Warning: OOC, OC fem! Indonesia. Gay related topic, no offense intended by any means. (Long) history reference.


=Ping-Pong=

"Para penumpang pesawat GA 088, kami informasikan bahwa dalam 40 menit pesawat akan mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam. Cuaca pagi ini cerah dan suhu didarat dilaporkan 12° C. Bagi para penumpang yang..."

Aku melepas headset yang terpasang di telingaku, sambil menatap layar datar di depan dengan kecewa. Aah tanggung nih. Film yang kutonton baru setengah jalan, eh sekarang malah udah mau mendarat. Oke, ini memang film kelima yang kutonton sejak take-off dari Dubai. Ga kerasa ternyata udah hampir sampai.

Kuregangkan tangan dan otot-otot tubuhku. Ampun, duduk selama 8 jam itu ternyata capek juga. Aku menoleh ke jendela, terlihat daratan hijau datar yang diterpa sinar mentari pagi. Ah, Eropa.. Ga nyangka nih bisa main kesini lagi.

Kulirik paspor dan kartu imigrasi yang kupegang di tangan. Di dalamnya, terselip kertas hasil cetakan email yang kuterima minggu lalu.

Yang satu adalah e-ticket pulang pergi Jakarta-Amsterdam-Jakarta. Yang satunya lagi, email dari dia..

.

Lieve Nesia

Mungkin ini agak mendadak. Kau tahu, kamu selalu bilang ingin jalan-jalan lagi ke Eropa, dan lagi suntuk dengan masalah dalam negeri,jadi eeh...

(Hihihi, bahkan di email pun dia kelihatan malu-malu)

..akhir April ini main ke rumahku ya? Sudah lama juga kan kamu ga mampir, apalagi akhir tahun lalu kamu batal mampir ke Belanda

(Aww, salahkan bosku yang takut dituntut macam-macam pengadilan Den Haag.)

Aku sertakan tiket pesawat pulang-balik. Maaf Cuma kelas ekonomi, Garuda ternyata mahal sekali -_-"

(Ahahaha, masih pelit seperti biasa.)

Oke, ga sabar jemput kamu di Schiphol. Oh iya, jangan lupa bawa baju warna oranye ya..

liefs van Ned

.

Aku tersenyum sendiri sambil memasukkan paspor beserta email Ned ke tas tangan. Oh, tak lupa pernak-pernik gratis dari Garuda juga harus dimasukkan ke tas. Kusandarkan kepala ke kursi coklat empuk di belakangku.

Mmh, aku juga ga sabar pingin dijemput kamu di Schiphol, Ned...

.

Aku, Kamu, dan eh, Siapa?

Hetalia © Himaruya Hidekazu

.

.

Aku menarik koperku pelan sambil melihat-lihat sekeliling. Schiphol masih terlihat seperti...Schiphol. Banyak bule tinggi besar berkeliaran kesana kemari, membuatku yang wanita Asia kecil mungil imut-imut ini harus mengindar dengan gesit. Ogah banget kalo sampai kegencet badan oom-oom bule Belanda yang bau keju.

Hmm, untung Ned ga bau keju, baguslah dia rajin mandi.

Aku mencari-cari penunjuk arah. Terlalu banyak toko dan cafe disini, aku jadi bingung. Tak lama kemudian aku menemukan papan penunjuk arah, bertuliskan "Schiphol Plaza". Ned bilang akan menjemputku disana, dan sepertinya rombongan turis Arab di depanku ini juga menuju kesana. Aku memutuskan menguntit mereka. Asiiik, berkat badan mereka yang besar-besar, aku terlindung dari desakan para oom-oom bau keju.

Akhirnya aku tiba di ruangan besar dengan lantai dan langit-langit yang sama-sama berwarna abu-abu. Di samping kananku, dinding kaca memanjang yang ada tulisan "SCHIPHOL"nya. Harusnya sih Ned jemput disini, tapi dimana ya?

"NESIAAAA~!"

Aku menoleh. Belum sempat melihat siapa yang memanggilku, sesuatu menerjangku dengan brutal. Pipiku langsung dicium bergantian. Kanan, kiri, kanan..

Dari kardigan hijau dan pita rambut hijau ini aku bisa menebak siapa yang memelukku dengan brutal. Gadis itu akhirnya selesai melepas rasa kangen. Ia memandangku dengan senyum kucingnya itu.

"Hai België, sapaku. Di belakang België, sesosok pemuda jangkung berambut pirang model bunga tulip datang mendekat.

"Welkom in Nederland, Nesia," sapa pemuda itu. Dia membungkuk lalu mengecup pipiku tiga kali. Kanan, kiri, kanan. Ah, kadang-kadang aku menikmati tradisi cipika-cipiki ala Belanda ini. Kalo di rumah mah, yang ada cuma tante-tante yang cipika-cipiki.

"Nesia, Nesia, kita bawa satu orang lagi lho," ujar België. Gadis itu menunjuk-nunjuk seorang pemuda. Eh, sebentar. Sejak kapan orang itu ada disini? Perasaan tadi ga ada..

"Hai Nesia," sapa orang itu pelan. Ouuh, dia tahu namaku. Dia pasti salah satu nation juga. Iya bener, rasanya aku pernah liat orang ini. Duh, tapi siapa ya?

Aku perhatikan sosok pemuda misterius di depanku. Rambutnya pirang coklat, ikal agak panjang, disisir rapi belah tengah, dengan sehelai rambut menjuntai keluar. Ah dia pakai kacamata. Sebentar-sebentar.., Rasanya aku kenal orang ini..

"Ooh, America kamu juga dateng ya?"

"Nesia, ini Canada," gumam Ned dari belakang. Pemuda di depanku hanya tertawa kecil.

HUWAAAH, Demi apa ini Canada? Bukan America? Ah, kirain America! Bentar-bentar, Canada itu negara dimana ya? Aduh, gawat nih. Si Canada ini tahu namaku lagi, jangan sampai kelihatan kalo aku ga kenal dia, kan maluu! Canada, Canada.. Biasanya sih kalo ada negara yang aku ga tahu, itu pasti negara Afrika. Tapi si Canada ini tampang bule tuh. Dia ga mungkin negara Afrika. Kalo gitu, negara yang biasanya aku ga tahu...

"Ah, Canada! Aku tahu, sampingnya Hungaria itu kan?" tebakku dengan Pede. Ga mungkin salah! Kalo ada negara bule yang aku ga tahu, biasanya itu negara-negara kecil di Eropa Timur.

.

.

Diam

.

.

Tidak ada yang merespon

.

.

"Kita ke mobil aja yuk," ajak Ned.

.

xxx

.

Aku buru-buru masuk ke Sedan silver milik Ned. Sudah lama ga keluar negeri, aku lupa kalau suhu musim semi yang cuma 12°C itu masih kerasa lebih dingin daripada kelayapan di Bandung jam tiga pagi. Serius.

België duduk menemaniku di kursi belakang. Sementara Canada di depan, bersama Ned yang jadi supir.

"Nesia, sabuk pengamannya udah?" tanya Ned

Oh iya aku lupa, ini di luar negeri. Akhirnya dengan agak malas aku mengancingkan sabuk pengaman. Aduh, coba balik di rumah, sabuk pengaman kapan dipakenya?

Ned menyetir mobilnya, meluncur keluar lapangan parkir. Sekarang mobil ini sedang melaju di jalan bebas hambatan. Aku memperhatikan pesawat biru berlogo KLM yang sedang take-off dari runway, tepat di samping jalan tol.

"Nesia, tadi perjalanannya oke kan?" tanya Ned sambil terus memfokuskan pandangan matanya ke jalan. Kita sekarang sedang masuk terowongan yang melewati bagian bawah salah satu runway.

"Iya Ned, asik kok. Garuda gitu," jawabku sambil membanggakan maskapai berlogo garuda itu.

"Hahaha, baguslah. Gila, kalo ga dapet yang promo jatuhnya lebih mahal daripada KLM coba, " komentar Ned.

"Broer, harus dibahas ya soal harga tiket?" protes België, "Ga romantis banget," gumamnya lagi.

Mobil meluncur keluar dari terowongan. Aku bisa melihat België cemberut sambil melipat tangannya, hahaha..

Mobil masih meluncur mulus, meninggalkan kompleks Bandara Schiphol. Lalu lintas pagi ini cukup lancar, Ned ngebut dengan asyiknya. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar deru halus mesin mobil silver ini. Sampai akhirnya..

"Ah omong-omong Nesia, akhirnya kita ketemu juga ya," ujar pemuda di depanku membuka pembicaraan. Siapa tadi namanya, Canada?

"Oh, ya, eeh, Canada..," gumamku. Si pemuda melanjutkan dengan halus,

"Awal tahun ini waktu ada ribut-ribut soal Blackberry, sebenarnya aku mau ngontak Nesia lho," kata si pemuda. "Hahaha, tapi ga jadi.. Ga enak juga, yang salah juga aku, maaf ya."

Hah? Ini orang ngomongin apa sih? Kenapa bawa-bawa BB? Awal tahun lalu ada masalah apa sih, kayaknya masalah dateng silih berganti, aku jadi lupa..

"Nnng... masalah apa ya?" tanyaku. Uh, daripada sok tahu mending tanya aja ah.

Canada menoleh ke arahku. Mata violetnya melebar, alisnya terangkat.

"Nng, soal pengadaan server BB di Indonesia. Kan Nesia sendiri yang minta dibikinin server BB di Indonesia?"

Ah, server BB? Masalah BB? Oh kayaknya aku inget deh soal salah satu menterinya bosku yang minta provider BB bikin server di Indonesia. Ah, waktu itu udah hampir di blokir. Kalo ga salah aku buru-buru nulis ke negaranya provider BB biar cepet-cepet bikin server di Indonesia. Jangan sampai BB diblokir, hidup tanpa BBM itu tidak terbayangkan..

Eh, bentar, kalau gitu berarti..

"Ooh, Blackberry itu dari Kanada toh?" komentarku lugu. Selama ini aku selalu mikir itu produk Amerika.

.

.

Pelan-pelan, pemuda di depanku berubah jadi transparan.

.

xxx

.

Sedan silver milik Ned sudah memasuki daerah perkotaan. Aku girang melihat rumah-rumah unik khas Belanda berjejeran di kanan-kiri jalan tol. Rumah dengan dinding batu bata tanpa cat, atap lancip, cerobong cantik dan kebun mungil yang rapi. Tidak banyak berubah dari terakhir kali aku kesini.

"Oh iya, omong-omong agenda jalan-jalan kita kemana aja nih?" tanyaku. Jadwal kepulanganku masih sepuluh hari lagi, kira-kira aku bakal diajak jalan-jalan kemana aja ya?

"Brussel!" jawab België tiba-tiba. "Tanggung kalo udah sampai Belanda ga mampir ke tempatku, ya kan Nesia?" gadis itu memandangku sambil mengeluarkan senyum kucingnya. "Nanti kita bisa makan waffel, terus jalan-jalan, terus foto sama Manneken Pis.."

"Ya, ya, Brussel.. Tapi agenda utama kita tetep Belanda lho," jawab Ned. "Kita bakal ke Delft, terus jalan-jalan di Amsterdam itu udah jelas, tanggal 30 besok ada koninginnedag, terus.."

"Terus ke Paris ya? Tanggung nih kalo udah sampe Brussel ga lanjut ke Paris..," potong België

"Hmph, kalau nurut kamu terus lama-lama kita bakal jalan sampai Barcelona..," gumam Ned

België cemberut, dia menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti "ah, ketahuan."

"Hahahaha..,"aku tertawa. "Di deket-deket Belanda aja deh, ga usah sampai Paris." Hmm, bukan berarti aku ga pingin ke Paris. Paris bagus, tapi kalau harus ketemu oom-oom yang ketawanya "Hon Hon Hon Hon Hon" bikin males duluan.

"Yang jelas, besok pagi kita ke Keukenhof," lanjut Ned. "Mumpung Canada disini, sekalian kamu yang pilih tulipnya ya..," Ned melirik pemuda di sampingnya.

"Aah, kalo aku, tulip yang kayak apa aja ga masalah kok, Ned..," si pirang di depanku ini menjawab dengan malu-malu. Eh, mereka ini ngomongin apa ya?

"Sekali-kali lah. Aku kan udah sering kasih kamu tulip, kali ini kamu sendiri yang milih," Ned berkata sambil tersenyum.

Eeeeh?

.

xxx

.

Mobil sedan silver Ned sudah keluar dari jalan tol. Sekarang ia berkelit lincah di jalanan kota Amsterdam. Ah, tapi aku ga peduli. Ada hal lain yang mengganggu pikiranku.

Percakapan dua orang di depanku ini.

Oke, emang bener sih Ned itu sangat tergila-gila tulip. Dia selalu membawa tulip-tulipnya sebagai oleh-oleh kalau datang berkunjung. Tapi aku ga pernah denger kalau Ned rutin memberikan tulip ke satu orang. Dan orang itu cowok.

Dan, sudahkah aku bilang kalau cowok kasih bunga ke cowok lain terdengar...homo abis?

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran aneh yang muncul. Salahkan acara TV di rumah! Terutama reality drama yang termehek-mehek itu. Aku pernah liat episode soal cewek mergokin cowoknya lagi homoan. Aww, apakah hal yang sama bisa terjadi di dunia nyata? Tapi Ned kan *uhuk* gagah, masa sih dia berorientasi menyimpang? Walaupun kehidupan para nation itu bisa dibilang kagak normal, tapi Ned masih normal ah..

Masih kan ya?

Dua orang di kursi depan ini masih berbicara akrab. Dipikir-pikir jarang sih lihat Ned bisa ngobrol panjang gitu. Ah, mereka mungkin cuma temen deket aja.

Mungkin..

Mobil silver ini sekarang sedang menyeberangi sebuah kanal. Aku melirik ke jendela, ada kapal kecil sedang melintas di bawah jembatan. Di kanan-kiri berjejer gedung pertokoan yang bentuk bangunannya Belanda banget. Ah, entah kenapa aku jadi merasa kita berempat layaknya berada di sebuah film tentang keluarga bahagia. Ned berbicara sambil menyetir. Canada menanggapi dengan pelan dan halus. Di sampingku België duduk manis sambil menyenandungkan lagu. Dan aku sedang melamun sambil lihat pemandangan.

.

.

Kalau kita keluarga, aku pasti anak bungsu. België kakakku. Ned jadi papanya dan Canada mamanya..

.

.

KYAAAA! NESIA HENTIKAN PIKIRAN-PIKIRAN ANEHMUUU!

.

xxx

.

Ckiit, mobil Ned berhenti di depan sebuah rumah. Aku tidak tahu ini daerah apa, tapi gedung-gedung disini kelihatan antik semua. Aku membuka pintu dan langsung disambut hawa dingin musim semi. Hmh, kata België kayak gini disebutnya sejuk, tapi kalau aku bilang sih dingin.

Ned membuka bagasi dan membawakan koperku.

"Thanks Ned," ucapku. Si jabrik itu hanya tersenyum. Ah, walaupun kelihatan sangar tapi dia tetep gentleman kok. Bagus, tambahan poin untuk meyakinkanku kalau Ned bukan homo.

Ned membuka pintu rumahnya dan kami berempat langsung menyerbu masuk ke ruang tengah. Untuk ukuran cowok yang tinggal sendirian, rumah Ned itu...

Sial, ruang tamuku jauh lebih berantakan dari punya Ned.

Aku melihat-lihat berkeliling. Ada berbagai macam benda-benda kecil. Vas berisi tulip segar, Delftware (Semacam kerajinan keramik berwarna biru putih) , lalu ornamen-ornamen bertema kelinci. Dan sejauh mata memandang, tidak terlihat debu sedikitpun.

"Aku ke kamar dulu yaa," België buru-buru berlari ke arah tangga, naik ke lantai dua.

"Ah Nesia," gumam Ned sambil menoleh ke arahku. "Aku akan membawakan kopermu ke atas, tolong jangan acak-acak dapurnya ya. Nanti kita makan diluar."

"Hmph, kenapa kamu bilangnya kayak aku bakal bikin berantakan semua dapur yang kumasukin?" secara refleks aku langsung menggembungkan pipi sambil menyilangkan tangan.

"Hahaha, Nesia, i know you," Ned nyengir. Aku sedikit memalingkan muka. Ah, ga nahan liat muka Ned, bisa tambah merah ini pipi.

"Oh iya Nes, omong-omong..," suara langkah Ned berhenti. Aku menoleh. "Kamarnya cuma dua nih. Kamu tidur sama België ya. Aku bareng Canada."

"Oh oke, no problem," jawabku

.

.

.

.

Eh, WHAAAAT?

.

xxx

.

Aku duduk di ruang tamu Ned. Masih shock dengan pengaturan kamar. Ouh, emang sih itu satu-satunya pengaturan yang dianggap aman. Cowok sama cowok, cewek sama cewek. Tapi kenapa.. aku merasa ini lebih ga aman ya.

Aku mengambil lagi sepotong kaastangel dari wadah di depanku. Anyway, for your information, aku sekarang lagi duduk berhadapan dengan pacar rahasia si Ned. *uhuk*, oke tidak baik berspekulasi tanpa bukti yang kuat. Yang jelas, di depanku ada si...,si... , si Canada itu.

"Mereka lama ya?" Canada menanyaiku dengan suaranya yang lembut itu. Dia pasti berkomentar soal Ned dan België. Rencananya sih habis ini kita mau jalan-jalan ke pusat kota cari makan, tapi mereka lama banget di lantai dua.

"He'eh," komentarku singkat. Sunyi lagi. Aku tidak begitu minat ngobrol dengan si.. ,si.., si Canada ini. Dianya sendiri juga sibuk bermain dengan beruang piaraannya.

"Hey, Kumakimi.. Mau kaastangel?"

"Siapa?"

"Canada."

Aku memperhatikan dua makhluk di hadapanku itu. Kalau Ned beneran suka cowok, kenapa dia suka cowok ini ya?

Aku melirik punggung tanganku.

Oke, si Canada ini secara penampilan jauh lebih putih daripada aku. Mukanya juga halus,kayaknya ga pernah jerawatan. Matanya violet cerah. Rambutnya pirang ikal agak panjang, dan kelihatannya lebih halus dari punyaku. Wajahnya juga kelihatan ramah. Badannya, uh, lebih ramping daripada aku. Dan suaranya halus, ga cempreng kaya punyaku. Dan.. dan.. gerak-geriknya juga lemah lembut laksana putri Solo. ARGH, ini cowok kenapa harus imut banget sih?

Aku membenamkan wajahku, menutupinya dengan kedua telapak tangan. Kadang susah bagi seorang cewek untuk mengakui ada cowok yang lebih cantik daripada mereka. Ga usah jauh-jauh lihat idol-idol Korea. Ini di depanku udah ada satu.

"Nesia, kamu ga apa-apa?" terdengar suara lembut menanyaiku.

Tuhan, kenapa aku kalah dengan cowok ini?

Aku mendongak sambil tersenyum. Dalam situasi apapun, senyum basa-basi khas Indonesia harus selalu ditonjolkan.

"Enggak kok, ga papa," jawabku. Berusaha terdengar semanis mungkin. Cowok di depanku membalasnya dengan...senyuman yang lebih manis lagi! Ah, aku stress dengan suksesnya.

.

.

Sunyi

.

.

Ned masih belum turun dari lantai dua. Ah, omong-omong soal Ned. Walaupun aku kalah oke dari si..,si Canada itu, bukan berarti Ned suka dia kan. Ya, bener itu! Si jabrik Lolicon itu belum tentu suka dia kan, ha.. ha..

.

Sunyi

.

Lama-lama aku mulai merasa ga enak. Aku merasakan tatapan cowok di depanku. Oke, ralat, dia ga menatapku sih. Dia sebenernya sibuk ngelus-elus beruangnya. Tapi, sebagai orang Indonesia, lima menit diem-dieman itu kerasa ga enak. Ah, harus basa-basi nih. Males sih tapi ya, gimana lagi..

"Eh, Canada?" tanyaku. Pemuda itu mengalihkan pandangannya sambil tetap tersenyum. AAAAH, kenapa cowok ini hobi menebar senyum manis!

"Canada, kenal Ned dari kapan?"

"Hmm, kapan ya? Kelihatannya...sejak aku kecil," jawab pemuda itu dengan suara lembut nan manis. "Kira-kira tiga ratus tahun lalu mungkin ya?"

"Oh, tiga ratus tahun lalu kamu masih kecil?" tanyaku. Aku mulai mengambil kaastangel lagi.

"Iya, kalau dibandingkan sama nation dari Eropa, aku dan America itu masih muda," lanjutnya.

"America? Si Hero gadungan itu?" Canada tertawa mendengar perkataanku. Aku melanjutkan, "Kalian kecilnya bareng ya?"

"Iya, kita kecilnya bareng. Aku ada gambar kita berdua waktu kecil, bentar..bentar..," Canada mengeluarkan BBnya lalu sibuk memencet-mencet tombol. Ia menyerahkan BBnya itu kepadaku.

Aku melihat layarnya. Ada semacam hasil scan dari sketsa dua orang anak. Yang satu kelihatan nyebelin, ini pasti America. Yang satunya lagi... oh Tuhan, yang satunya lagi...

Aku berharap siapapun yang membuat sketsa itu terlalu melebih-lebihkan keimutan dan kecantikan Canada kecil.

Canada mengambil kembali Bbnya dari tanganku yang agak gemetar. Dia kelihatan bingung. Anjritnya, tampang bingungnya itu melipatgandakan kadar kemanisan wajahnya!

"Nesia, kamu kelihatan pucat. Ga apa-apa?" tanyanya pelan. Aku menggeleng sebagai jawaban sambil buru-buru ambil kaastangel lagi.

"Lanjutin ceritamu aja, Can," aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Gengsi kalau ketahuan ngiri. Ngirinya sama cowok lagi.

"Ah ya, sampai mana tadi? Oh, Ned sempat mampir ke tempatku selama beberapa saat. Tapi kemudian dia pergi, sepertinya dia lebih sibuk di kawasan Asia. Aku bahkan ga yakin dia masih ingat pernah bertemu aku waktu kecil," terlihat aura suram di atas kepala Canada, "Aku memang sering dilupakan."

"Siapa?" tanya beruang Canada.

"Canada," jawab Canada.

Aku masih menjejalkan kaastangel ke mulutku. Maklum, kalau banyak pikiran bawaannya pinginnya ngemil.

"Lha terus, kalian kenalnya kapan?", tanyaku.

"Hmm, sekitar tahun 1940-an. Bagaimana ya, ceritanya agak rumit," Canada menjawab dengan malu-malu sambil menggaruk kepala. "Bisa dibilang, kita jadi berteman akrab sejak akhir perang dunia kedua."

Pemuda itu melanjutkan dengan polosnya, "Sejak itu juga dia selalu membawakanku tulip, hahaha.."

.

JGLEEER, JGLEEER!

.

Bagaikan petir menyambar di siang bolong, semuanya jadi jelas sekarang! Ned, Canada, tulip, perang dunia kedua. Ini pasti, tidak mungkin salah. Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi?

Canada adalah... Canada adalah pelarian Ned dariku!

Ya, pasti begitu! Karena *uhuk* proses rujukku dan Ned yang gagal total pasca kemerdekaanku, si jabrik itu pasti patah hati! Aku pernah lihat sih di tivi-tivi, cowok yang patah hati bisa jadi berubah orientasi.

Aku mendekap mulutku. Ya ampun, apa yang sudah kulakukan? Mantan penjajahku yang macho itu sekarang berubah orientasi! Ya Tuhan, apa karena hubunganku dan Ned tidak begitu lancar selama puluhan tahun, jadi dia menyalurkan..hasratnya..ke..orang..lain?

Aku melirik Canada. Kyaaaa, pikiran-pikiran hina langsung membanjiri otakku.

Aku kembali mengubur wajahku dengan tangan. Padahal, padahal hubunganku dan Ned belakangan ini mulai membaik. Apa mungkin dia cuma memandangku sebagai sahabat? Padahal...

"Oi, oi.. kita siap. Ayo jalan," terdengar suara serak-berat milik Ned. Entah kenapa kali ini suaranya terdengar menyakitkan. Aku buru-buru menyeka air mata yang hampir muncul.

"Sorry ya, aku tadi harus pilih baju dulu," terdengar suara ceria België. Aku mendongak. Kulihat gadis itu sekarang memakai pita rambut merah dengan kardigan yang sewarna. Dibelakangnya, Ned kelihatan tidak senang.

"Ayo kita cepat-cepat pergi, keburu siang."

.

xxx

.

Empat orang berjalan menyusuri trotoar kota Amsterdam. Kita baru saja turun dari trem, sekarang sedang menuju salah satu tempat makan di daerah kota tua. Aku berjalan berdampingan dengan België. Ned di depan dengan kekasihnya itu. Tadinya sih Ned mau sok-sokan gandeng tanganku, tapi aku mengelak. Ga usah gengsi mengumbar cinta sama Canada deh Ned, aku udah tau.

Aku menghela nafas. Pandanganku bermain ke langit di atas, kelabu berhiaskan mendung tipis. Barusan kita berempat menyeberangi kanal yang cantik banget, dengan pohon-pohon hijau di sampingnya. Sekarang kita lagi menyusuri salah satu jalan di kota tua Amsterdam. Jalan Rozengracht kalau ga salah. Di kanan kiri, gedung-gedung antik berjajar rapi. Ada restoran, coffee shop, butik, atau sekedar gedung yang ga jelas apa fungsinya. Ah, ada trem melintas di tengah jalan.

Seharusnya liburanku ini berlangsung dengan indahnya. Tapi kenapa yang ada malah sakit hati gini?

Sementara itu, Ned berbelok masuk ke salah satu gedung. Kita bertiga mengikuti. Di dalam terasa hangat. Ada meja-meja tersusun rapi, dan dekorasinya terasa sangat...familiar.

"Broer, kita makan apa?" tanya België

"Siang ini Rijsttafel ya?" jawabnya sambil tersenyum...kearahku! Hiyaaah, gatel bener sih nih cowok, udah ada cowok masih ngembat cewek.

Kita berempat mengambil meja di dekat jendela. Salah satu waiter mengantarkan daftar menu.

"Ah, omong-omong," Canada membuka pembicaraan sambil melihat-lihat menu, "Rijsttafel itu apa ya?"

"Oh, Rijsttafel dalam bahasa Inggris jadi Rice Table, itu sebutanku untuk makanan dari tempatnya Nesia," Ned menjawab sambil tersenyum ke arahku. Aku cuek aja, sambil melihat jendela.

"Oh, iya iya," Canada mengangguk-angguk sambil bergumam dengan suaranya yang lebih imut dari suaraku itu. Aku semakin fokus memandang jendela, melihat orang-orang lewat. Ah, ada sepasang cowok bergandengan tangan.

"Nesia, kamu mau makan apa?" tanya Ned. Aku memandangnya dengan judes.

"Apa aja deh, asal bukan babi ketjap," jawabku ketus.

"Aku sateh ajam, sama kropoeknya yang banyak," ujar België ceria.

Seandainya situasinya ga sekompleks ini, aku pasti udah ketawa ngakak. Oh, cara mereka melafalkan sate ayam, seakan itu makanan eksotik dari negeri antah berantah.

"Aku... apa ya?" Canada terlihat kebingungan. Dia tidak berpengalaman dengan makanan Indonesia.

"Ned, ini daging smoor apaan ya?" tanyanya pelan sambil menyodorkan daftar menunya ke Ned. Si jabrik itu menerangkan ke Canada, dan oh aku tidak tahan melihat diskusi romantis mereka tentang daging semur! Aku kembali memandang jendela, tepat ketika sepasang cowok berjalan berangkulan di hadapanku.

"Ngh, di sini banyak homo ya," komentarku sinis. Aku melirik dua cowok di sampingku. Mereka berhenti membahas daging semur.

"Ah, iya sih Nes," komentar Ned dengan tatapan tak bersalah. "Di sini legal sejak 2001 kemarin."

"Di tempatku juga legal lhoooo...," België ikut nimbrung.

Dan untuk memperburuk keadaan, Canada menimpali dengan sama polosnya.

"Di tempatku juga nikah sesama jenis legal kok."

.

Aku mau lari keluar dan terjun bebas ke kanal, SEKARANG!

.

xxx

.

Selesai makan siang aku minta pulang ke rumah Ned. Pura-pura masih jetlag, padahal sebenarnya ga tahan aja lihat dua orang itu bermesraan. Ned kelihatan sedih, tapi langsung mengantarku pulang. Ia bertanya apa aku sakit, aku sih cuek aja. Sampai di rumah, aku langsung mengurung diri di kamar. Mereka bertiga batal jalan-jalan malam menyusuri kanal Amsterdam, Ned bersikeras ingin menjagaku. Kalau sudah begitu, dua lainnya juga tidak jadi pergi. Ih, Ned kenapa sih harus sok-sokan segala? Ga usah malu-malu kalau mau bersampan ria di kanal-kanal romantis Amsterdam bareng Canadamu itu.

Mendadak aku terbayang adegan Titanic. Ned memegangi Canada di haluan kapal.

KYAAAA! Enyahlah pikiran kotor!

.

~continued on part 2~