Warning: possible OOCness,human name used, description contains war and violence, should i add badass!Canada in the warning? Based on real historical event. I apologize for any inaccuracy.

Disclaimer: Hetalia © Himaruya Hidekazu


Sebuah mobil jeep hijau tua berderum pelan memasuki kota. Dibelakangnya, dua buah truk sewarna mengikuti dengan patuh. Matthew duduk di jok belakang jeep, memperhatikan kota kecil yang baru saja ia masuki. Kumajirou duduk di sampingnya dengan tenang.

Jeep dan kedua truk itu berhenti. Kumajirou merangkak turun, mengikuti tuannya yang langsung meloncat keluar jeep begitu mereka berhenti. Dari arah berlawanan, beberapa petugas palang merah berlari mendekat. Seorang tentara terluka, merintih di atas tandu.

Matthew memperhatikan rumah-rumah di sekelilingnya. Bekas tembakan, selongsong peluru, tanda-tanda pertempuran masih terlihat jelas. Satu jam yang lalu, jalanan ini masih menjadi ajang baku tembak antara tentara Kanada dan para Nazi Jerman.

Dari balik jendela rumah, wajah-wajah ketakutan mengintip jalanan lengang di bawah. Beberapa orang mulai berani membuka pintu, memperhatikan truk yang terparkir di tengah jalan. Seorang anak kecil mencengkram mantel ibunya, memandang takut-takut para tentara asing itu dari teras rumah.

"Tolong turunkan makanannya, sekarang," Matthew memberikan instruksi. Para tentara dengan sigap mengeluarkan kotak-kotak ransum dari truk. Matthew membuka salah satu kardus dan mengeluarkan sebungkus biskuit.

Keheningan pecah. Melihat tentara Kanada mulai mengeluarkan makanan, warga kota langsung menyerbu mereka.

Matthew kewalahan menghadapi tangan-tangan kurus yang menggapai-gapai. Dalam sekejap, kardus biskuitnya sudah kosong. Pemuda itu memperhatikan warga kota yang sekarang menikmati biskuit dengan antusias. Ah, bukan. 'Antusias' bukan kata yang cukup kuat menggambarkan kejadian saat ini.

Dari dekat, Matthew bisa melihat kondisi warga kota dengan jelas. Wajah-wajah kurus yang memancarkan kebahagiaan. Mata cekung yang berkaca-kaca. Seorang ibu terisak, tangannya bergetar saat membuka bungkus biskuit. Matthew tersenyum saat melihat ibu itu membagikan biskuit ke anak-anaknya.

"Meneer, Meneer..," seorang pria tiba-tiba mencengkeram seragam Matthew, "..mijn moeder."

"Ah, maaf aku tidak bisa bahasa Belanda," pemuda itu kebingungan. Si pria dengan lemah menarik-narik seragamnya, suaranya terdengar memelas.

"Adakah yang bisa bahasa Belanda?" Matthew memandang ke arah tentaranya. Salah seorang langsung mendatangi Matthew.

"Sir, saya kebetulan pernah belajar bahasa Belanda," jawab si tentara dengan tegas.

"Ah, tolong. Pria ini mengatakan sesuatu," ujar Matthew. Si tentara mendengarkan dengan seksama ucapan si pria.

.

"Bagaimana?" tanya Matthew.

"Sir... Ibu pria ini butuh bantuan."

.

xxx

.

Matthew berdiri menunggu di depan salah satu rumah. Dua orang petugas palang merah memeriksa masuk, mengikuti arahan si pria Belanda tadi. Tak lama kemudian mereka keluar, menandu seorang wanita tua. Matthew menahan nafas saat melihat kondisi wanita tersebut.

Kulit wanita itu sangat pucat, menempel di tubuhnya yang sekurus kerangka. Kontras dengan bagian lain tubuhnya, perut wanita itu terlihat membusung dibalik mantel kumal yang dikenakannya. Matanya bergerak-gerak lemah, menandakan bahwa dia masih hidup.

"Dia...tidak apa-apa kan?" tanya Matthew setelah berhasil mengatasi kekagetannya.

"Wanita ini menderita hunger oedema, sir," jawab salah satu tentara, "Dia akan selamat, tapi mungkin tidak jika kita tadi tidak segera menemukannya."

Matthew menghela nafas dengan pelan. Ia memeluk Kumajirou lebih erat. Sementara itu konvoi tentara Kanada melintas di jalan, diiringi sorak-sorai dari penduduk kota yang telah mereka bebaskan. Tak sedikit yang mendekat, memeluk para tentara dengan mata dipenuhi tangis kebahagiaan.

Di satu sisi, Matthew merasa bahagia melihat betapa rakyat Belanda sangat berterima kasih kepada tentaranya. Di sisi lain, ia merinding membayangkan nasib penduduk kota-kota lain yang masih di bawah kendali Jerman. Dan apa yang akan terjadi seandainya ia tidak segera datang.

.

"Kumajinja, sepertinya pekerjaan kita masih banyak."

.


April 3, 1945

Berawan. Sudah beberapa hari aku tidak menulis jurnal sibuk. Hari-hariku belakangan ini dipenuhi konvoi melintasi polder-polder becek, tanggul-tanggul sempit, dan polder-polder becek lainnya. Tentara Jerman benar-benar serius dalam menghambat pergerakan pasukan. Mereka mundur sambil menghancurkan jembatan-jembatan dan merusak dam-dam, membuat kami cukup kewalahan. Dan itu saja belum cukup,baku tembak bisa pecah dimana saja. Di tengah polder becek, di tepi hutan, di kawasan pertanian yang rusak parah, itu semua sangat melelahkan.

Tapi setiap kali kami sampai di sebuah kota, rasanya usaha yang kami lakukan terbayar dengan berita lebih cepat menyebar daripada pergerakan pasukan. Saat kami memasuki kota yang baru saja dibebaskan, penduduk kota akan langsung menyerbu. Berteriak "Canada, Canada" . Lalu kami akan mulai membagikan makanan, dan penduduk kota sebagai gantinya memberi kami banyak bunga dan pelukan hangat.

PS. Kumajimi sangat digemari anak-anak Belanda. Aku sih tidak keberatan saat mereka datang dan mulai mencubit-cubit Kumajimi, hahaha. Kelihatannya beruang kutub bukan sesuatu yang lazim di Eropa.


.

xxx

.

Malam telah turun di negeri Belanda. Kawasan pertanian yang biasanya sepi itu malam ini ramai dipenuhi manusia. Tentara Kanada telah mendirikan tenda-tenda di sana. Sekarang mereka melepas penat setelah seharian berjalan melintasi kanal-kanal dan polder berair.

Di salah satu tenda, Matthew mengelus dagu sambil memainkan spidol di tangannya. Ia memandang peta yang terbuka di atas meja. Seorang tentara berdiri tegap di samping si pemuda. Kumajirou duduk di kursi, sibuk memakan biskuit.

"Jadi kita sudah hampir mencapai Groningen," gumamnya sambil menarik garis lurus dengan spidol. Ia memandangi garis-garis merah dan simbol-simbol yang digambarnya dengan cermat setiap hari.

"Private, sudah dapat perkembangan terbaru pergerakan pasukan?" tanya Matthew.

"Yes Sir!" jawab si tentara tegas, "Semua sudah terangkum dalam laporan ini."

Matthew tersenyum dan menerima laporan tersebut. Ia membaca kertas-kertas itu dengan seksama.

"Hmm, divisi ini sudah sampai sini, lalu divisi yang ini...," Matthew bergumam sendiri sementara ia menandai petanya. Dengan teliti ia menerjemahkan posisi terakhir tentara-tentaranya, menamai setiap divisi, menandai setiap pertempuran yang terjadi, dan memberi tanggal di samping garis-garis yang menggambarkan pergerakan pasukan. Terakhir, ia menarik garis untuk menghubungkan posisi terbaru para tentaranya.

"Lalu, 1st Canadian Corps..," Matthew menoleh kepada si tentara, "Mereka sudah mulai bergerak?"

"Yes Sir!" jawabnya, lagi-lagi dengan tegas, "Mereka sudah ada di luar kota Arnhem."

"Baguslah," balas Matthew pelan. Ia melirik bagian kiri peta, bagian yang bersih dari coret-coretan spidolnya. Hanya ada empat tanda silang merah disana, masing-masing di samping tulisan 'Amsterdam',' Den Haag',' Rotterdam', dan 'Utrecht'. Pemuda itu menghela nafas. Tentaranya yang ditugasi membebaskan bagian paling vital dari Belanda baru bisa bergerak hari ini. Salahkan medan yang terlalu berat.

"Sir?" tentara lain baru saja memasuki tenda. Ia memberi hormat. "Ini laporan dari bagian intelijen," si tentara menyerahkan secarik kertas kepada Matthew.

"Terima kasih," ujar Matthew.

Di kertas itu tertulis taksiran jumlah musuh yang bersiaga di dalam kota Groningen.

"Tujuh ribu musuh, terdiri dari pasukan Jerman dan kolaborator," batin Matthew. Ia menggelengkan kepalanya pelan. "Mereka masih percaya kalau Reich tidak akan runtuh,eh?" gumam pemuda itu.

Tidak ada respon dari tentaranya.

"Baiklah, kalian boleh pergi," kata Matthew. Ia menyaksikan kedua tentaranya memberi hormat dan meninggalkan tenda, sebelum kemudian dengan pelan menggulung kembali petanya.

"Kumajumbo, sekarang saatnya tidur," Kumajirou menggeram pelan saat Matthew memindahkan beruang itu dari kursi ke atas kasur. Ia memandang tuannya dengan polos.

"Siapa?"

Si pemuda mengusap-usap kepala Kumajirou dengan lembut. "Kamu tidak pernah ingat ya? Aku Canada," jawab Matthew sambil menidurkan peliharaannya itu. "Sekarang kamu tidur, aku mau menulis jurnal dulu."

Tak lama kemudian, hanya terdengar suara dengkur beruang dan goresan pena di dalam tenda.

.


April 12, 1945

Hujan. Sebentar lagi kami akan memasuki Groningen. Di selatan, tentaraku juga bersiap merebut Arnhem dari tangan musuh. Sejauh ini, tentara Jerman memberi perlawanan keras kepada kami. Orang-orang Belanda yang membantu pihak Jerman juga tidak tergoyahkan. Mereka masih percaya kepada Hitler. Hmm, pria itu.. ,kemampuannya mempengaruhi orang lain memang hebat. Coba kemampuannya itu digunakan untuk mempromosikan perdamaian, pasti hasilnya luar biasa.

PS. Pagi ini aku menemukan Kumajumbo diam-diam menyelinap ke truk logistik. Oh, pantas beberapa hari terakhir ada laporan hilangnya parsel-parsel makanan dari peti.


.

xxx

.

Keesokan harinya, setelah pertempuran sengit di pinggir kota, menjelang malam Matthew dan tentaranya memasuki Groningen. Empat puluh ribu tentara Kanada dan tujuh ribu pasukan Jerman bertemu di kota terbesar di utara Belanda. Saat perang berakhir, pertempuran Groningen akan dikenang sebagai salah satu pertempuran-kota terhebat yang dijalani tentara Kanada.

.

"Sepertinya tidak ada musuh, kita bisa bergerak lagi," ujar Matthew kepada sekelompok tentara di belakangnya. Pemuda itu memberi isyarat dengan tangan, "Maju!"

Dengan sigap,kelompok kecil tersebut membelok masuk. Pelan-pelan menyusuri jalan sempit yang diapit gedung-gedung kurus empat lantai. Senapan di tangan siap menembak jika sewaktu-waktu ada peluru meluncur dari salah satu gang.

Jalanan di depan mereka sepi dan gelap. Tanpa penerangan, jendela-jendela apartemen tak ubahnya lubang-lubang hitam pada dinding bata. Matthew tahu setiap lubang sewaktu-waktu bisa memuntahkan peluru. Sayangnya ia juga tahu, di balik lubang-lubang itu ada warga sipil yang meringkuk ketakutan. Karena itu, ia tidak bisa begitu saja mengebom gedung-gedung pada pertempuran kali ini. Tentaranya terpaksa bertarung dari pintu ke pintu.

Sayup-sayup terdengar rentetan tembakan. Kelihatannya pertempuran sudah pecah di bagian lain kota. Bagi mereka yang belum bertempur, suara-suara tersebut hanya menambah ketegangan. Ini hanya masalah waktu, gedung berikutnya yang mereka lewati bisa saja tempat persembunyian para tentara Jerman.

"Takut?" tanya Matthew lembut kepada salah satu tentaranya. Ia tersenyum.

"Tidak, sir," bisik tentara itu. Wajahnya kelihatan pucat, bahkan dalam gelap.

"Tidak apa-apa, aku juga takut," Matthew berkata pelan sambil terus berjalan. Matanya siaga mengawasi setiap gerakan, meskipun begitu ekspresi wajahnya tetap kelihatan ramah. "Tapi ini tugas kita, membebaskan warga Belanda," lanjut pemuda itu sambil kembali tersenyum, "Tidakkah menyenangkan melihat mereka akhirnya bahagia setelah menderita sekian lama? Untuk itulah kita bertarung."

Beberapa tentara tersenyum kecil sambil terus mengikuti sang pimpinan dan beruang kutubnya. Semua tentara Kanada yang pernah bertemu Matthew tahu, ada sesuatu yang spesial dengan pimpinan mereka itu. Bukan hanya rambut pirangnya yang terlalu panjang untuk seorang tentara, usianya yang terlalu muda untuk menjadi jendral, atau kemampuannya bertempur sambil menggendong beruang kutub. Ada sesuatu yang lebih besar di belakang itu semua.

Keberadaan Matthew sendiri , bagi tentaranya terasa... menenangkan.

Rentetan tembakan kembali terdengar di kejauhan. Matthew memberi isyarat pasukan kecilnya untuk maju setelah ia memastikan gang sempit di kanan mereka bebas dari musuh. Para tentaranya mengikuti dengan patuh.

Mendadak Matthew merasakan sesuatu, Kumajirou menggenggam pundaknya lebih erat.

.

DOR!

"Maple!" bisik Matthew. Terdengar bunyi tembakan. Keras, jelas, dan lebih dekat dibanding desingan samar yang terdengar dari tadi.

DOR! DOR!

Rentetan tembakan kembali terdengar. Percikan api bermunculan di tempat peluru menghantam jalanan.

"Di atas," gumam Kumajirou sambil menunjuk salah satu jendela gedung. Samar-samar terlihat moncong senapan menjulur keluar dari kegelapan.

Matthew serta beberapa tentaranya mengarahkan senapan ke jendela itu. Terdengar suara tembakan balasan. Kumajirou menatap polos dari balik punggung tuannya, memperhatikan peluru yang berdesing menghantam dinding bata dan memecah kaca jendela.

.

.

"Sudah... selesai...?" tanya salah satu tentara ragu-ragu. Ia sedikit menurunkan senapannya. Sementara itu, Matthew masih memicingkan mata. Tidak mungkin segampang ini berakhir.

.

Tiba-tiba moncong senapan bermunculan dari jendela. Satu, dua, Matthew berhenti menghitung. Dia langsung memberi isyarat, memerintahkan pasukannya menghindar dari bidikan senapan yang mulai memuntahkan peluru.

"Kelihatannya kita menemukan sarang mereka, eh?" mereka semua merapat ke tembok , tepat di bawah jendela-jendela bersenapan. Posisi mereka membuat musuh harus menjulurkan kepala agar bisa menembak dengan akurat.

"Kalian berdua!" tunjuk Matthew, "Kalian berjaga di luar sementara yang lain masuk." Rahang pemuda itu mengeras, "Dan ,kalau memang harus, tembak siapapun yang menyerang.. di kepala."

Kedua tentara itu mengangguk singkat. Mereka mengarahkan senjata mereka ke atas. Matthew beralih ke sisa pasukannya. "Ayo masuk," ujarnya singkat.

Pemuda itu bergerak dengan gesit menuju pintu masuk, diikuti beberapa tentara lain. Ia merunduk di bawah jendela sebelum akhirnya sampai di samping undakan menuju pintu. Tangannya terulur, memegang gagang pintu dan menariknya.

.

.

Pintunya tidak terkunci.

.

" Sebentar.., menyingkir dari depan pintu!" ujar Matthew tegas. Beberapa tentara kembali merapat ke dinding.

Pemuda itu mengulurkan tangan kirinya ke samping. Pelan-pelan ia menarik gagang pintu lalu dengan kuat mendorongnya sampai terbuka.

Matthew buru-buru menarik tangan kirinya, tepat sebelum terdengar bunyi rentetan tembakan dari dalam gedung. Peluru berdesing keluar dari pintu yang sekarang terbuka.

"Senapan mesin di depan pintu, eh," gumamnya di tengah rentetan suara tembakan, "Lain kali mereka harus lebih kreatif lagi."

Ia menarik lepas tiga granat dari sabuknya. Begitu bunyi tembakan mereda, Matthew langsung menarik pengaman dan melempar ketiga granat itu ke dalam pintu. Kumajirou menaruh tangan di atas kedua telinganya, lalu mengubur wajah berbulunya di punggung Matthew.

Serpihan kaca beterbangan menyusul tiga ledakan berturutan. Jalanan di depan gedung sekarang dipenuhi puing-puing jendela dan pintu yang hancur.

"Maju!" perintah Matthew. Dia dan tentaranya langsung menempatkan diri di depan pintu, menembakkan senapan mereka ke dalam ruangan yang masih gelap dan tertutupi asap. Terdengar teriakan-teriakan dalam bahasa Jerman, disusul bunyi langkah kaki.

"Sir, sepertinya mereka melarikan diri," ujar seorang tentara di kanan Matthew. Pelan-pelan asap tebal mulai menipis. Dua buah senapan mesin tergeletak di tengah ruang yang hancur akibat ledakan. Terdengar suara derap kaki dari lantai di atas mereka.

"Kita cek satu-satu kamar di sini," kata Matthew sambil mengalungkan senapan. Sebagai gantinya, ia menarik keluar revolvernya dari sarung, "Kemungkinan besar masih ada warga sipil, eh, jadi tolong berhati-hati."

Dengan sigap, mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Matthew melirik koridor gelap di kanannya, tangga lain menuju lantai tiga ada di kirinya.

"Kalian, lanjutkan ke atas," ia mengedikkan kepala ke arah tangga. "Dan, Private..," ujar Matthew sambil menatap salah satu tentara. "Kamu bersamaku, tolong berjaga di sini. Aku akan mengecek kamar satu-persatu."

Empat orang tentara melanjutkan naik ke lantai tiga. Sementara itu, Matthew mendekati salah satu pintu. Tangan kiri sudah di depan gagang, tangan kanan bersiap menarik pelatuk revolver.

"Sir Williams?", ujar si tentara. Matthew berhenti. Mata violetnya menatap rekan tentaranya yang kelihatan ragu-ragu itu.

"Sir, ini mungkin berbahaya. Posisi anda jauh lebih tinggi, apa tidak sebaiknya.."

"Kamu mengkhawatirkanku?" potong Matthew. Ia melanjutkan dengan lembut ,"Terima kasih, tapi aku lebih suka terjun langsung menghadapi musuh."

.

"Dan aku tidak akan mati semudah itu, tidak perlu khawatir," tambah Matthew pelan sambil tersenyum misterius. Si tentara mengangguk singkat dengan kikuk lalu melanjutkan berjaga di dekat tangga. Matthew kembali bersiap. Ia membuka pintu dengan tangan kirinya dan dengan sigap masuk sambil mengacungkan senjata.

Ruangan yang dimasuki Matthew cukup besar. Samar-samar terlihat sofa dan lemari-lemari merapat di dinding. Di seberang sana, dua buah jendela terlihat kontras dengan ruangan yang gelap. Pelan-pelan Matthew melangkah sambil mengangkat revolvernya. Kumajirou mengintip dari balik punggung.

Matthew telah sampai di seberang ruangan. Ia memeriksa bagian bawah jendela. Tidak ada selongsong peluru maupun bau mesiu. Bisa dipastikan, ruangan ini bukan tempat persembunyian musuh.

.

krek...

.

Terdengar bunyi derak lemah. Matthew berbalik, matanya langsung menyipit. Pelan-pelan ia berjalan menuju ruang sebelah. Mata violetnya berusaha mendeteksi gerakan sekecil apapun dalam gelapnya ruangan.

.

krek...

.

Matthew menoleh. Ia melihat gundukan besar tertutup kain gorden di salah satu sudut ruang. Sesuatu bergerak lemah di balik kain.

"Keluar!" desis Matthew sambil mengacungkan senjata. "Letakkan senjata dan keluar dengan tangan terangkat!"

.

Tidak ada reaksi. Pelan-pelan Matthew maju ke arah gundukan. Dengan cepat ia mencengkram kain itu dan menariknya.

"Ack!" terdengar suara teriakan tercekat.

"Geen schiet! Geen schiet!"

Di bawah kain itu meringkuk empat orang. Dua orang dewasa dan dua anak kecil. Dilihat dari penampilan mereka yang menyedihkan, tidak diragukan lagi mereka adalah warga sipil. Kedua anak itu kelihatan menahan tangis di pelukan ibunya. Sementara sang ayah masih memohon-mohon dalam bahasa Belanda .

"Geen schiet, alstublieft, geen schiet!"

Matthew menurunkan senjatanya. Ia merasa sedikit bersalah sudah menakuti keluarga malang ini.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari lantai atas, disusul bunyi derap kaki dan teriakan.

"Di sini tidak aman," ujar Matthew sambil mengulurkan tangan. Ia melanjutkan dengan pelan dalam bahasa Inggris, berharap lawan bicaranya mengerti, "Tolong ikuti saya sekarang. Saya antar ke tempat aman."

Terdengar bunyi tembakan lagi. Keempat orang itu masih menatap Matthew ketakutan sambil saling merapatkan diri.

"Tidak apa-apa," lanjut Matthew pelan. Ia tersenyum. Tangannya masih terulur. "Ik ben Canadese," kata Matthew kaku.

"Canadese?" mata keempat orang itu melebar saat Matthew menyebut kewarganegaraannya.

"Eh, ya..," pemuda itu tertawa kecil, "Sekarang, ayo kita keluar."

Matthew membantu keempatnya berdiri, lalu mengawal mereka keluar ke koridor.

"Sir!" ujar si tentara saat ia melihat Matthew keluar dari ruangan, "Pasukan tambahan baru saja tiba."

"Bagus, tolong minta salah satu dari mereka mengantar orang-orang ini ke luar area pertempuran..," Matthew menghela nafas sebelum melanjutkan ,"Dan tolong beri mereka makanan."

Si tentara mengangguk. Ia mengarahkan keluarga itu ke lantai satu. Si ibu berkata ke Matthew, setengah berteriak, "Maar, meneersoldaat!Mijn zoon..,hij nog.."

"Ah, nanti saja terima kasihnya ya Bu," potong Matthew. Pemuda itu berbalik, kembali menyusuri koridor dan bersiap memeriksa kamar berikutnya.

Pelan-pelan Matthew berjalan memasuki ruang. Revolver masih teracung di tangan, siap mengeluarkan peluru. Pemuda itu memeriksa kamar tersebut. Seperti kamar di sampingnya, tidak ada tanda-tanda musuh di ruangan ini. Bahkan, kali ini Matthew tidak menemukan siapapun di situ.

Dari jendela kamar, Matthew bisa melihat jalanan di depan mulai ramai. Sekelompok kecil tentara berbaris setengah berlari, memanggul senjata dan bergerak menuju timur. Dari arah berlawanan, warga sipil bergerak menjauhi arena baku tembak.

Matthew berhenti menatap keluar. Ia bergegas meninggalkan ruang kosong itu. Di koridor, suasana juga mulai seramai di luar. Seorang tentaranya terlihat sedang menuntun beberapa orang. Dari lantai atas, suara pertempuran belum berhenti.

Cklek..

Matthew membuka pintu kamar ketiga. Ruangan itu segelap dua ruangan sebelumnya. Samar-samar, Matthew melihat sesosok bayangan di ujung ruangan.

"Siapa di sana?" tanya Matthew sambil mengacungkan senjatanya. Ia berjalan mendekat. Samar-samar terdengar suara isak tangis di balik bunyi tembakan. Matthew memicingkan matanya.

Sosok di seberang ruangan itu kelihatannya seorang laki-laki dan anak kecil. Saat Matthew berjalan semakin dekat lagi, ia bisa melihat lebih jelas sosok di hadapannya. Seorang laki-laki berkemeja kumal sedang memegangi pundak anak kecil yang menangis.

"Ah kalian warga sipil?" tanya Matthew ramah. Tidak ada jawaban dari laki-laki itu.

"Eeh, ik ben Canadase," ujar Matthew. Masih tidak ada respon dari laki-laki itu.

"Di sini tidak aman, ayo ikut aku," Matthew menurunkan senjatanya dan mengulurkan tangan.

Yang terjadi setelah itu berlangsung begitu cepat. Si anak kecil melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki itu. Ia berlari mendekati Matthew. Matthew bisa melihat rasa takut di mata si anak. Sementara itu di belakang anak kecil, si laki-laki sudah mengeluarkan benda logam pendek yang kelihatan seperti pistol.

.

Lalu..

.

DOR! DOR!

Bunyi tembakan ganda bergaung di koridor.

"Sir Williams?" salah satu tentara langsung bergegas menuju kamar, "Sir! Saya mendengar bunyi tembakan, apakah..."

.

Tentara itu tidak menyelesaikan kalimatnya.

.

"Sir?" ia berjalan pelan ke arah pimpinannya. Matthew berdiri di ujung ruang, tangan kirinya mendekap seorang anak kecil. Tangan kanannya memegang revolver berasap, masih teracung kepada sesosok tubuh yang tergeletak di lantai. Kumajirou sudah tidak bergantung di pundak tuannya. Beruang itu sedang memperhatikan noda darah di telapaknya yang putih.

"Private," ujar Matthew. Ia berbalik menghadap tentaranya. Sekarang si tentara bisa melihat noda merah gelap di seragam sang pimpinan. Pelan-pelan melebar memenuhi pundak kiri.

"Sir, anda tertembak!" ujar tentara itu ngeri. Tapi ia lebih ngeri lagi saat melihat Matthew tetap kelihatan tenang meskipun darah terus merembes keluar.

"Tidak apa-apa, nanti juga berhenti," kata Matthew. Ia tersenyum, sedikit mengernyit menahan sakit dan melanjutkan dengan ramah, "Sepertinya aku harus kembali ke markas untuk mengobati lukaku dan mengantar anak ini, eh?"

Dengan pelan, Matthew berjalan menuju pintu bersama si anak. Kumajirou mengikuti di belakang.

"Ah, Private," ujar Matthew ketika dia mencapai pintu. Ia menoleh sedikit, "Kelihatannya beberapa tentara Jerman menyamar sebagai warga sipil. Hati-hati eh, tembak saja semua orang yang membawa senjata."

.

xxx

.

Dalam tiga hari, tentara Kanada berhasil memperkecil ruang gerak musuh. Penduduk kota mulai berani keluar ke jalan untuk menyapa para tentara, meskipun pertempuran masih berlangsung di beberapa bagian kota.

Matthew dan Kumajirou duduk di jok belakang sebuah jeep. Melintasi jalanan sempit yang diapit gedung-gedung tua. Beberapa orang melambai ke arahnya, beberapa melakukannya sambil mengacungkan bendera oranye. Matthew tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka.

Jeep semakin mendekati daerah timur kota. Suara tembakan semakin jelas terdengar. Saat jeep itu membelok di ujung jalan, Matthew akhirnya tiba di area pertempuran. Para tentaranya bersiaga di tepi kanal. Di seberang sana, pasukan musuh juga bersiaga dengan senjata mereka. Peluru melesat menyeberangi kanal.

Matthew turun dari jeep. Ia lalu mengulurkan kedua tangannya. Kumajirou merangkak malas masuk gendongan Matthew.

"Siapa?" tanya beruang itu di tengah suara tembak-menembak.

"Matthew, Canada, berapa kali harus kubilang,eh?" jawab Matthew pelan. Pemuda itu berbalik. Seorang tentara datang mendekat.

"Sir, senang anda bisa datang kemari!" ujar pria itu sambil memberi hormat.

"Tidak apa-apa, tidak masalah," jawab Matthew. Ia menghela nafas sambil memperhatikan baku tembak, "Padahal komandan mereka sudah menyerah eh, tapi mereka masih terus melawan."

"Ini gerakan perlawanan yang terakhir, Sir," kata si tentara. Matthew menatap pria itu dan bertanya, "Jadi, bagaimana situasinya?"

"Pasukan berlindung di seberang kanal, Sir! Mereka mengangkat jembatannya," Ia menunjuk sebuah jembatan yang melintang di atas kanal. Jembatan itu terangkat setengah, membuat tentara Kanada tidak bisa menyeberang.

" Sir, saya juga harus melaporkan.., beberapa warga Belanda menawarkan diri membantu kita."

"Warga sipil?" tanya Matthew.

Pria itu mengangguk. Matthew menaikkan alisnya, "Aku ingin menemui mereka."

Si tentara memandu Matthew, berjalan cepat di belakang para tentara yang masih terlibat baku tembak. Mereka mendekati sekumpulan orang berpakaian sipil. Seorang tentara yang bersama orang-orang itu memberi hormat.

"Officer, ini orang-orang yang kamu maksud?", tanya Matthew kepada pria di sampingnya. Pria itu mengangguk.

"Selamat siang," sapa Matthew pelan, "Saya Matthew Williams, pemimpin tentara Kanada."

"Oh, tuan Williams," jawab salah satu dari mereka dalam bahasa Inggris beraksen berat. "Senang bertemu anda. Perkenalkan, ini rekan-rekan saya," pria itu berbalik menghadap teman-temannya dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Belanda. Begitu tahu siapa itu Matthew, mereka langsung berbicara dengan penuh semangat.

"Tuan Williams, seperti yang anda lihat, kami ingin membantu tentara Kanada," ujar si pria.

"Ah, bagaimana ya," jawab Matthew. Ia tersenyum lalu melanjutkan dengan pelan, "Terima kasih atas tawarannya, tapi saya tidak ingin melibatkan warga sipil."

"Tuan," sambung si pria lagi, "Seharusnya kami yang berterima kasih kepada tuan. Sekarang, kami hanya ingin membantu tentara Kanada dan berjuang untuk tanah kelahiran kami."

Matthew diam. Dia memperhatikan orang-orang di depannya. Tidak perlu kata-kata untuk menjelaskan betapa mereka ingin sekali ikut berjuang.

"Hmm, kalian punya rencana?" tanya Matthew pelan. Pria di depannya mengangguk dengan mantap.

"Teman saya ini adalah petugas penjaga jembatan," terangnya sambil menunjuk pria di sebelahnya, "Dia tahu di mana tuas untuk menurunkan jembatan."

Matthew mengangguk pelan.

"Kami akan mencoba menyeberang lalu menurunkan jembatannya."

"Itu kelihatan berbahaya eh, tapi...," Matthew berhenti sebentar sebelum akhirnya mengangguk kecil.

"Baiklah, kami akan melindungi kalian sementara kalian menyeberang."

Si pria mengangguk singkat lalu segera memberi tahu teman-temannya. Mereka semua dengan bersemangat langsung mengambil sebuah tangga kayu. Matthew bergegas menuju tepi kanal, memberi instruksi kepada tentaranya.

"Para pemberani ini akan menyeberang, lindungi mereka!" perintah Matthew. Para tentara merapatkan posisi mereka. Matthew melepas helm besinya.

"Pakai ini, dan tolong hati-hati," ujarnya sambil memberikan helm kepada salah seorang relawan. Beberapa tentara lain juga memberikan helm mereka kepada para relawan itu.

Matthew memperhatikan satu persatu relawan pemberani itu menerjunkan diri ke kanal. Salah satu diantara mereka membawa tangga kayu. Seketika itu juga target tembakan musuh berganti. Peluru menciptakan cipratan-cipratan kecil di permukaan kanal.

"Jangan biarkan musuh menembak mereka!" ujar Matthew. Ia menurunkan Kumajirou dari gendongan lalu mengambil senapannya.

Para relawan sudah setengah jalan menyeberangi kanal. Tembakan beruntun dilepaskan dari sisi Kanada untuk memastikan musuh tidak punya kesempatan menembak.

Akhirnya mereka sampai di seberang kanal. Si pembawa tangga kayu segera memposisikan tangga agar teman-temannya bisa memanjat naik. Beberapa tentara Jerman muncul dan berusaha menghalangi, tapi segera menghindar ketika tentara Kanada melepaskan rentetan tembakan lagi.

" Tidak semudah itu, eh," gumam Matthew sambil membidik seorang tentara Jerman. Tembakannya meleset sedikit, tapi itu cukup untuk membuat musuh terus bersembunyi di balik dinding. Para relawan sudah berada di sisi lain kanal dan berlari menuju jembatan.

"Siagakan pasukan di depan jembatan!" Matthew memberi perintah. Dua buah tank dan sepasukan tentara bergerak menuju jembatan. Pemuda itu kembali membidikkan senjatanya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat jembatan pelan-pelan mulai diturunkan.

"Sebentar lagi ini akan berakhir," gumamnya pelan. Ia melepaskan beberapa tembakan lagi ke arah persembunyian musuh, memastikan mereka tidak akan menginterupsi penurunan jembatan.

Jembatan akhirnya berhasil diturunkan sepenuhnya. Tentara Kanada langsung bergegas menyeberangi jembatan. Perlawanan musuh dipatahkan tak lama kemudian. Hari itu, pasukan Jerman yang tersisa berhasil ditangkap atau melarikan diri keluar kota. Pertempuran telah berakhir di Groningen.

.

xxx

.

Sore itu Matthew duduk dengan tenang di atas mobil jeepnya. Kumajirou duduk di samping, baru saja selesai memakan daging asap kering dan sekarang sedang menjilati telapak tangannya. Sekumpulan pasukan Jerman melintas di depan, berbaris rapi di bawah todongan senjata tentara Kanada.

Matthew mendongak, melihat langit kelabu dengan semburat oranye. Ia menarik nafas lega. Baku tembak sudah berhenti sekarang. Dalam hati, Matthew berharap kota ini tidak perlu jadi ajang baku tembak lagi di kemudian hari.

"Sir Williams!" terdengar suara memanggil. Matthew menoleh, memperhatikan seorang tentara yang baru saja datang kepadanya.

"Ya, Private, ada apa?" tanyanya pelan.

"Sir! Seseorang menunggu anda di markas."

"Eh, siapa?" alis Matthew terangkat. Tentara di depannya kelihatan sedikit bingung.

"Seorang petinggi tentara Inggris Sir, tapi tidak ada informasi jelas soal pangkatnya."

"Siapa namanya?", tanya Matthew lagi.

"Kirkland, Sir!"

.

~to be continued~

.

.


Catatan Penulis:

Nyaaaa! Kenapa akhirnya aku malah bikin suspense? Oke, chapter ini agak panjang soalnya semua adegan tembak-tembakan aku taruh di sini. Di chapter depan, udah ga bakal ada cerita soal pertempuran seru kayak gini, hehehe..

Anyway, maaf kalau updatenya lama. Aku bingung gimana mau mengkompres cerita soal perjuangan tentara Kanada membebaskan Belanda, kondisi warga Belanda yang baru dibebaskan, dan beberapa warga Belanda yang ikut berjuang, juga trik-trik licik tentara Jerman dalam satu chapter.

Terus, aku juga ga ngasih terjemahan untuk percakapan dalam bahasa Belanda. Biar kerasa language barrier yang dialami Matthew dan tentaranya. *evil smirk*

By the way, aku akhirnya nemu referensi bagus untuk nulis fic ini. Judul bukunya "Official History of the Canadian Army" dan buku ini tersedia gratis di internet untuk dibaca-baca. *ketawa penuh kemenangan* . Bukunya ada di Ibiblio (dot) org , di bagian Hyperwar. Disitu juga ada banyak bacaan soal World War II. Puas banget deh baca-bacanya.

Oh iya, hari ini hari terakhir liburku. Besok aku udah ospek jadi untuk sementara cerita ini hiatus dulu. Jangan khawatir, aku udah punya bayangan bakal kayak apa cerita ini jalan, sampai ke detail endingnya. Cuma masalahnya, susah mengeluarkan gambaran di kepala ke dalam tulisan :3

Moga-moga aku bisa update lagi secepetnya. Makasih udah baca.

Ciao~