.


Natsu no Sakura: CHAPTER I: KUMORI NO SORA

Sepenggal kisah yang berawal dari sebuah pohon sakura di musim panas. Saat seorang gadis bertemu dengan seorang pemuda asing di suatu hari di musim panas. "Apa yang sedang kau lakukan?"/"Kuro,"/"Gomen... Tou-san..."/"Tapi kenapa langitnya digambarkan mendung?"/ CHAPTER I: KUMORI NO SORA


.

Di hari hujan seperti ini, tidak membawa payung bisa berakibat fatal. Apalagi jika kau punya aktivitas di luar rumah sampai malam. Titik-titik hujan yang turun beberapa menit yang lalu kini sudah berubah menjadi butiran-butiran air hujan yang turun deras membasahi kota Tokyo. Sialnya, aku lupa membawa payung! Padahal seingatku aku sudah memasukkannya ke dalam tasku tadi pagi. Dengan terpaksa aku berlari secepat mungkin menerobos hujan. Kuharap aku bisa cepat sampai di rumah dan langsung tidur!

Aku masih ingat, saat aku sedang melewati sungai yang ada di dekat rumahku. Saat itu jalan yang memang tidak begitu besar itu sangat sepi. Kurasa hanya ada aku yang terus berlari di sepanjang jalan itu. Tiba-tiba kulihat seseorang tengah berdiri di dekat pohon sakura yang memang cuma ada satu di sana. Aneh, hujan-hujan seperti ini orang itu sama sekali tidak berteduh ke tempat lain. Ia malah memilih pohon sakura yang terlihat sedikit gersang itu. Penasaran, aku pun menghampirinya.

Kepala pemuda itu menengadah ke atas, menatap langit mendung yang terus mencurahkan hujan. Jaket hitam tipis yang dikenakannya tampak sudah basah terkena air hujan, begitu pula dengan kemeja motif garis-garisnya. Tampaknya ia sama sekali tidak keberatan dengan tetesan-tetesan hujan. Kini jarakku dan pemuda asing itu sudah tinggal beberapa langkah lagi, tetapi entah ia tak menyadari keberadaanku atau ia memang tak ingin kegiatannya diganggu.

Kuputuskan untuk menyapanya, "Hai."

Ia tak bergeming. Aku tak mengerti apa yang sedang ia lakukan, tetapi tampaknya ia lebih suka diam memandang langit mendung dari pada menghiraukan orang lain yang mencoba mengajaknya berbicara.

Kucoba sekali lagi mengajaknya berbicara, "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Berhasil! Ia menoleh padaku. Kedua iris onyxnya menatapku dengan tatapan dingin—tapi entah kenapa aku merasa melihat setitik kesedihan di sana. Alih-alih menjawab, ia malah kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat diinterupsi olehku tadi. Kesal, aku pun melanjutkan langkahku kembali ke rumah.

.

.

.

.

.


Natsu no Sakura

A B.I. Shadow PLUS a little bit Hey! Say! JUMP fanfic—Sepenggal kisah yang berawal dari sebuah pohon sakura di musim panas. FULL SUMMARY INSIDE/CHAPTER I: KUMORI NO SORA/

All Johnny's Jrs. and Hey! Say! JUMP's membersbelongs to Kami-sama, their parents, and Johnny's Jimusho

Natsu no Sakurabelongs to Mochiraito

WARNING! Contains:Johnny's Jrs.everywhere, OOCness, ABALness, GAJEness, LOCH(?)ness, EPIC FAIL plot, EPIC FAIL story.

DON'T LIKE DON'T READ!

.

ENJOY!


.

.

.

.

.

Untunglah hujan tidak turun deras seperti kemarin sore. Meskipun merasa kesal karena payung yang sudah kubawa jadi tak berguna, setidaknya aku tidak perlu melewati jalan-jalan penuh kubangan air sepanjang perjalananku pulang.

Hari itu adalah hari pertemuanku yang kedua dengan pemuda misterius berjaket hitam di bawah pohon sakura. Aku bingung, sepertinya ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya sejak kemarin. Jaket hitam tipisnya masih sama, begitu pula kemeja motif garis-garisnya, celana jeans dan sepatu kedsnya. Bahkan saat ini pun ia masih menatap ke arah langit. Perbedaannya hanyalah kemarin aku melihatnya dalam kondisi basah kuyup, sedangkan hari ini aku melihatnya dalam kondisi kering. Aku pun menghampirinya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" aku mengulang pertanyaanku kemarin.

Dia melirik ke arahku lalu bergumam, "Nani mo nai..."

Lagi-lagi aku melihat kesedihan dalam matanya. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tampaknya sesuatu yang sangat menyedihkan dan menyakitkan hatinya. Ah, kenapa aku jadi memikirkan soal urusan orang yang sama sekali tak kukenal? Kami bahkan baru bertemu dua kali!

Sepertinya tak ada yang akan ia katakan, begitu pula dengan diriku sendiri. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak pernah suka dengan kesunyian yang mengganjal seperti ini. Jadi kuputuskan untuk meninggalkannya, "Jaa!"

.

.

Sekali lagi aku bertemu dengan pemuda asing itu. Dan coba tebak, penampilannya sama sekali tak berubah! Ia masih berdiri mematung menatap langit dengan pakaian yang sama. Aku mulai berpikir bahwa dia orang gila yang tidak punya rumah untuk kembali. Oke, aku tidak boleh menilai orang seenaknya seperti itu. Untuk ketiga kalinya kuhampiri pemuda itu.

"Apa yang kau lihat?" tanyaku mengikut arah pandangnya. Dia tak menjawab.

"Mochizuki Hikari," entah kenapa tiba-tiba aku menyebutkan namaku, "Onamae wa?" Lagi-lagi ia tak menjawab.

"Baiklah kalau kau tidak mau memberi tahuku... Kalau begitu aku akan memanggilmu..." aku berpikir, nama apa yang cocok untuk orang yang bahkan tak kukenal sedikitpun? "Kuro."

Ia menoleh, "Kau pikir aku anjing?" tanyanya ketus.

"Hahahahaha tentu saja bukan!" aku menunjuk jaket hitam yang ia kenakan, "Kuro, desu ne..."

Ia kembali memalingkan wajahnya.

.

.

Itu adalah hari kelima setelah pertemuanku dengan Kuro di hari hujan itu. Seperti hari-hari sebelumnya, ia selalu melakukan hal yang sama dengan penampilan sama. Dan seperti hari-hari sebelumnya, aku mengajaknya mengobrol. Entah aku yang aneh atau apa tapi aku mulai menganggap itu sebagai rutinitas sehari-hariku yang baru; belajar di sekolah, kemudian melakukan kegiatan klub, lalu mengobrol dengan Kuro, dan terakhir kembali lagi ke rumah.

Tunggu, kurasa hari ini ada yang berbeda dengan Kuro. Dia duduk di bawah pohon sakura itu! Biasanya ia selalu berdiri, kan? Kenapa hari ini ia duduk? batinku penasaran.

"Kuro!" sapaku. Seperti biasa, ia hanya menyahutiku dengan lirikan singkat.

Aku mendaratkan pantatku di sebelah Kuro, "Lelah berdiri?" bibirku membentuk sebuah cengiran jahil. Ia tak menjawab.

Seperti yang sudah kukatakan, aku mulai terbiasa dengan kesunyian yang selalu tercipta saat aku bersama dengan Kuro. Jadi yang kulakukan hanyalah menatap langit, seperti Kuro, dan menikmati kesunyian ini.

"Kau tidak pernah pulang, ya?" tanyaku, "Bajumu selalu sama."

Ia melayangkan tatapan dinginnya padaku, "Bukan urusanmu."

Aku mengangat kedua bahuku bersamaan, "Memang bukan."

Kami berdua terdiam kembali. Aku suka menatap langit senja yang memancarkan warna-warna yang berbeda. Bukan hanya biru seperti di pagi hari atau hitam di malam hari, tetapi kita bisa menemukan warna jingga, ungu, dan merah dengan gradasi yang amat indah.

"Langit seperti ini sangat bagus ya jika dilukis," kataku tiba-tiba. Kuro menatapku. "Aku ingin menjadi seorang pelukis yang bisa melukis banyak hal indah!" Ya ampun, kenapa aku mengatakan hal-hal seperti ini pada Kuro?

"Kalau cita-cita Kuro apa?" tanyaku tiba-tiba. Kuro hanya menatapku sekilas sebelum kembali memalingkan wajahnya ke arah langit. Lagi-lagi matanya menampakkan kesedihan itu. Gomen, Kuro.

"Apapun cita-citamu, kau harus terus berjuang keras ya!" Kuro tak merespon apa-apa.

Aku menghela nafas keras-keras sambil memejamkan kedua mataku. Saat kubuka kedua mataku, pemandangan hijaunya daun pohon sakura di atas kami lah yang tampak di kedua onyxku. Tinggal beberapa minggu lagi musim gugur, tentunya bunga sakura sudah tak mekar lagi. Aku melirik ke arah Kuro yang masih menatap langit dengan tatapan sendu. Ah, aku penasaran apa yang membuatnya sedih.

Aku masih menatap dedaunan hijau yang menaungi kami. Warnanya sangat indah dan terlihat berkilau kemerahan karena terkena sinar matahari sore. Aku terkekeh sedikit. Entah kenapa aku berpikir kami sedang melakukan hanami. Aku tahu pemikiran itu sedikit bodoh, mana ada orang melakukan hanami di bawah pohon sakura yang tidak berbunga? Tapi seperti itulah yang terlintas di benakku saat itu.

"Kenapa tertawa?" tanya Kuro

Ah! Akhirnya Kuro mau membuka percakapan denganku! Setelah beberapa hari bertemu, selalu aku lah yang memulai percakapan. Namun entah kenapa tiba-tiba Kuro memulai percakapan! Bagus sekali!

"Betsu ni..." aku menggeleng. Ia kembali menatap langit.

"Seperti hanami, ya?" tanyaku tiba-tiba.

Di luar dugaanku, ia tertawa, "Hahahaha... Jangan bodoh, hanami sudah lewat!" Mendengar tawanya, aku pun ikut tertawa.

"Apa kau suka hanami?" Kuro menghentikan tawanya. Ia menatap pohon sakura yang menaungi kami kemudian menundukkan kepalanya, sesuatu yang baru kali ini juga kulihat. Aku tahu, ada sesuatu yang membuat Kuro menghentikan tawanya. Lagi-lagi sorot matanya terlihat sangat sedih.

"Pulanglah," katanya, masih sambil menundukkan kepala. Aku terdiam, tak yakin apakah harus mengikuti kata-katanya atau tetap berada di sini.

"Pulang!" bentak Kuro.

Kaget, aku pun langsung mengambil tas yang tergeletak di sampingku dan berdiri. Baru beberapa langkah dari Kuro, kubalikkan tubuhku, "Gomen..." gumamku sebelum berlari pulang.

.

Setelah kejadian kemarin, aku takut jika aku telah membuat Kuro semakin sedih. Meskipun kemarin Kuro membentakku, aku hanya melihat kesedihan di matanya. Aku mulai berpikir untuk mengambil jalan pulang yang sedikit memutar agar aku tidak melewati sungai dan bertemu Kuro. Pengecut? Mungkin. Tapi aku hanya ingin membiarkan Kuro sedikit tenang. Mungkin kalau bertemu denganku ia akan mengingat percakapan kami kemarin dan mengingat kesedihannya. Entah kenapa aku merasa ikut sedih melihat ekspresi sendu di wajah Kuro.

"Sumimasen, buku-buku sastra Jepang ada di rak nomor berapa?" pertanyaan itu membuyarkan lamunanku. Aku mendapati sang kapten tim sepak bola, Nakajima Kento-senpai, tengah tersenyum.

"Etto... ada di rak nomor empat dan lima," jawabku, mengarahkan tanganku ke rak yang kumaksud.

"Arigatou," katanya singkat.

"Iie," aku menggeleng.

Ya ampun, karena terlalu serius melamunkan soal Kuro, aku sampai lupa dengan pekerjaan yang tadi sedang kulakukan! Padahal tanganku masih memegang pulpen dan buku pendataan buku perpustakaan pun masih terbuka lebar di meja. Sudah berapa lama aku melamunkan Kuro, ya? Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, berusaha menyingkirkan pemikiran apapun tentang Kuro yang mengganggu konsentrasiku.

"Yosh!" gumamku pada diriku sendiri sebelum melanjutkan mendata buku yang diberikan ke perpustakaan sekolah beberapa hari lalu.

.

(author's POV)

Baru saja Nakajima Kento membuka buku yang beberapa saat lalu ia ambil, keitainya bergetar menandakan ada mail masuk. Sang kapten tim sepak bola pun merogoh saku celana seragamnya dan mengeluarkan keitainya.

From: Hokuto

Subject: None

Hari ini mau ikut jenguk Yugo? Kudengar dari Fuma ada kabar baik.

.

To: Hokuto

Subject: Re:None

Yo! Ketemu di gerbang begitu kalian beres latihan oke?

.

Lagi-lagi aku melamunkan Kuro sampai-sampai aku tak sengaja melewati jalan pulangku yang biasa. Begitu sadar, aku sudah berada di ujung jembatan yang akan mengantarku melewati jalan di samping sungai yang selalu kulalui. Haah... Hancur sudah rencanaku untuk mengambil jalan memutar. Pada akhirnya aku malah akan bertemu dengan Kuro lagi.

Aku berjalan dengan hati-hati sambil mengawasi pohon sakura yang sudah terlihat. Aku tidak menemukan sosok yang berdiri di sana. Kusimpulkan Kuro tak ada di sana. Aku sedikit lega karena tak harus bertemu dengan Kuro di saat seperti ini, tetapi aku juga merasa sedikit cemas. Apakah aku sudah menyakiti hatinya sejauh itu? Apakah aku membuatnya sangat sedih sampai-sampai ia tak ingin menemuiku lagi? Tanpa kusadari aku sudah berlari ke arah pohon sakura itu.

Betapa leganya aku saat mendapati Kuro tengah berbaring di bawah pohon sakura. Ya ampun... Apa yang harus kulakukan? batinku. Aku memutuskan untuk duduk di sampingnya. Setidaknya ia tidak bangun dan tidak harus melihatku. Aku takut Kuro akan membenciku karena masalah kemarin. Aku yakin, meskipun ia selalu bersikap dingin, setelah melihat tawanya kemarin Kuro bukanlah orang yang jahat. Aku terus berharap semoga Kuro tak bangun dulu.

"Gomen..." lirih Kuro. Aku tertegun, ia mengigau, kan? "Gomen... Tou-san..." katanya lagi.

Tou-san? Ayah Kuro? Apa ini menyangkut masalah yang selalu ia pikirkan? Kuro semakin membuatku terkejut karena setetes air mata mengalir di pipinya. Aku langsung mengeluarkan sapu tanganku dan menyeka tetes air mata itu. Tampaknya keputusanku untuk menyeka air mata Kuro merupakan kesalahan besar. Hal yang kutakutkan pun terjadi, Kuro terbangun!

"G-gomen!" aku langsung berlari meninggalkan pemuda itu. Semoga Kuro tidak semakin marah padaku!

.

.

.

Aku tidak tahu apa aku sudah melukainya sedalam itu, yang kutahu adalah Kuro sudah menghilang. Ia tak pernah ada di bawah pohon sakura itu. Aku takut. Aku takut kami tidak akan bertemu lagi. Bagaimana pun aku harus meminta maaf pada Kuro. Kenapa di saat aku ingin meminta maaf padanya ia malah menghilang? Di mana kau Kuro? Aku mengeratkan genggamanku pada kuas yang ada di tanganku.

"Hikari-chan? Doushita?" tanya sahabatku, Shirakawa Akira.

"Daijoubu dayo, Aki-chan..." aku menggeleng.

"Kau suka pohon sakura?" tanya Akira.

Aku menatap kanvas yang kini sudah dipenuhi dengan berbagai warna. Warna hijau dari dedaunan pohon sakura dan kelabu langit mendominasi kanvasku. Pohon sakura... Entah kenapa aku selalu mengingat Kuro.

"Aku suka lukisanmu, terlihat sangat nyata!" puji Akira sambil menepuk pundakku, "Tapi kenapa langitnya digambarkan mendung?" Aku tersenyum tipis. Mengapa aku tiba-tiba melukis sesuatu yang mengingatkanku pada Kuro?

"Ne, Hikari-chan?"

"Gomen Aki-chan, aku sudah selesai." aku segera membereskan alat-alat melukisku kemudian meninggalkan ruang klub. Aku tahu, Akira pasti bingung karena sikapku ini. Gomen ne, Aki-chan. Aku sendiri juga bingung dengan hatiku.

Aku bukan tipe orang yang bisa dengan mudah berganti rutinitas. Menurutku mengobrol dengan Kuro di bawah pohon sakura adalah sebuah rutinitas baruku. Jadi saat Kuro tak ada, aku merasa ada yang hilang dari hari-hariku. Mungkin aku dan Kuro baru bertemu sekitar satu minggu. Tapi entah kenapa aku merasa begitu kehilangan dirinya. Hatiku terasa sangat sakit. Jauh lebih sakit dari pada saat aku melihat kesedihan di mata Kuro.

"Kuro, kau dimana?" bisikku

Langit berwarna kelabu pekat, sepertinya akan turun hujan deras. Aku menutup mataku yang berkaca-kaca. Kurogoh saku untuk mencari sapu tanganku. Tak menemukan benda apapun di saku, aku mencari ke dalam tasku. Nihil, sapu tanganku sama sekali tak bisa kutemukan. Apa aku lupa membawanya? Kuseka air mataku dengan menggunakan tangan.

Ah! Aku ingat! Sapu tanganku pasti tertinggal saat aku menyeka air mata Kuro seminggu yang lalu. Bagaimana ini? Apa Kuro akan menungguku di sini untuk mengembalikannya? Semoga saja begitu.

.

.

.

Sayangnya ternyata aku sama sekali tak pernah bertemu dengan Kuro sekali pun.

.

.

.

Aku harus segera melupakan kejadian dua minggu lalu itu. Mungkin Kuro hanya orang yang memiliki masalah dan tanpa sengaja bertemu denganku. Mungkin Kami-sama memang tidak pernah menakdirkan kami untuk bertemu lagi—bahkan hanya untuk satu kata sesingkat "Maaf."

Masalah ini sudah kuceritakan pada Akira dan menurutnya lebih baik aku segera melupakannya. Sulit, itu kataku. Dan aku begitu kaget mendengar simpulan Akira; Aku menyukai Kuro. Bagaimana bisa hal seperti itu dengan mudah dapat disimpulkan oleh Akira?

"Hasil lukisanmu sejak dua minggu lalu selalu tentang pohon sakura yang sedang tak memekarkan bunganya. Kadang langitnya cerah, namun biasanya mendung. Bukankah hal itu yang paling kau ingat tentang sosok Kuro yang kau ceritakan itu?"

Aku tidak bisa menepis kata-kata sahabatku itu. Mungkin ia benar. Pasti karena itulah hatiku selalu merasa sakit saat melihat kesedihan di kedua onyxnya atau saat mendapati kekosongan di bawah pohon sakura. Mungkin benar aku menyukai Kuro meskipun aku belum yakin dengan perasaanku itu, sulit untuk memercayai bahwa dirimu menyukai seseorang yang baru kau temui sekitar satu minggu dan bahkan orang tersebut belum pernah benar-benar berbicara padamu. Tapi perasaan yang aku yakini saat ini adalah aku merindukan Kuro, sangat merindukannya. Kuharap aku bisa bertemu dengannya untuk sekali lagi.

"Ne, Hikari-chan, memangnya Kuro itu orangnya seperti apa sih?"Akira menyikutku.

"Dia..." aku berpikir, memunculkan bayangan Kuro di benakku, "kurasa dia seumuran dengan kita. Rambut dan matanya hitam seperti kebanyakan orang Jepang dan garis wajahnya tegas. Saat bertemu denganku ia selalu memakai jaket hitam tipis dan kemeja bermotif garis-garis juga celana jeans dan sepasang sepatu keds. Dia tak banyak berbicara tapi aku yakin sebenarnya dia adalah orang yang sangat baik."

Akira tersenyum, "Kau pasti sangat menyukainya, ya?"

"Eh?" aku menatap Akira kaget, "Maksudmu?"

Akira mengarahkan telunjuknya ke wajahku, "Ekspresimu kelihatan sangat bahagia. Bahkan hanya dengan membicarakan dan mengingat Kuro pun sepertinya kau sangat senang."

Aku menunduk malu, "H-hontou?"Akira mengangguk.

"Sayang sekali ia tidak mengatakan namanya. Kalau ia mengatakannya, setidaknya kau bisa mencari sedikit informasi tentangnya." kata Akira. Aku hanya bisa mengangguk lemah dan tersenyum tipis menanggapi kata-katanya. Sungguh, aku juga berharap demikian.

.

.

Meskipun sudah bisa menjalani rutinas sehari-hariku seperti biasa, aku masih belum bisa melupakan Kuro sepenuhnya. Kadang aku memimpikannya, kadang aku melamunkannya, kadang aku membayangkan wajahnya. Ah, kenapa rasanya hidupku selalu berpusat pada Kuro? batinku kesal. Kuputuskan untuk membuat sketsa wajah Kuro yang selalu terbayang dalam benakku. Dalam kertas sketch bookku, kugoreskan setiap garis wajah Kuro yang bisa kuingat. Rambutnya yang hitam, alisnya yang tebal, kedua mata onyxnya yang memandang sendu, semuanya. Hingga begitu kusadari lima lembar kertas sudah habis terisi dengan wajah Kuro.

"Kuro..." bisikku, rasanya mataku sudah berkaca-kaca.

.

.

.

To be continued...


#AUTHOR's note:

Oke, aku tahu inti ceritanya agak sedikit ga jelas dan alurnya kecepetan. Selain itu entah kenapa aku ganti-ganti nama main characternya sampai berkali-kali. Awalnya hanya gonta-ganti marganya aja (pertama Kazama Haruna, terus keduanya Nishikawa Haruna, dan terakhir Mochizuki Haruna) Tapi entah kenapa image nama Haruna terlalu feminin dan berkesan kaya seorang lady gitu jadi namanya pun diganti deh (dari Mochizuki Haruna, jadi Mochizuki Sakura, dan akhirnya jadi Mochizuki Hikari)

Sebenarnya penggantian nama main characternya jadi Sakura itu karena imagenya cocok sama musim semi dan pohon sakura tempat dia ketemu sama Kuro. Tapi karena aku pikir mereka ketemu di musim panas, kenapa juga si main character harus punya image musim semi? Jadi karena Yugo tuh niban aku di Johnny's (ichibannya Hey! Say! JUMP no Nakajima Yuto; sanbannya Sexy Zone no Satou Shouri) aku akhirnya pakai nama Hikari.

Hahaha sebenernya alasan aku ganti marganya jadi Mochizuki pun karena penname aku di FFn Mochiraito (meskipun alasan kedua karena Miura Haruma berperan jadi Mochizuki Kotaro di Samurai High School) Sedangkan kalau marga yang pertama aku pakai (Kazama) itu asalnya dari perannya Miura Haruma (lagi) di Gokusen 3, Kazama Ren.

Yabai! Si Author jadi curcol gini!

Saigo ni, chapter satu ini emang masih belum terlalu jelas main plotnya (karena memang sengaja aku bikin gitu). Tapi di chapter dua nanti (semoga) jadi lebih jelas kok!

Sore ja, review? Comments?