22nd OF JUNE IS INOOCHAN'S BIRTHDAY!
Created by: Kagami Hikari
Pacar Daichan? Apa maksudnya? "Tentu saja iya, Baka Daichan!" Ternyata beberapa hari terburuk bisa tergantikan oleh satu hari terindah. HAPPY BIRTHDAY INOOCHAN! (summary dan judul ga nyambung)
Hey! Say! JUMP members belongs to Kami-sama and Johnny's Jimusho
22nd of June is Inoochan's Birhday! belongs to Kagami Hikari
WARNING! Contain: AU, OC(s), OOCness, ABALness, GAJEness, LOCHness(?), EPIC FAIL romance, Kei's POV, hint of YabuNoo and DaiChii. But still it's all about, DaiKei or AriNoo (or whatever it is!)
.
.
..::CHAPTER 1: INOOCHAN'S WORST DAYS EVER!::..
.
.
.
::Tanggal 15 Juni 2011 (H-7)::
6.45—jam menunjukkan angka itu. Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Entah apa yang membuatku tak mau menutup mataku lagi. Jadi kulangkahkan kakiku ke arah jendela yang masih tertutup tirai warna merah marun dan menyibaknya. Dan cahaya mentari pun menerpa wajahku. Rasanya sangat hangat dan menyenangkan.
Saat aku sedang asyik menatap halaman belakang rumah yang kutempati bersama teman-temanku ini, perutku berbunyi cukup keras. Ups, pasti karena semalam aku tidak makan! Jadi perutku sudah protes begini! Kuputuskan untuk segera mandi lalu turun ke bawah untuk menyantap sarapan.
Setelah mandi dan mengganti piyamaku dengan t-shirt ungu dan celana putih berbahan katun, aku pun segera menuruni tangga. Tujuanku adalah menuju dapur—tempat aroma yang harum berasal. Wah, sepertinya perutku semakin tidak sabar nih karena mencium aroma yang benar-benar enak! Jadi kupercepat langkahku.
Kudengar suara tawa yang tak asing dari dapur. Kuurungkan niatku untuk langsung masuk ke ruangan itu. Kurapatkan punggungku pada dinding di sebelah kusen pintu dapur, "…senang banget punya pacar kaya Daichan!"
DEG! Jantungku rasanya berhenti untuk beberapa detik saat kudengar kalimat itu. Aku kenal suara itu! Suara itu pastilah milik penghuni rumah ini yang memiliki tubuh berukuran paling imut, Chinen Yuuri! Pacar Daichan? Apa maksudnya?
"Hahaha Chii-kun bisa saja!" Ini kan suara Daiki!
Tunggu, apa maksudnya ini? Apa Chinen pacaran dengan Daiki? Tidaaak! Pokoknya jangan sampai hal itu benar-benar terjadi! Ah, tapi mungkin aku salah dengar… Lagipula bukankah Chinen menyukai Yamachan? Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dapur dan menemui mereka, "Ohayou, minna!" sapaku dengan wajah dan suara yang ceria. Kedua pasang mata yang tadinya sibuk menatap ke meja sekarang menatapku.
"Ohayou, Inoochan!" sahut Chinen dengan senyum khasnya. Sedangkan Daiki hanya menatapku dengan tatapan yang hmm—kaget bercampur takut? Dia menatapku dengan tatapan seakan-akan sedang melihat hantu tepatnya. "Ohayou, Inoochan…" kata Daiki akhirnya.
"Hmm lagi masak ya? Masak apa? Boleh kubantu?" tanyaku
"Iya, kami sedang masak omelet!" Chinen menunjuk adonan telur yang ada di dalam sebuah mangkuk besar, "Tentu saja boleh!" tambahnya sambil tersenyum padaku
Aku tidak berkata apa-apa, hanya membalas senyumannya. Aku berdiri di samping Daiki yang tampaknya sedang memotong-motong sosis untuk tambahan dalam omelet. Baru saja beberapa detik aku berada di sampingnya, tiba-tiba saja Daiki meletakkan pisau yang ia gunakan untuk memotong-motong sosis, "Umm aku mau membangunkan yang lain dulu!" katanya sebelum meninggalkan aku dan Chinen.
"Daichan kenapa?" tanyaku pada Chinen
"Hahahaha tidak apa-apa kok!" jawab pemuda yang lebih muda tiga tahun dariku itu dengan sedikit gugup
"Hmm…" aku menatap punggung Daiki yang semakin menjauh. Setelah sosok Daiki benar-benar menghilang, kuraih pisau yang tadi sempat digunakan Daiki dan melanjutkan pekerjaannya memotong-motong sosis.
"Inoochan, biar aku saja yang memotong sosisnya. Kau panggang roti saja," kata Chinen
"Eh? Baiklah…" gumamku setelah meletakkan pisau dan mengambil roti.
Aku memasukkan roti ke dalam toaster dan setelah selesai menumpuknya ke atas salah satu piring berukuran cukup besar. Tentunya masih sambil memikirkan pembicaraan yang sempat kudengar tadi. Meskipun sebagian dari diriku mencoba meyakinkan bahwa aku salah dengar, tapi bagian lain dari diriku sangat yakin kalau pembicaraan yang kudengar itu adalah benar. Tanpa kusadari aku menghela nafas.
"Anoo… Inoochan, boleh aku bertanya?" kusadari Chinen menatap ke arahku
Aku menoleh ke arahnya, "Boleh… Mau tanya apa memangnya?"
"Apa—"
"Ohayou Chii, Inoochan! Masak apa?" sapa seseorang dari pintu, ah itu pasti Yamada Ryosuke.
"Ohayou Yamachan!" sapa Chinen sambil mengangkat spatula plastik yang ada di tangannya dengan riang, "Kami masak omelet! Wangi kaaan?"
"Iya! Wanginya sampai kejar-kejaran di kamarku loh!" canda Ryosuke, aku hanya terkekeh menanggapi candaannya
"Hahaha bagus dong!" Chinen menanggapi dengan tawanya
"Masak yang enak ya!" kata Ryosuke sebelum meninggalkan dapur. "Pasti!" sahut Chinen
"Wah pagi-pagi begini sudah pacaran… Bikin iri saja…" godaku
"K-kami tidak pacaran kok!" sanggah Chinen
"Hahahahaha!" aku hanya tertawa. Mungkin aku memang salah dengar tadi, pikirku. "Oh ya, tadi kau mau bertanya apa, Chii?"
"Hmmmm… Tidak jadi deh," Chinen menggelengkan kepalanya. Sedangkan aku hanya bisa mengangkat bahu mendengar jawabannya.
.
"Minna! Sarapan siap~" seru Chinen. Aku membantu pemuda mungil itu membawa piring-piring kosong dan piring besar berisi roti yang tadi kupanggang. Kemudian menatanya di atas meja. Tak perlu menunggu terlalu lama, roti panggang serta omelet yang kami sajikan pun sudah berpindah ke piring-piring makan para penghuni rumah ini dan sebentar lagi pasti akan langsung berpindah tempat lagi ke perut.
"Wah, omeletnya enak!" puji Yuto yang duduk di sebelah kiriku
"Arigatou," Chinen tersenyum
"Tapi kok beberapa rotinya agak gosong ya?" tanya Yuya sambil menunjukkan bagian gosong di roti bakarnya. "Hahahaha itu sih tergantung amal! Rotiku tidak gosong tuh!" Hikaru tergelak di kursinya. "Enak saja kau!"
"Gomen ne Yuya… Tadi aku sedikit melamun," kataku setelah menelan potongan omelet yang sedari tadi kukunyah
"Pagi-pagi begini sudah melamun? Hayooo apa yang kau lamunkan?" tanya Kouta yang duduk tepat di seberangku
"Hahahaha kok Yabu-kun masih bertanya sih? Ya sudah pasti Daichan dooong!" sahut Ryosuke sambil menyikut Daiki yang duduk diantara kami. Aku tidak membalas kata-katanya, hanya sedikit menunduk saja. Karena kurasa wajahku langsung memanas mendengar kata-kata Ryosuke.
"Waaah wajah Inoochan memerah!" kata Ryutaro, penghuni termuda di rumah ini
"Lihat, lihat! Wajah Daichan juga memerah!" timpal Keito
"Yamette kudasaaai minna!" kata Daiki akhirnya. Dan akhirnya sesi candaan pagi pun berakhir dengan wajahku yang masih memerah dan tawa dari seluruh penghuni rumah ini.
.
Setelah selesai sarapan, Chinen dan Ryutaro mengambil peralatan makan yang kotor dari atas meja dan membawanya ke dapur untuk dicuci. Meskipun penghuni-penghuni lain memutuskan untuk memulai aktivitas mereka, aku, Kouta, Yuya, dan Yuto masih betah duduk di meja makan sambil mengobrol.
Yuto sedang menceritakan pengalaman konyolnya bersama sang adik, Raiya, ketika mataku menangkap sosok Daiki yang berjalan menuju dapur. Penasaran, kuikuti setiap gerakannya dengan mataku. Kulihat ia langsung menghampiri Chinen dan Ryutaro yang sedang mencuci piring. Kemudian sepertinya ia mengatakan sesuatu dan Ryutaro mengangguk. Lalu Daiki dan Chinen pun berjalan keluar dari dapur menuju ke halaman belakang yang hanya dibatasi pintu geser berbahan kaca dengan ruang makan tempatku berada.
Aku hanya bisa menatap adegan itu dari balik pintu kaca. Mereka sedang membicarakan sesuatu, tapi tentu saja aku tidak bisa mendengarnya. Meskipun begitu, kurasa itu adalah sesuatu yang cukup penting, terlihat dari air muka Daiki yang tampak serius. Sayang sekali aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan! Padahal seharusnya aku bisa saja membaca gerak bibir mereka, tapi apa boleh buat, pikiranku sudah melayang ke ingatan tentang percakapan yang tadi pagi kucuri dengar.
Kedua pasang onyx milikku bertumbukan dengan onyx milik Chinen. Refleks, aku pun langsung memalingkan wajahku tapi masih melirik ke arah mereka tentunya. Dan tiba-tiba saja Daiki menggandeng tangan Chinen dan berjalan pergi. Benar-benar menyebalkan! Rasanya seperti aku ini adalah pengganggu bagi mereka!
Kudengar suara gelak tawa dari ketiga pemuda yang duduk bersamaku. Ya ampun, pasti aku terlalu serius memerhatikan mereka berdua sampai-sampai aku sama sekali tidak mendengarkan cerita Yuto! Tadinya aku ingin ikut-ikutan tertawa juga, tapi tidak bisa. Entah kenapa pemandangan tadi membuatku tidak bisa tertawa.
Apa benar Chinen pacaran dengan Daiki? Kalau begitu apa reaksi Ryosuke jika mengetahui hal ini? pikirku. Tanpa kusadari ketiga pemuda yang duduk bersamaku sudah menghentikan tawa mereka dan menatapku. "Hayooo melamunkan apaa?" tanya Kouta sambil menepuk pundakku
"Eh? N-nanimonai…" jawabku lesu. Aku bangkit dari posisiku dan berjalan menuju ke kamarku. Aku tak menghiraukan tatapan bingung teman-temanku dan beberapa pertanyaan yang mereka ajukan. Aku hanya berjalan dengan langkah yang setengah terseret menuju tangga.
Bisa kudengar langkah-langkah kaki yang mengejarku, tapi itu pun sama sekali tidak kugubris. "Inoochan! Matte!" seru Kouta dari belakangku. Aku menoleh padanya.
"Daijoubu ka?" tanyanya. Kekhawatiran benar-benar kentara di suaranya.
"Daijoubu desu," jawabku. Tapi sepertinya pemuda yang lebih tua beberapa bulan dariku itu tidak puas dengan jawabanku. Jadi ia menghampiriku dan menepuk puncak kepalaku singkat, "Kau bisa cerita padaku kalau kau punya masalah," katanya sambil memamerkan senyumnya padaku. Aku membalas senyumnya sebelum meneruskan langkahku yang sempat terhenti.
.
::Tanggal 16 Juni 2011 (H-6)::
Sejak kemarin, aku merasa Daiki sedikit menghindariku dan jadi lebih cuek padaku. Apa aku punya salah padanya Daiki? Pertanyaan itulah yang mengusik benakku dari tadi malam. Saat tadi pagi kutanya pun, ia hanya menjawab, "Nandemonai," dengan dingin. Jujur saja, ini membuatku sedikit bingung. Apalagi Daiki juga jadi lebih sering mengobrol dan bercanda dengan Chinen.
"Ada yang ingin kau ceritakan, Inoochan?" tanya Kouta yang sedang duduk bersamaku di sofa ruang tengah.
Aku terdiam, berpikir. Apa aku akan menceritakan masalah ini padanya? Atau lebih baik kusimpan sendiri saja? Awalnya aku berniat tak menceritakan masalah ini pada Kouta, tapi aku teringat dengan pesan ibuku dulu; ceritakanlah masalahmu pada orang lain supaya orang itu bisa membantu. Jadi akhirnya itulah yang kulakukan—menceritakan masalahku pada Kouta.
Kouta langsung merangkul pundakku dan menepuk-nepuknya pelan begitu aku menyelesaikan ceritaku. Meskipun aku tahu Kouta sedang berusaha menenangkanku, tapi entah kenapa aku malah merasa ingin menangis. Kusandarkan tubuhku pada pundak Kouta sambil berusaha menahan air mata yang sudah hampir menetes.
"Tenang saja, aku yakin Daichan tidak membencimu kok!" hibur Kouta. "Hontou ka?" ia mengangguk.
Aku tersenyum, "Arigatou, Yabu-kun…"
Baru saja aku bisa tersenyum, kedua mataku disuguhi pemandangan yang tidak enak—Daiki yang sedang berjalan bersama dengan Chinen. Dan yang lebih parah, Chinen terlihat merangkul Daiki sambil membisikkan sesuatu! Aku langsung saja kembali ke posisiku semula, duduk santai, karena aku tidak mau Daiki salah paham padaku.
Tanpa kuduga, Chinen terus berjalan ke arah tangga sedangkan Daiki menghampiri kami dan duduk di sofa. Meskipun posisinya berada di samping Kouta bukan disampingku, aku merasa cukup senang. Bukankah itu artinya Daiki tidak marah padaku? Tunggu, atau malah dia memilih tempat di samping Kouta karena tidak mau berada di sampingku? Entahlah mana yang benar, yang pasti aku tidak mau kesimpulanku yang kedua yang benar.
"Hai Daichan!" sapaku dengan suara seceria mungkin. Sang pemilik nama hanya menatapku sekilas dengan tatapan dingin sebelum kemudian meninggalkanku dan Kouta di ruang tengah.
Hatiku rasanya langsung hancur berkeping-keping saat melihat reaksi Daiki. Ingin rasanya aku menangis meraung-raung, tapi hal itu tentunya tidak kulakukan. Yang kulakukan hanya diam menatap sosok Daiki yang menghilang di tangga. Kouta yang sepertinya menyadari hal itu langsung merangkulku lagi dan berusaha menenangkanku. "Jangan menangis ya, Inoochan…" aku masih terdiam, belum bisa mengatakan apapun.
"Aku rasa suasana hati Daichan memang sedang tidak baik," hibur Kouta
"Arigatou, Yabu-kun…" gumamku
"Daijoubu ka?" aku mengangguk.
"Hontou ka?" tanyanya lagi. "Hontou ni daijoubu desu, Yabu-kun…" kataku sebelum melangkahkan kakiku ke kamarku.
.
::Tanggal 17 Juni 2011 (H-5)::
Sejak kemarin siang, rasanya semangatku benar-benar sudah zero. Meskipun Kouta selalu menyemangatiku dan menghiburku, tetap saja jika mengingat tatapan dingin yang dilontarkan Daiki padaku kemarin, hatiku langsung merasa sakit lagi.
Apa Daiki benar-benar membenciku? Apa Daiki dan Chinen benar-benar pacaran? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dari prasangka buruk yang semakin terlintas dalam otakku. Kulirik pemuda bertubuh mungil yang sedang sibuk mengutak-atik handphonenya di sebelahku. Dan untuk kesekian kalinya aku menghela nafas di hari ini.
"Inoochan, Chii, main game yuk! Kemarin aku baru pinjam game baru dari Raiya!" ajakan Yuto membuyarkan lamunanku.
"Ayo!" sahutku dan Chinen bersamaan
"Sebentar, aku ajak yang lain dulu!" kata Yuto sebelum meletakkan CD game di tangannya dan berlari ke tangga. Dan dalam hitungan detik, pemuda yang lebih muda tiga tahun dariku pun menghilang dari pandanganku, meninggalkan aku dan Chinen yang sibuk dengan aktivitas sendiri-sendiri di ruang tengah.
"Anoo… Inoochan, boleh tanya sesuatu?" tiba-tiba Chinen membuka percakapan. "Boleh," aku mengangguk
"Apa ada yang kau inginkan?" pertanyaan Chinen membuatku terdiam. Ingin rasanya aku bilang bahwa aku menginginkan perhatian Daiki, tapi mana mungkin aku menagatakannya pada Chinen?
"Aku sedang tidak ingin apa-apa," jawabku. Hahahaha munafik sekali ya aku ini?
"Hontou ni?" tanyanya dan aku pun mengangguk. Benar-benar munafik. Tapi, yah, kukatakan padanya aku ingin perhatian Daiki pun pasti percuma kan?
Tepat setelah itu Yuto kembali bersama dengan Ryutaro dan kami pun memainkan game yang ia pinjam dari Raiya.
.
::Tanggal 20 Juni 2011 (H-2)::
Jam tangan digitalku menunjukkan pukul 17.23 saat ini. Bukankah ini sudah cukup sore untuk orang yang cuma pergi jalan-jalan sendirian?
Ada dua perasaan di hatiku saat sama sekali tidak melihat Daiki seharian. Yang pertama adalah tentunya sangat bingung dan sedikit cemas—kemana dia sampai pergi seharian begini? Apa telah terjadi sesuatu padanya? Dan yang kedua adalah lega. Lega? Ya, lega karena hatiku tak perlu sakit karena melihatnya menempel pada Chinen seharian. Meskipun begitu tentu saja yang lebih mendominasi adalah perasaan bingung dan cemas yang kurasakan.
Tentu saja dia tidak tahu betapa lega dan senangnya aku saat mendengar suaranya mengatakan, "Aku pulang," dari pintu depan. Tapi rasa lega dan senang itu langsung kandas saat melihat orang yang berada di samping Daiki—Chinen. Dengan kesal kubanting buku yang semula ada di tanganku dan berlari ke kemarku. Aku tahu semua penghuni rumah ini menatapku—termasuk dua orang yang baru datang tadi. Tapi aku tidak peduli! Karena aku benar-benar kesal!
Kesal? Kenapa kesal? Karena aku menghabiskan waktuku dengan mencemaskan Daiki dan ternyata si tolol itu sedang kencan dengan si pendek! Melihat mereka berdua benar-benar membuatku bad mood!
.
"Inoochan, ayo turun. Makan malam sudah siap," kata Keito dari luar kamarku.
Aku mendengar langkah kaki Keito semakin menjauhi pintu kamarku. Aku mencuci mukaku di wastafel, untuk menghilangkan kemarahan dan kekesalan yang mungkin masih terpancar. Dan setelah kuperhatikan wajahku di cermin selama beberapa saat, kuputuskan bahwa wajahku terlihat seperti biasanya. Jadi tujuanku selanjutnya adalah ruang makan!
Sepertinya Kami-sama tidak membiarkan kekesalanku reda walau hanya untuk sebentar. Saat aku melewati kamar Chinen, aku mendengar suara Daiki dan Chinen. Penasaran, aku pun mengintip mereka dari pintu kamar Chinen yang memang sedikit terbuka.
Ah, sepertinya rasa penasaranku ini membuatku semakin terluka. Aku bisa melihat Daiki sedang menggenggam tangan Chinen. Dan hal yang paling tak kuharapkan pun terjadi.
"Suki da yo," kata Daiki dengan nada yang sangat lembut, benar-benar sesuai dengan ekspresi yang sedang ia tampakkan. Chinen terdiam meskipun masih menatap Daiki lekat-lekat.
Aku tidak mau mendengar jawaban yang akan keluar dari mulutnya. Karena pasti jawabannya akan semakin menyakiti hatiku. Jadi yang kulakukan hanya mengepalkan tanganku kencang-kencang dan menggertakkan gigiku sebelum meneruskan perjalananku menuju ruang makan.
Entah kenapa suasana makan malam kali ini cukup sunyi. Hikaru, Yuto, dan Ryosuke yang biasanya terbilang cukup cerewet, malam ini bisa dibilang sama sekali tidak mengeluarkan suara mereka. Apa ini karena sikapku tadi sore dan membuat atmosfer di rumah ini jadi tidak enak?
"Yamachan, bisa tolong ambilkan kecap?" aku membuka percakapan
"Kecap? Aku juga tidak bisa menjangkaunya, Inoochan… Minta tolong saja pada Daichan," kata Ryosuke setelah mencoba mengulurkan tangannya pada botol kecap.
Minta tolong pada Daiki? Mana mungkin… Hanya menyapanya saja sudah diberi reaksi seperti itu, apalagi meminta tolong padanya! Dan lagi masih terlintas di benakku kejadian yang kuiintip di kamar Chinen beberapa menit yang lalu. Akhirnya kuurungkan niatku untuk menambahkan kecap pada sup misoku. Lebih baik tidak mendapat kecap saja dari pada malah menyakiti hati sendiri, pikirku.
"Ini," Kouta menyodorkan botol kecap padaku
"Arigatou, Yabu-kun" aku menerima botol kecap itu dan tersenyum padanya
Kulirik Daiki saat aku meletakkan kembali botol kecap itu di meja. Tak kusangka, dia juga melirik padaku. Tapi sayangnya dengan tatapan dingin seperti saat itu. Dan itu benar-benar semakin membuat hatiku hancur.
.
.
.
..::to be continued::..
.
Niatnya sih hanya mau bikin oneshot aja. Tapi eh malah keterusan… Jadinya malah twoshot gini deh… -_- Semoga ceritanya ga abal banget deh—meskipun aku tau ini abal.
Yosha! See you in chapter 2!
.
Oh iya, bolehkah saya meminta review dari Readers-san?