Hari ini adalah hari terakhirku berada di darat. Malam ini aku harus pergi, kembali ke Angkatan Laut. Tapi bukan hanya itu saja yang kucemaskan, melainkan misiku setelah ini-yang mungkin saja menjadi misi terakhirku. Karena alasan itulah, aku berniat untuk mengucapkan perpisahan pada mereka. Tapi ternyata itu merupakan hal yang tidak mudah. Pasrah, kuputuskan untuk menulis surat.

Yang pertama, untuk kedua orang tuaku. Ribuan kata bermunculan di otakku, meronta agar dirangkai. Namun betapa banyaknya kata yang ingin kusampaikan pada mereka, semuanya sirna ketika penaku beradu dengan kertas. Gugup. Takut.

Tou-san, Kaa-san [4]. Aku ingin meminta maaf pada kalian atas semua kesalahan yang pernah kuperbuat selama ini. Jagalah diri kalian baik-baik. Tetaplah bertahan di tengah peperangan ini walau berat, dan hiduplah lebih lama. Anakmu, Y. Takeru.

Hanya itu yang sanggup kutulis.

Kulipat surat itu dengan rapi lalu menyingkirkannya sejenak. Kuambil lagi sebuah kertas lain yang masih belum ternoda. Kali ini, untuk istriku.

'Ta-ta-take-ru~'

Deg.

Hatiku mencelos. Keringat dingin menetes di dahiku. Perasaan apa barusan? batinku bertanya. Kuamati sekeliling. Kosong. Hanya ada aku dan Taka-yang masih tertidur-di ruangan ini. Tapi aku berani bersumpah kalau barusan mendengar sebuah suara isakan. Seperti tangisan... Karin?

Menggeleng keras-mencoba menenangkan diri. Kutanamkan keyakinan kuat bahwa suara barusan hanyalah ilusi. Ya, ilusi yang-err, menyakitkan. Kuhadapi kembali kertasku. Kucoba fokus kembali untuk menulis surat.

Karin-

Tidak. Aku harus bertahan. Itu hanya ilusi, Takeru. Hanya ilusi. Mungkin karena aku terlalu pesimis. Apapun yang terjadi, aku harus menyelesaikan surat ini. Harus.

Karin. Aku harus pergi. Jika aku tidak pernah kembali, kamu dapat menikah lagi. Tapi, apapun yang akan kau lakukan setelah ini, aku hanya minta, tolong besarkan anak kita menjadi orang yang baik. Y. Takeru.

Selesai.

Kubaca ulang suratku.

.

.

.

Srek. Srek.

Bodoh. Aku tidak mau mengirim ini pada Karin. Hanya satu yang kutakutkan kalau Karin tahu aku pergi menjalankan misi terakhir ini, dia pasti akan sangat sedih. Ya, aku dapat membayangkannya. Merasakannya. Karin yang tengah bersimbah air mata karena sebuah kertas dariku. Tidak. Tidak. Hal itu tentu menciutkan nyaliku.

Kurobek kertas itu dengan ganas, seakan dia punya kesalahan yang teramat sangat padaku. Lalu, kucampakkan begitu saja. Menghela nafas, hatiku memerintahkan otak untuk terus berpikir logis. Misiku selanjutnya adalah misi terakhir, dan memang benar adanya jika setidaknya aku mengabari Karin tentang ini.

Kutatap kembali hamparan kertas kosong di hadapanku. Perlahan, kusentuhkan ujung penaku, setitik tinta hitam menetes disana. Tanganku bergetar hebat.

Karin. Aku-

Srek. Srek.

Aku tak sanggup. Tidak bisa. Aku tahu aku pengecut, tidak mampu untuh hanya menulis sebuah surat perpisahan. Bayangan istriku muncul lagi di kepalaku, semakin jelas. Kurengkuh kepalaku, kutenggelamkan pada kedua lengan. Aku harus tenang.

"Takeru?"

Eh?

Aku menoleh. Kudapati Karin tengah menatapku, kedua kristal amber itu menatapku cemas. Sedikit demi sedikit, ketakutanku memudar.

"Kau tak apa?" tanyanya. Aku mengangguk pelan, dia menaikkan salah satu alisnya-tanda tak puas dengan jawabanku-. "Ah, sudahlah. Ayo kita sarapan. Sudah kupersiapkan," ajaknya.

Aku tersenyum lemah menanggapinya, lalu beranjak bangkit dari meja. Kuikuti langkahnya di belakang, sambil setengah melamun. Tiba-tiba saat kami sudah sampai di bibir pintu, sebuah suara tangisan pecah-Taka.

Aku dan Karin bergegas menghampiri putra kami. Taka sudah bangun rupanya. Dengan penuh cinta kasih, Karin menggendong untuk menenangkannya.

Tersenyum. Kuamati Taka yang tengah bergelung nyaman di pelukan Karin. Kuusap pelan rambut keperakannya, mata onyx hitam balas menatapku lekat, detik berikutnya, bibir mungilnya tertawa tanpa suara. Sungguh, tiba-tiba saja perasaan bahagia menyeruak di dadaku, mengisi relung hatiku yang beberapa saat lalu dilanda kegalauan. Karin pun tersenyum menatap buah hati kami.

Karin dan Taka, aku bahagia memiliki kalian.

.


.

"Kau tidak tidur, Takeru?"

Sebuah suara lembut membawaku kembali ke dunia nyata-tertuju padaku. Menoleh. Kudapati istriku-yang telah memakai piyama lengkap dan rambut pirang panjang yang tergerai indah dikecup angin malam-tengah berdiri di ambang pintu depan rumah, tak jauh dari tempatku duduk.

Aku menggeleng lemah. Kembali kusandarkan bahuku pada pilar kayu di teras itu. Sepertinya Karin masih khawatir, kulihat dia mendekat dan berjongkok di sebelahku-mungkin takut piyamanya kotor jika mengikutiku duduk di lantai.

"Mau kutemani?" Dia menawarkan. Terhenyak, lalu kutatap wajahnya. Pandangan kami bertemu. Cokelat muda bertemu Cokelat tua. Mata jernih itu pasti akan sangat kurindukan.

Lagi, aku menggeleng. Karin sepertinya menyerah. Dia tahu benar kalau saat-saat seperti ini aku tidak ingin diganggu. Dia berdiri, berjalan memasuki rumah.

"Karin?" panggilku saat tangannya setengah menggeser pintu.

Grep.

Kurengkuh tubuh istriku itu dari belakang. Kurasakan hangat tubuhnya. Kubenamkan kepalaku pada rambut pirangnya-menyesap wangi memabukkan itu sebanyak mungkin.

"Ta-takeru?"

Dia tergugup, mungkin karena agak kaget-kebiasaannya yang sedari dulu tidak pernah hilang. Kudekap tubuh mungilnya lebih erat, seakan tak 'kan pernah melepaskannya kembali. Kami berdua terdiam, menyatu dengan keheningan malam. Menghayati saat-saat seperti ini.

"Temanilah Taka tidur."

Aku lah yang pertama memecahkan kebisuan. Perlahan, kuregangkan dekapanku. Karin berbalik, menatapku. Lama dia menyelami amber milikku-mencari kepastian-sebelum akhirnya bibir mungilnya mengembangkan sebuah senyum manis. Dia mengangguk lalu masuk ke rumah.

Aku menjatuhkan tubuhku pelan diatas lantai kayu, bersandar kembali pada pilar. Kucengkeram rambut cokelat gelap liarku-menghalangi pandanganku dari gemerlap bintang di langit.

Inilah malam terakhir aku melihat bintang di depan rumahku seperti ini-untuk saat ini, karena malam ini juga aku harus kembali ke Angkatan Laut. Waktu kami tiga hari telah habis. Padahal, putraku baru lahir kemarin dan aku hanya punya waktu satu malam untuk melihatnya. Sungguh berat rasanya untuk berpisah lagi dengan mereka.

Tidak. Aku tidak boleh berpikiran seperti itu, harus kubuang jauh-jauh hal itu. Ini adalah tugasku. Walau sedikit saja, aku ingin berguna untuk negeri yang begitu kucintai ini, dan aku telah diberinya kesempatan dengan ikut andil dalam perat lewat angkatan laut. Aku harus berjuang hingga akhir. Itulah pernyataan absolutku.

Perang memang selalu membawa kesengsaraan bagi pihak manapun, tak terkecuali Perang Dunia II yang tengah berlangsung sekarang. Dan karena itu, inilah saat untuk menyudahi segalanya.

Aku bangkit, kutegakkan tubuhku, pandanganku lurus ke depan. Tenang, kuhirup udara sebanyak-banyaknya-mengisi paru-paruku. Aku sudah siap untuk menghadapi apapun itu. Surat untuk kedua orangtuaku sudah kukirim. Dan untuk Karin, maaf, tapi aku yakin keputusanku sudah tepat. Absolut. Meski aku tahu ini egois, tapi setidaknya aku bisa sedikit lega manakala membayangkan dirimu tidak menangis untukku.

Dengan mantap aku melangkah perlahan menjauhi pintu depan. Kutengok ke belakang, memastikan posisiku tidak terlihat oleh Karin. Aku berjalan nyaris tanpa suara-mengendap-di sekitar pekarangan. Kukelilingi rumahku, mengecek keadaannya untuk terakhir kali, mungkin?

Sampai di halaman belakang, kutemukan sebuah pintu kecil tertutup oleh sebuah pohon besar. Kutatap rumah mungilku dari kejauhan karena setelah ini pasti akan sangat kurindukan kehangatan yang tercipta tiap berada disana. Kumantapkan hati untuk terakhir kali sebelum akhirnya berlari sekencangnya dari tempat itu, menuju pelabuhan. Resiko apapun aku sudah siap! Inilah misi terakhir kami.

.


.

Maaf.

Aku pergi tanpa salam perpisahan.

Aku egois, aku tahu.

Padahal mungkin aku tidak akan pernah kembali.

Tapi inilah tugasku.

Demi dirimu dan putra kita.

Sebuah pengorbanan kecil,

Teruntuk negeri yang kita cintai.

Sayonara.

.


.

Translate:

[1] futon: kasur

[2] tatami: lantai karpet khas Jepang

[3] Kami-sama: Tuhan/Dewa

[4] Tou-san, Kaa-san: Ayah, Ibu

(Rasanya ga berguna deh karena udah umum ==")

.


.

Selamat Hari Pendidikan Nasional~ XD *telat*

Yaa~ Saya kembali dengan fic history~ XD *keracunan sejarah*

Seperti yang tertera disana, setting cerita ini diambil pada saat tahun 1945, dimana WW II sedang berada pada puncaknya.

Tapi perang sesungguhnya baru akan muncul di chap-chap depan. :D Sebenarnya chap ini juga perang-perang batin, maksudnya.

Oia, dan jangan tanyakan pada saya atas kelainan genetik dimana Yamato Takeru + Karin Koizumi = Taka Honjo. Ini semata-mata hanya demi kepentingan per-fanfic-an

Karena ini fic mulchap pertama -sepertinya- jadi harap dimaklumi jika nanti updatenya kayak siput Dx *kebiasaan nulis oneshoot*

Nah, karena itulah review sangat membantu agar saya tahu fic ini pantas dilanjutkan atau tidak? OwO

Review?